Apakah Tuhan perlu ada? Dan Apakah Tuhan perlu ada dalam Bisnis?

Apakah Tuhan perlu ada agar dunia dapat dijelaskan? Apakah kita perlu memanggil-manggil Tuhan untuk menentukan standar moralitas kita? Apakah kita perlu keputusan Tuhan untuk memberi makna pada hidup? Dan apakah bisnis kita tetap bejalan jika tanpa bahkan tiadanya tuhan? Artikel ini kita tidak akan membahas bukti adanya atau ketiadaan Tuhan, melainkan mengajukan sebuah eksperimen-pikiran: kalau Tuhan tidak ada, apakah dunia menjadi absurd? Apakah bisnis pun seperti itu? Pertanyaan ini mengiris sejumlah debat lama tentang sains vs agama, filsafat ketuhanan, atheisme, teologi, agama dan moral, sekularisme dalam ranah bisnis. Apa yang akan digali di sini adalah potret dunia dan kehidupan yang muncul dari Hipotesis Tuhan dan Hipotesis Nir-Tuhan ada atau hadirkah dalam bisnis. Siapa sangka kalau ujung terakhirnya adalah perkara estetika?

Dalam sehari-hari kita biasa menggunakan tuhan untuk menjelaskan banyak hal, misal kita sedang apes atau bernasib buruk, ini adalah kehendak tuhan. Kita sedang tertimpa musibah atau ketiban rejeki nomplok ini adalah kuasa tuhan. Sebenarnya jika kita berfikir apakah bisnis yang kita bangun dalam tataran sebuah keilmuan yang kita pelajari, apakah mengikut sertakan tuhan di dalamnya?

Selama kita masih menganggap ada konstruksi atau sistem atau entitas yang paling tinggi diantara semua yang tertinggi, kita masih berpikir dalam konsep ke-Tuhanan, meskipun kita melabeli bentuk tertinggi tersebut dalam berbagai bentuk, entah itu kita sebut hukum alam atau sistem estetik dan lain-lain, karena kita menganggap masih ada yang tertinggi daripada paling tinggi, baik sistem atau entitas itu memiliki kepribadian, sifat, karakter ataupun tidak, tetap.

Jika kita cermati bahwa hipotesis bahwa tuhan itu ada, dan keberdaan tuhan itu nyata maka, hal tersebut sebenarnya dapat di bongkar kedalam sejumlah pokok pikiran meliputi 3 postulat hipotesis tuhan

  1. Ada entitas-entitas rohani

Ini adalah sejumlah objek-objek yang tidak bisa kita indrai, bisa jadi jin, setan, malaikat dan lain-lain. Pada pandangan bisnis entitas rohani dapat menjadi sebuah rangsangan kepuasan dalam pelayanan. Ini merupakan objek yang kita rasakan namun tidak dapat di indrai. Kepuasan akan sebuah pencapaian penjualan atau bahkan kepuasan dalam menerima pelayanan yang prima.

  1. Ada aneka semesta rohani

Selain mempostulatkan semesta fisik ini, kita juga harus mempostulatkan esntitas rohani itu sendiri, dapat saya gambarkan adalah surga, neraka, alam kubur dll. Dalam cakupan bisnis entitas rohani ini adanya semesta rohani ini konteksnya adalah kebermanfaatan sebuah nilai produk yang di produksi. Produk tidak hanya berhenti kita ciptakan namun lebih dari itu produk menjadi sebuah pemenuhan hidup bagi manusia lain.

  1. Tuhan itu bermaksud baik

Tuhan sebenarnya berniat untuk menolong manusia, mengapa asumsi ini penting? Sebab jika tanpa asumsi ini banyak hal yang tidak terjelaskan. Ketika tuhan memberikan perintah siapa yang bisa menjamin bahwa itu perintah yang tujuannya adalah untuk kemaslahatan kita dan bukan untuk mencelakakan kita. Bukan berarti sebagai produsen kita memposisikan diri sebagai tuhan, bukan. Ini adalah batasan manusia. Manusia-manusia terpilih lah yang menjadi pembawa pesan kepada manusia lain. Konteks ini sebenarnya blm mampu saya jelaskan secara bisnis, namun asumsi ini merupakan sebuah ikhtisar agar kita berfikir bahwa tuhan bermaksud baik kepada kita. Kita sebagai ciptaan tuhan memberikan sebuah nilai yang di terima oleh manusia lain tanpa menjadikan itu sebagai sebab celaka.

Artikel ini saya tutup sampai sini, tujuan saya adalah sekiranya kita berfikir bersama, merenungkan segala sebab dan akibat. Alasan bahwa kita perlu tuhan itu ada adalah, tidak ada Tuhan lebih masuk akal dari pada ada. Tuhanlah yang menciptakan hukum alam, tidak perlu memerlukan logika yang lain, selebihnya hanya soal penapsiran tiap agama masing masing. Pun pada raanah bisnis, jika kita mampu memberikan nilai yang baik kepada pelanggan, apakah nilai tersebut tidak bersumber? Pada akhirnya manusia adalah makhluk makna, yang akan terus mencari poros dari semua poros, mencari alasan dari sebuah makna, yang artinya mencari terdalam yang paling dalam, yang tertinggi dari yang paling tinggi. Buktinya adalah, manusia mengenal simbol tak terhingga dan angka nol di dalam matematika. Hal itu merupakan bukti manusia adalah mahluk yang selalu memaknai sebuah bentuk ketidakpastian, sehingga semuanya seakan-akan terlihat konstruktif.

BIGRAF TRIANGGA, S.S.T.,M.M