Work-Life Balance beserta Dampaknya

Akhir-akhir ini mulai banyak disuarakan terkait work-life balance dalam dunia pekerjaan, dimana istilah tersebut merujuk pada keseimbangan yang harus dicapai antara kehidupa pribadi individu dan kehidupan untuk bekerja. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada suatu masa dimana mereka yang terkesan “bekerja keras” adalah yang menjadi teladan. Bekerja keras dalam hal ini meliputi bekerja hingga di luar jam kerja, bekerja ketika hari itu adalah hari libur, ataupun bekerja bahkan ketika sedang dalam keadaan cuti. Sejalan dengan kesadaran akan Kesehatan mental yang semakin meluas sekarang, anjuran untuk mulai mementingkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan juga mulai untuk digencarkan. Bukan bermaksud malas, namun justru ketidakseimbangan yang terjadi antara kehidupan pribadi dan pekerjaan tersebut akan dapat berakibat buruk dalam jangka panjang, baik untuk diri pribadi maupun untuk pihak perusahaan.

Studi ilmiah menunjukkan bahwa ketidakseimbangan yang terjadi antara kehidupan pribadi individu dan kehidupan pekerjaannya akan memicu stres kerja bagi individu tersebut. Stress kerja yang dimaksud tidak hanya bersifat tekanan dalam hidup, namun lebih lagi, stres yang terjadi bisa sampai mengganggu stabilitas aktivitas sehari-hari individu yang bersangkutan. Stress tersebut mucnul sebagai akibat dari apa yang dirasakan atau terjadi dalam kehidupan sehari-harinya, utamanya dari kehidupan pekerjaan. Hal ini dikarenakan individu menghabiskan setidaknya satu per tiga wkatunya setiap hari di tempat kerja (aturan bekerja delapan jam per hari). Ketika individu merasakan stres dalam pekerjaannya, maka hal tersebut akan dapat memicu terjadinya perilaku-perilaku yang cenderung bersifat negatif dalam dunia kerja, seperti misalnya perilaku menyimpang.

Perilaku menyimpang dalam dunia kerja bisa terjadi dalam bentuk yang beragam. Mengambil barang-barang perusahaan tanpa izin, menghabiskan lebih banyak waktu untuk melamun dibandingkan untuk bekerja, dan juga datang terlambat tanpa izin kepada atasan terlebih dahulu merupakan beberapa contoh dari sekian banyak contoh perilaku menyimpang yang dilakukan karyawan pada tempat kerjanya. Dari tiga contoh yang disebutkan sebelumnya, dapat dilihat bahwa perusahaan secara tidak langsung dirugikan dari adanya tindakan menyimpang karyawan ini, dimana tindakan tersebut bisa jadi merupakan akibat dari timbulnya stress kerja, yang berawal dari tidak adanya keseimbangan kerja karyawan antara kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Bahkan contoh-contoh lain dari tindakan menyimpang ini dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, seperti misalnya: menggunakan fasilitas perusahaan demi kepentingan pribadi, memalsukan nota perjalanan dinas demi mendapatkan uang yang lebih banyak dari yang telah dihabiskan, hingga sengaja mengulur pekerjaan agar mendapatkan uang lembur. Tindakan-tindakan tersebut sangat merugikan perusahaan.

Kembali ke bahasan work-life balance, keseimbangan dalam kehidupan individu, baik dari sisi pribadi maupun pekerjaan, akan secara positif merujuk pada hal-hal yang menguntungkan perusahaan. Karyawan yang memiliki cukup waktu untuk bersosialisasi dalam kehidupan pribadinya, menghabiskan waktu untuk keluarganya, serta masih memiliki sisa waktu untuk didedikasikan pada hobi dan kegemarannya, akan memiliki aura positif dalam kesehariannya. Aura positif tersebut kemudian akan dapat dicurahkan ke dalam bentuk kinerja yang baik pula di dalam perusahaan. Karyawan yang telah cukup dalam mengisi kebutuhan psikologisnya melalui sosialisasi, keluarga dan juga hobi, akan merasa segar dan bersemangat ketika mereka beragkat bekerja dan harus menghadapi segala tuntutan di pekerjaannya. Meskipun demikian, karyawan tersebut tidak akan merasa tertekan atas tuntutan yang memang telah menjadi kewajibannya. Hal ini dikarenakan kebutuhan dan haknya atas dirinya sendiri dan kesehatan mentalnya telah terpenuhi. Alih-alih stres kerja, karyawan yang telah mencapai work-life balance cenderung akan merasakan komitmen dalam organisasi tempatnya bekerja, kepuasan dalam pekerjaannya, dan berusaha untuk tetap bertahan. Dengan demikian, perusahaan secara tidak langsung telah melakukan upaya retensi karyawan, yakni mencoba untuk mempertahankan karyawan yang dimiliki. Upaya mempertahankan karyawan yang dimiliki merupakan hal yang penting dilakukan oleh perusahaan, dikarenakan karyawan adalah salah satu asset krusial bagi perusahaan, terutama jika karyawan tersebut adalah karyawan dengan kompetensi yang tinggi.

ZAINIYAH ALFIRDAUS, S.M., M.S.M.