Kultus merek : Harley Davidson

Ayah saya merupakan seorang penggemar motor, khususnya motor besar. Salah satu merek motor besar yang ia gemari adalah Harley Davidson. Harley-Davidson, Inc., H-D, atau Harley, merupakan produsen sepeda motor Amerika asal Milwaukee, Wisconsin yang didirikan pada tahun 1903. Para bikers yang terlihat bebas dengan rambut terurai panjang, bertato dan menggunakan rompi kulit menjadi salah satu ciri khas dari penggemar motor besar Harley Davidson.

Suatu saat saya mengikuti ayah saya berkunjung ke komunitas Harley Davidson. Satu hal menarik yang membuat saya terheran-heran adalah fakta bahwa para pengendara Harley dan penggemar fanatik nya rela untuk merajah/ menato tubuhnya dengan simbol simbol yang berkaitan dengan Harley Davidson. Misalnya, tato dengan logo Harley Davidson, V engine dan V twin engine Harley, elang Harley dan lain – lain. Selama ini saya belum pernah melihat ada brand lain yang membuat penggemarnya merajah tubuh dengan logonya. Apakah bikers Honda akan menato tubuhnya dengan logo “One Heart” atau Yamaha dengan “Semakin di depan”? Sepertinya tidak. Lalu apa yang membuat bikers Harley Davidson rela merajah tubuh mereka?

Dalam pemasaran, terdapat istilah kongruensi diri. Keller (2013) mendefiniskan bahwa kongruensi diri merupakan kesesuaian antara citra diri dan citra produk. Konsumen memilih dan menggunakan produk yang dirasa cocok dengan aspek diri mereka. Kressman (2006) menjelaskan bahwa konsumen akan mengevaluasi merek dengan atribut simbolis dahulu, kemudian diikuti dengan atribut fungsional pada merek. Hal ini terjadi pada kasus bikers Harley Davidson, atribut simbolis dan atribut fungsional pada merek Harley Davidson dianggap sesuai dengan kepribadian para pemakainya.

Konsumen Harley mengekpresikan diri mereka sebagai pribadi yang bebas. Mereka mengasosiasikan atribut – atribut simbolis dari Harley Davidson  sebagai citra diri karena  atribut tersebut menyimbolkan jiwa yang bebas dan yang mendobrak aturan. Penggunaan atribut dan proses asosiasi diri konsumen ini menunjukkan rasa cinta kepada merek Harley Davidson, pengalaman dengan rasa cinta dan asosiasi diri yang tinggi ini membuat Harley Davidson dianggap sebagai sebuah brand yang bisa menciptakan sebuah kultus.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kultus didefinisikan sebagai penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda. Dalam kajian pemasaran, kultus merek akan mucul saat individu memiliki pengalaman bersama kelompok yang menimbulkan rasa memiliki yang tinggi terhadap suatu merek. Perasaan ini memberikan rasa kesadaran bersama dengan orang lain untuk melakukan aktivitas maupun menyamakan diri dengan sebuah merek. Sebuah merek yang menjadi kultus akan membuat penggunanya menyebarkan berita, merekomendasikan, melakukan pembelaan dan menjadikan merek tersebut sebagai pilihan utama diantara banyak pilihan merek.

Pada kasus Harley Davidson, Harley sukses menciptakan kultus merek dengan fanatisme yang luar biasa dari penggemarnya. Hal ini terbukti dari kecintaan para penggemar Harley yang rela merajah tubuh mereka sebagai bentuk rasa cinta yang mendalam. Cult branding sangat efektif karena rasa memiliki mendorong banyak pelanggan setianya ikut meyakinkan teman-teman dan keluarganya untuk memilih merek tersebut atas dasar rasa cinta yang mendalam dan merasa terhubung dengan merek tersebut. Dengan memanfaatkan cult branding, sebuah merek akan dapat mengkomunikasikan nilai yang ingin mereka sampaikan kepada konsumen dan dapat menciptakan hubungan yang mendalam.

Referensi:

 

https:/cultbranding.com/ceo/harley-davidson-cult-brand/

https://cultideas.com/case-study/harley-davidson

Keller, Kevin Lane. Strategic Brand Management: Building, Measuring, And Managing Brand Equity. 4th ed, Global Edition Boston: Boston: Pearson, 2013.

Kressman, F., Sirgy, M. J., Hermann, A., Huber, F., Huber, S., & Lee, D. J. 2006.

Direct and Indirect Effects of Self Image Congruence on Brand Loyalty.

Journal of Bussines Research, 59, 955-964.

Helena Hanindya, SS, MBA