Teologi Thomas Aquinas

Thomas Aquinas adalah seorang teolog dan juga seorang filsuf Skolastik. Bagaimanapun, ia sendiri tidak pernah menganggap dirinya filsuf, dan mengkritik para filsuf yang dalam pandangannya adalah kaum pagan karena selalu “gagal memahami hikmat yang benar dan patut yang dapat ditemukan dalam wahyu Kristiani.” Dengan pemikiran ini, Thomas memang menghormati Aristoteles, bahkan dalam Summa ia sering menyitir Aristoteles hanya dengan sebutan “sang Filsuf”. Banyak karyanya yang didasarkan pada topik-topik filosofis, dan dalam pengertian ini dapat dicirikan sebagai filosofis. Pemikiran filosofis Thomas memberi pengaruh yang sangat besar pada teologi Kristen setelahnya, terutama dalam Gereja Katolik, meluas ke filsafat Barat pada umumnya. Thomas bertindak sebagai semacam kendaraan dan pemodifikasi Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Dikatakan bahwa ia memodifikasi Aristotelianisme maupun Neoplatonisme dengan ketergantungan kuat pada PseudoDionisius.

Thomas Aquinas memandang teologi, atau doktrin suci, sebagai sains, data bahan baku yang terdiri dari tulisan suci dan tradisi Gereja Katolik. Sumber-sumber data tersebut dihasilkan oleh wahyu atau penyataan diri Allah kepada sejumlah individu dan sekelompok orang dalam sejarah Gereja. Iman dan daya pikir, kendati berbeda, adalah saling terkait dan merupakan dua alat utama untuk memproses data teologi. Thomas percaya bahwa keduanya diperlukan agar seseorang memperoleh pengetahuan sejati tentang Allah. Thomas memadukan filsafat Yunani dan doktrin Kristiani dengan mengemukakan bahwa pemikiran rasional dan studi seputar kodrat atau alam, seperti pengilhaman, merupakan cara-cara yang sahih untuk memahami kebenaran terkait Allah. Menurutnya, Allah mengungkapkan diri melalui alam, sehingga mempelajari alam berarti mempelajari Allah. Dalam benak Thomas, tujuan utama teologi adalah menggunakan daya pikir untuk memahami kebenaran tentang Allah dan untuk mengalami keselamatan melalui kebenaran tersebut.

Etika kebajikan yang diajukan Thomas sebagai suatu cara untuk menghindari utilitarianisme atau etika deontologis yang diajukan Kant. Dalam era modern, etika diterapkan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam berorganisasi. Dalam ilmu manajemen, etika dipandang sebagai standar kelayakan pengelolaan dalam suatu oragnisasi.

  1. Chakraborty (1995): menyebutkan dalam suatu organisasi terdapat moralitas manajerial yang harus diterapkan yang berkairan dengan kepemimpinan individu, transformasi etos kerja, etika dan produktivitas, dan lain-lain.
  2. Meclagan (1989): memberikan perhatian besar terhadap etika bisnis dan profesional secara umum, dan mengambil sebagian besar materinya dari bidang pengembangan organisasi di mana isu-isu tersebut telah menjadi agenda selama lebih dari satu dekade. Meclagan berpandangan bahwa perlu adanya perhatian terhadap prilaku organisasi dengan management sciene/Riset Operasional. Situasi berprilaku dalam organisasi perlu dikelola karena dapat menimbulkan konflik kepentingan (Agency Problem), ketidakberpihakan, dan keterampilan diagnostic.
  3. Brown dan TreviƱo (2006) mengkaitkan etika dengan kepemimpinan dalam suatu oragnisasi dalam meningkatkan kinerja oragnisasi. Dimensi moral kepemimpinan seperti kepemimpinan spiritual, otentik, dan transformasional. Mayer (2009) menunjukkan dalam suatu organisasi kepemimpinan etis mengalir dari satu tingkat organisasi ke tingkat berikutnya. Mayer menemukan efek kepemimpinan etis manajemen puncak pada penyimpangan tingkat kelompok dan OCB dimediasi oleh kepemimpinan etis supervisor.
  4. Singer (1997) mengkaitkan antara operating research_management sciene dengan Business ethics. Mendasarkan pada Fridman (1971) yang memberikan gagasan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah meningkatkan keuangannya dengan manajemen strategis. Salah satu penerapan manajemen startegisnya adalah dengan business ethics (social-systems, human-systems, strategy and policy).
  5. Mallin et al (1995) memberikan pengetahuan baru bagi financial management yaitu munculnya ethics investment fund. Ada peningkatan yang cukup besar dalam jumlah kepercayaan etis di Inggris selama sepuluh tahun terakhir. Sebagian besar studi tentang kepercayaan etis (misalnya Harte dkk., 1991; dan Perks et al., 1992) cenderung berkonsentrasi pada kebijakan investasi (misalnya, apakah perusahaantempat mereka berinvestasi sendiri beroperasi dengan cara yang etis), sementara jumlahnya relatif sedikit pekerjaan empiris yang dilakukan pada kinerja keuangan investasi etis dana.
BIGRAF TRIANGGA, S.S.T.,M.M