Cancel Culture: Akuntabilitas atau Peradilan Massa di Era Digital?

Cancel Culture: Akuntabilitas atau Peradilan Massa di Era Digital?

Penulis: Harris Prasetya Rahmandika, S.M., M.M., CIRM.

Introduction

Cancel culture atau “budaya pembatalan” telah menjadi fenomena yang mengubah cara kita berinteraksi di era digital. Istilah ini merujuk pada tindakan memboikot atau menarik dukungan terhadap individu, kelompok, atau perusahaan karena dianggap melakukan kesalahan, baik secara moral, sosial, atau politik. Meskipun tujuannya sering kali untuk meminta pertanggungjawaban, cancel culture juga menuai kontroversi karena dampaknya yang bisa merugikan secara permanen. Artikel ini akan membahas asal-usul, dampak, dan masa depan cancel culture, serta bagaimana media sosial memperkuat fenomena ini.

  1. Asal Usul dan Perkembangan Cancel Culture

Cancel culture bukanlah fenomena baru. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke praktik pengucilan sosial (social ostracism) yang telah ada sejak zaman kuno. Namun, di era digital, cancel culture mendapatkan momentum baru berkat kekuatan media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok. Platform-platform ini memungkinkan masyarakat untuk dengan cepat menyebarkan informasi dan mengorganisir gerakan kolektif. Menurut Vox Media (2020), cancel culture berkembang sebagai respons terhadap ketidakadilan sosial dan ketimpangan kekuasaan, di mana masyarakat merasa perlu “menghukum” pihak yang dianggap bersalah.

  1. Tujuan dan Dampak Positif

Cancel culture sering dilihat sebagai alat untuk meminta pertanggungjawaban, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan atau pengaruh besar. Misalnya, gerakan #MeToo yang berhasil mengekspos pelaku kekerasan seksual di industri hiburan. Menurut The Atlantic (2021), cancel culture dapat menjadi bentuk “akuntabilitas sosial” yang memaksa individu atau institusi untuk lebih memperhatikan tindakan mereka. Selain itu, cancel culture juga memberikan suara kepada kelompok marginal yang sering diabaikan.

  1. Kritik dan Dampak Negatif

Meskipun memiliki tujuan mulia, cancel culture juga mendapat kritik tajam. Salah satu masalah utamanya adalah kurangnya proses yang adil. Menurut BBC News (2020), cancel culture sering kali menghakimi seseorang tanpa memberikan kesempatan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka atau memperbaiki kesalahan. Dampaknya bisa sangat merusak, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga trauma psikologis. Selain itu, cancel culture juga dikhawatirkan menciptakan budaya “takut berpendapat” di mana orang menjadi enggan untuk berbicara terbuka karena takut diserang.

  1. Cancel Culture dan Media Sosial

Media sosial memainkan peran kunci dalam memperkuat cancel culture. Platform seperti Twitter memungkinkan informasi menyebar dengan cepat, sering kali tanpa verifikasi yang memadai. Menurut The Guardian (2022), algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi, sehingga memperburuk polarisasi dan konflik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab platform media sosial dalam mengatur konten dan melindungi pengguna dari penyalahgunaan.

  1. Masa Depan Cancel Culture

Cancel culture terus berkembang, dan masa depannya masih belum pasti. Beberapa ahli, seperti Jon Ronson dalam bukunya “So You’ve Been Publicly Shamed” (2015), berpendapat bahwa cancel culture perlu diimbangi dengan pendekatan yang lebih konstruktif, seperti edukasi dan dialog. Sementara itu, yang lain percaya bahwa cancel culture akan tetap menjadi alat penting untuk meminta pertanggungjawaban di era digital. Bagaimanapun, penting untuk menciptakan keseimbangan antara akuntabilitas dan empati.

Kesimpulan

Cancel culture adalah fenomena kompleks yang mencerminkan dinamika kekuasaan dan keadilan di era digital. Meskipun memiliki potensi untuk meminta pertanggungjawaban, cancel culture juga membawa risiko seperti kurangnya proses yang adil dan dampak psikologis yang serius. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan bijak dalam menyikapi fenomena ini.

Referensi

Vox Media. (2020). Why we can’t stop fighting about cancel culture. Diakses dari https://www.vox.com/culture/2019/12/30/20879720/what-is-cancel-culture-explained-history-debate

The Atlantic. (2021). The Real Reason Cancel Culture Is So Contentious. Diakses dari https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2022/04/cancel-culture-debate-needs-greater-specificity/629654/

BBC News. (2020). What is the Cost of ‘Cancel Culture’?. Diakses dari https://www.bbc.com/news/business-54374824

The Guardian. (2022). Everyone’s so intolerant online. Am I right to stay silent?. Diakses dari https://www.theguardian.com/wellness/article/2024/may/22/cancel-culture-social-media

Ronson, J. (2015). So You’ve Been Publicly Shamed and Is Shame Necessary? review – think before you tweet. Diakses dari https://www.theguardian.com/books/2015/mar/15/publicly-shamed-jon-ronson-is-shame-necessary-jennifer-jacquet-review-think-before-you-tweet