Inflasi Hijau: Pedang Bermata Dua dalam Transisi Ekonomi
Inflasi Hijau: Pedang Bermata Dua dalam Transisi Ekonomi
Penulis: Harris Prasetya Rahmandika
Istilah inflasi hijau menggambarkan tekanan inflasi yang berasal dari transisi global menuju sumber energi berkelanjutan dan terbarukan yang berfokus pada teknologi serta aspek ramah lingkungan. Karena ekonomi memprioritaskan pengurangan emisi karbon, biaya penerapan inisiatif hijau ini—seperti teknologi energi terbarukan, bahan baku ramah lingkungan, dan kebijakan lingkungan—dapat menaikkan harga barang dan jasa di sektor tersebut. Fenomena ini menghadirkan tantangan signifikan bagi para pembuat kebijakan, bisnis, dan konsumen khususnya yang telah berorientasi pada green mindset.
Salah satu pendorong utama inflasi hijau adalah meningkatnya biaya bahan baku yang penting untuk teknologi hijau tersebut. Misalnya, logam seperti litium, kobalt, dan nikel, yang penting untuk baterai dan kendaraan listrik, telah mengalami kenaikan harga yang substansial karena melonjaknya permintaan dan terbatasnya pasokan. Selain itu, transisi dari bahan bakar fosil sering kali melibatkan biaya awal yang lebih tinggi, seperti investasi infrastruktur untuk energi terbarukan dan jaringan listrik, yang pada awalnya dapat mengakibatkan harga energi yang lebih tinggi bagi konsumen (Meinerding et al., 2024; Pernot, 2024).
Selain itu, kebijakan seperti pajak karbon, meskipun penting untuk mengurangi emisi, dapat memiliki efek inflasi dengan menaikkan biaya produksi untuk industri yang intensif karbon. Biaya yang meningkat ini sering kali dibebankan kepada konsumen. Namun, pendapatan dari pajak tersebut dapat didistribusikan kembali untuk mengurangi kesenjangan sosial, seperti yang terlihat di negara-negara seperti Swedia dan Australia, yang memberikan dukungan finansial kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk mengimbangi beban ekonomi kebijakan hijau, hal ini layaknya menjadi subsidi silang namun bisa bersifat sementara apabila seluruh pihak secara total sudah transisi ke green mindset. Meskipun ada tantangan ini, inflasi hijau juga menyoroti peluang. Investasi dalam teknologi hijau mendorong inovasi, menciptakan lapangan kerja, dan dapat mengurangi risiko ekonomi jangka panjang yang terkait dengan perubahan iklim (Pernot, 2024; Negro et al., 2024).
Pemerintah dapat mengatasi inflasi hijau dengan mempromosikan transparansi dalam implementasi kebijakan dan mendukung populasi yang rentan melalui subsidi atau potongan pajak. Upaya internasional kolaboratif sangat penting untuk menyelaraskan kebijakan dan menstabilkan rantai pasokan untuk bahan-bahan penting. Singkatnya, meskipun inflasi hijau menimbulkan tantangan ekonomi, itu adalah bagian penting dari transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan. Intervensi strategis dan komunikasi yang jelas dari para pembuat kebijakan dapat membantu menyeimbangkan biaya jangka pendek dengan manfaat jangka panjang dari masa depan yang lebih hijau (Negro et al., 2024; Pernot, 2024).
Referensi
- Meinerding, C., Schüler, Y., & Zhang, P. (2024). Consequences of transitioning to a climate-neutral economy. CEPR. Retrieved from https://cepr.org/voxeu/columns/consequences-transitioning-climate-neutral-economy
- Pernot, P. (2024). Greenflation: The Achilles heel of the green economy? Council on Business & Society Insights. Retrieved from https://cobsinsights.org/2022/06/08/greenflation-the-achilles-heel-of-the-green-economy/
- Negro, M., Giovanni, J., Dogra, K. Federal Reserve Bank of New York. (2024). Is the Green Transition Inflationary? Retrieved from https://www.newyorkfed.org/research/staff_reports/sr1053