Ambisi atau Ilusi: Menyingkap Sisi Gelap Dunia Startup
Ambisi atau Ilusi: Menyingkap Sisi Gelap Dunia Startup
Penulis: Riefky Prabowo, SE., MBA
Dalam satu dekade terakhir, dunia startup dipandang sebagai ladang emas bagi pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi. Banyak yang menganggap bahwa startup merupakan kunci masa depan—menggabungkan semangat kewirausahaan, teknologi mutakhir, dan potensi keuntungan besar. Namun di balik narasi kesuksesan dan valuasi triliunan rupiah, terselip sisi kelam yang mulai sering terungkap: penipuan yang dilakukan oleh startup itu sendiri.
Kasus-Kasus yang Mengguncang Dunia Startup
Beberapa kasus penipuan startup di Indonesia dan dunia mengungkap realita yang tak bisa diabaikan. Di tanah air, kasus eFishery, Tanifund, dan Investree menjadi perhatian publik. Sementara itu di tingkat global, skandal Theranos di Amerika Serikat, Wirecard di Jerman, dan Luckin Coffee di Tiongkok menjadi simbol dari bagaimana ambisi bisa berubah menjadi keserakahan.
Dalam banyak kasus tersebut, pendiri startup tidak hanya gagal menjalankan bisnisnya secara etis, tetapi juga secara aktif memanipulasi data, laporan keuangan, dan janji kepada investor demi mempertahankan aliran dana dan status “perusahaan masa depan”.
Tekanan untuk Tumbuh Cepat: Jalan Pintas yang Berisiko
Salah satu akar dari praktik penipuan ini adalah tekanan yang luar biasa untuk tumbuh secara eksponensial. Dalam ekosistem startup, menjadi besar dan cepat sering kali dianggap lebih penting daripada membangun fondasi bisnis yang sehat. Para pendiri tergoda untuk menciptakan ilusi kesuksesan demi mendapatkan pendanaan lanjutan, mengejar status unicorn, dan menarik perhatian media.
Sayangnya, dorongan ini sering kali mendorong mereka melakukan kecurangan, mulai dari:
-
Memalsukan jumlah pengguna atau pelanggan.
-
Menggelembungkan angka pendapatan.
-
Menyusun narasi sosial emosional demi menarik simpati publik dan investor.
Tidak jarang pula, mereka menggunakan isu-isu seperti pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan masyarakat hanya sebagai alat pemasaran, bukan sebagai inti dari misi bisnis mereka.
Investor Pun Bisa Terperdaya
Investor, baik individu maupun institusi, sering kali ikut terjebak dalam gemerlap data dan proyeksi yang menjanjikan. Dalam banyak kasus, mereka terbuai oleh angka-angka bombastis tanpa melakukan due diligence yang memadai. Ketika valuasi startup melonjak drastis, investor terbawa euforia pasar dan mengabaikan analisis mendalam terhadap model bisnis, kapabilitas tim, dan validitas data yang disajikan.
Akibatnya, ketika kebohongan terungkap, dana yang sudah ditanamkan sulit ditarik kembali, dan kepercayaan terhadap ekosistem startup ikut runtuh.
Menjawab Tantangan: Peran Transparansi, Etika, dan Regulasi
Fenomena ini menjadi pengingat kuat bahwa transparansi dan integritas bukan sekadar nilai tambah dalam bisnis startup—melainkan fondasi utama. Para pendiri startup harus kembali ke esensi awal: menciptakan solusi nyata yang berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan dengan model bisnis yang berkelanjutan.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah terulangnya kasus serupa antara lain:
-
Investor harus lebih cermat dalam menyeleksi startup yang akan didanai, termasuk melakukan audit independen, mengecek rekam jejak pendiri, dan memahami dengan jernih model bisnis yang dijalankan.
-
Regulator perlu memperkuat sistem pengawasan serta menetapkan standar pelaporan dan akuntabilitas yang lebih ketat.
-
Ekosistem startup—termasuk inkubator, akselerator, dan media teknologi—harus ikut mendorong narasi keberhasilan yang sehat dan bertanggung jawab, bukan sekadar sensasi pertumbuhan semu.