Dari Kebutuhan ke Permintaan: Mengapa Startup Founder Harus Mengutamakan Desain Berbasis Manusia

Dari Kebutuhan ke Permintaan: Mengapa Startup Founder Harus Mengutamakan Desain Berbasis Manusia
Penulis: Riefky Prabowo, S.E., M.A.B
Dalam dunia startup yang kompetitif, kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh inovasi teknologi atau model bisnis yang solid, tetapi juga oleh kemampuan memahami dan mengonversi kebutuhan tersembunyi menjadi permintaan nyata. Tim Brown, dalam bukunya Change by Design, menekankan pentingnya human-centered design sebagai pendekatan utama dalam menciptakan produk dan layanan yang benar-benar beresonansi dengan pengguna . Startup founder yang menguasai keterampilan ini dapat lebih efektif dalam mengidentifikasi kebutuhan laten pelanggan—kebutuhan yang sering kali tidak dapat mereka ungkapkan secara eksplisit. Ini bukan sekadar tentang menciptakan solusi yang lebih canggih, tetapi tentang memahami perilaku manusia secara mendalam untuk membangun pengalaman yang lebih baik.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengonversi kebutuhan menjadi permintaan adalah kecenderungan pengguna untuk menyesuaikan diri dengan ketidakefisienan, alih-alih menyadari kebutuhan mereka akan solusi yang lebih baik . Seperti yang dijelaskan dalam buku, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka mengadaptasi cara kerja mereka secara tidak optimal—seperti menggunakan beberapa telepon secara bersamaan untuk panggilan konferensi hanya karena sistem yang ada terlalu rumit. Startup founder perlu mengembangkan keterampilan observasi yang tajam untuk mengenali pain points semacam ini dan mengubahnya menjadi peluang inovasi.
Alih-alih hanya mengandalkan survei dan riset pasar konvensional, mereka harus melakukan pendekatan etnografi—mengamati bagaimana pengguna sebenarnya berinteraksi dengan suatu sistem dan mengidentifikasi celah yang bisa diperbaiki. Agar pendekatan ini efektif, startup founder harus mengasah tiga elemen utama dari desain berbasis manusia: insight, observation, dan empathy . Insight membantu mereka melihat kebutuhan yang belum diungkapkan oleh pengguna, observation memungkinkan mereka menangkap pola-pola perilaku yang tersembunyi, dan empathy memungkinkan mereka membangun produk yang benar-benar relevan dengan pengalaman pengguna.
Salah satu cara terbaik untuk mengasah keterampilan ini adalah dengan terlibat langsung dalam pengalaman pengguna, sebagaimana yang dilakukan oleh tim IDEO ketika mereka menyamar sebagai pasien rumah sakit untuk memahami kelemahan sistem layanan kesehatan. Dengan cara yang sama, seorang founder yang membangun platform edukasi harus merasakan langsung pengalaman belajar pengguna untuk memahami titik lemah yang bisa diperbaiki. Lebih jauh lagi, startup founder perlu menerapkan pendekatan rapid prototyping dan iterasi cepat agar solusi yang mereka ciptakan benar-benar memenuhi kebutuhan pengguna secara efektif.
Dengan menguji konsep dalam skala kecil dan mendapatkan umpan balik langsung, mereka dapat menyempurnakan produk secara bertahap sebelum meluncurkannya ke pasar yang lebih luas. Dengan kata lain, desain berbasis manusia bukan hanya tentang menciptakan sesuatu yang lebih estetik atau canggih, tetapi lebih kepada bagaimana menciptakan solusi yang secara fundamental meningkatkan pengalaman pengguna. Dalam ekosistem startup yang bergerak cepat, keterampilan ini bukan sekadar keunggulan kompetitif, tetapi keharusan bagi mereka yang ingin menciptakan inovasi yang benar-benar berdampak.
Referensi:
Brown, T. (2009). Change by Design: How Design Thinking Creates New Alternatives for Business and Society. Harper Business.