KETIKA INOVASI JUSTRU MEMBUNUH STARTUP DARI DALAM
KETIKA INOVASI JUSTRU MEMBUNUH STARTUP DARI DALAM
Penulis: Febby Candra Pratama, S.E., M.M.
Dalam dunia entrepreneurship, inovasi hampir selalu dikembangkan sebagai kunci utama menuju kesuksesan. Cerita yang sering terdengar adalah berbagai perusahaan rintisan berhasil mengubah pasar berkat ide inovatifnya. Mulai dari Apple hingga Gojek, narasi dominan yang digaungkan adalah semakin inovatif sebuah startup, semakin besar peluangnya untuk bertahan. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hyytinen et al (2015) justru membuka sisi lain dari perilaku inovasi sebuah startup. Inovasi justru menjadi penghambat keberlangsungan hidup startup! Studi yang dilakukan oleh Ari Hyytinen, Mika Pajarinen, dan Petri Rouvinen melibatkan 1.165 startup di Finlandia. Hasilnya, tingkat kelangsungan hidup startup yang sejak awal gencar berinovasi ternyata mencapai 7% lebih rendah dibandingkan dengan startup non[1]inovatif (Hyytinen et al., 2015). Angka ini cukup signifikan, mengingat setiap persentase kelangsungan hidup adalah penentu hidup mati sebuah bisnis pada fase startup. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi?
Tiga Hal Penyebab Inovasi Justru Membunuh Startup
Pertama, inovasi membuat proses pendirian hingga pengelolaan startup jauh lebih kompleks. Para peneliti menyebutnya sebagai tanggung jawab dari bias yang terjadi, karena produk inovatif pasti mengalami situasi newness and smallness. Startup yang masih baru cenderung belum memiliki reputasi, pengalaman, maupun sumber daya yang memadai. Dalam situasi yang relatif lemah, para startup justru mengejar ide-ide inovatif, menyebabkan risikonya berlipat ganda. Coba bayangkan jika ada dua perusahaan baru, yang satu menawarkan produk standar dengan model bisnis yang jelas, sementara yang lain berusaha menghadirkan teknologi baru dan mengubah perilaku konsumen. Perusahaan kedua tentu harus bersiap mengalami penolakan, memiliki biaya riset yang lebih tinggi, dan menjangkau pasar yang lebih besar, baru produk inovatif yang ditawarkan benar-benar dirasakan dampak baiknya, namun tentu ini bukan hal yang mudah dan murah! Kedua, startup inovatif cukup sulit mendapatkan akses pembiayaan. Inovasi jarang menghasilkan aset berwujud yang bisa dijadikan jaminan. Investor dan lembaga keuangan sering melihat aktivitas bisnis yang dijalankan lebih berisiko. Akibatnya, ketika arus kas terganggu atau penjualan tidak sesuai harapan, peluang bangkrut semakin tinggi karena dukungan pendanaan yang relatif kecil. Ketiga, proses inovasi bukan hal yang dapat dibangun dalam satu malam, inovasi memerlukan waktu yang lama. Proses inovasi menuntut startup untuk memiliki keberanian terus mencoba dan berbenah akibat produk yang ditawarkan benar-benar berbeda. Kombinasi antara “durasi riset yang panjang” dan “sumber daya yang terbatas”, membuat banyak startup inovatif tumbang di tengah jalan.
Peran Founder Inovatif Yang Mempercepat Kematian Startup
Lebih menarik lagi, penelitian tersebut juga menyoroti peran pendiri terhadap risiko. Jika seorang pengusaha mempunyai toleransi terhadap risiko yang tinggi dan memilih jalur pengembangan bisnis secara inovatif, peluang kegagalannya justru semakin besar. Artinya, keberanian mengambil risiko memang penting, tetapi bila dipadukan dengan strategi inovasi yang kompleks sejak awal dan tidak didukung dengan mitigasi risiko yang baik, bisa berbalik arah menjadi boomerang. Lantas bagaimana harus mengelola startup inovatif agar memiliki kemampuan bertahan hidup pada fase awal dan terus bertumbuh? Bagaimana inovasi tidak menjadi penghambat, namun menjadi kekuatan untuk mencapai keunggulan melawan pesaing?
*Lanjutkan dengan membaca artikel berjudul “Mitos Inovasi: Mengapa Tidak Semua Startup Harus Menjadi Disruptif”
Referensi:
- Hyytinen, A., Pajarinen, M., & Rouvinen, P. (2015). Does innovativeness reduce startup survival rates? Journal of Business Venturing, 30(4), 564–581. https://doi.org/10.1016/J.JBUSVENT.2014.10.001