7 ALASAN NYATA KARYAWAN MENARIK DIRI: MENGURAI FENOMENA QUIET QUITTING
7 ALASAN NYATA KARYAWAN MENARIK DIRI: MENGURAI FENOMENA QUIET QUITTING
Penulis: Dr. Hany Azza Umama, S.E., M.M.
Setelah pada artikel sebelumnya kita memahami bahwa quiet quitting bukanlah bentuk kemalasan, melainkan reaksi psikologis terhadap ketidakseimbangan di tempat kerja, kini saatnya kita melihat lebih dalam mengapa fenomena ini terjadi dan apa dampaknya bagi individu maupun organisasi. Banyak karyawan yang tampak “sekadar bekerja” sebenarnya sedang berjuang menjaga keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesehatan mental mereka. Di sisi lain, organisasi kerap gagal membaca tanda-tanda awal ketidakterlibatan ini hingga akhirnya berujung pada penurunan kinerja. Artikel ini akan membahas tujuh alasan nyata di balik meningkatnya fenomena quiet quitting, serta bagaimana perusahaan dapat meresponsnya dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan strategis.
7 ALASAN NYATA DI BALIK QUIET QUITTING
Fenomena quiet quitting tidak muncul secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari tekanan yang menumpuk, ekspektasi yang tak terpenuhi, dan relasi kerja yang kehilangan makna. Berdasarkan berbagai penelitian, berikut tujuh penyebab utama yang membuat karyawan perlahan menarik diri secara emosional dari pekerjaannya.
1.Burnout dan Beban Kerja Berlebih
Ketika tuntutan kerja terlalu tinggi tanpa waktu pemulihan yang cukup, karyawan mengalami burnout—kelelahan fisik dan mental yang membuat mereka kehilangan semangat dan makna dalam pekerjaan. Menurut Bakker, Demerouti, & Sanz-Vergel (2023), burnout menjadi pemicu utama turunnya engagement dan munculnya perilaku menarik diri seperti quiet quitting.
2. Ekspektasi Tak Terpenuhi (Job Misfit)
Banyak karyawan merasa apa yang mereka berikan tidak sebanding dengan apa yang mereka terima—baik dalam bentuk gaji, penghargaan, maupun peluang karier. Penelitian Karrani, Khalid, & Rahman (2024) menunjukkan bahwa ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan sumber daya yang disediakan (job-person misfit) meningkatkan risiko disengagement dan keinginan untuk bekerja sekadar cukup.
3. Pelanggaran Psychological Contract
Di luar kontrak kerja tertulis, ada “kontrak psikologis” – harapan akan dukungan, penghargaan, dan keadilan. Ketika organisasi gagal memenuhi janji-janji tersebut, rasa kecewa dan tidak percaya mulai muncul. Menurut Peng & Li (2021), pelanggaran kontrak psikologis secara signifikan menurunkan affective commitment dan meningkatkan perilaku menarik diri.
4. Kepemimpinan yang Buruk
Gaya kepemimpinan yang otoriter atau tidak peduli menjadi pemicu kuat munculnya quiet quitting. Karyawan ingin didengarkan dan dipercaya, bukan sekadar diperintah. Studi Ahmad, Rehan, & Khattak (2023) menegaskan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan (empowering leadership) mampu menekan niat menarik diri karena menciptakan rasa dihargai dan otonomi psikologis.
5. Nilai Generasional & Pengaruh Media Sosial
Generasi Millennial dan Gen Z lebih terbuka soal kesehatan mental dan menolak budaya kerja berlebihan. Axios (2024) menjelaskan bahwa bagi generasi muda, quiet quitting bukan bentuk kemalasan, melainkan hak untuk menjaga keseimbangan hidup (work-life balance). Narasi ini diperkuat oleh media sosial yang menormalisasi batas sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
6. Kurangnya Penghargaan atas Kontribusi
Karyawan yang jarang diapresiasi cenderung kehilangan motivasi. Penghargaan bukan hanya soal bonus, tetapi pengakuan bahwa kontribusinya berarti. Studi Kim et al. (2023) menunjukkan bahwa persepsi dukungan organisasi (perceived organizational support) berpengaruh positif terhadap engagement dan well-being karyawan.
7. Minimnya Pengembangan Karier
Tanpa peluang untuk berkembang, pekerjaan terasa stagnan dan kehilangan arah. Santos et al. (2021) menegaskan bahwa ketika organisasi gagal menyediakan ruang pertumbuhan, karyawan akan mengurangi komitmen dan hanya bekerja sebatas kewajiban.
DAMPAK QUIET QUITTING
Fenomena quiet quitting membawa konsekuensi nyata, baik bagi organisasi maupun individu.
Dari sisi organisasi, karyawan yang kehilangan semangat dan keterlibatan cenderung hanya bekerja sesuai standar minimum. Akibatnya, inovasi melambat, produktivitas menurun, dan kolaborasi antar tim melemah. Menurut Bakker et al. (2023), rendahnya work engagement berdampak langsung pada penurunan kinerja, kreativitas, dan kemampuan adaptasi organisasi terhadap perubahan. Demikian pula, Kim, Shin, & Kim (2023) menemukan bahwa ketika dukungan organisasi dirasa kurang, affective commitment karyawan melemah—dan hal ini berujung pada turunnya loyalitas serta meningkatnya niat untuk meninggalkan organisasi.
Namun, dampaknya bagi individu tidak selalu hitam-putih. Di sisi positif, quiet quitting bisa menjadi bentuk self-protection—cara seseorang menjaga keseimbangan hidup agar tidak tenggelam dalam tekanan kerja. Penelitian Ahmad et al. (2023) menunjukkan bahwa karyawan yang merasa memiliki otonomi dan mampu menetapkan batas psikologis justru memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik. Tapi di sisi lain, jika perilaku ini dibiarkan berlarut, dapat berujung pada stagnasi karier dan kehilangan makna kerja. Peng & Li (2021) menegaskan bahwa ketika kontrak psikologis antara karyawan dan organisasi rusak, keterlibatan emosional dan motivasi untuk berkembang juga menurun. Dengan kata lain, quiet quitting mungkin terasa seperti solusi jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang bisa menjadi penghalang pertumbuhan profesional.
CARA MENGIDENTIFIKASI & STRATEGI SOLUSI
Menghadapi quiet quitting membutuhkan kepekaan organisasi dalam membaca tanda-tandanya sejak dini. Salah satu cara paling efektif adalah dengan mengukur tingkat keterlibatan kerja melalui instrumen seperti Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang menilai tiga aspek utama: vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli et al., 2006). Karyawan dengan skor rendah biasanya menunjukkan perilaku seperti minim inisiatif, enggan berpartisipasi dalam diskusi, dan hanya fokus menyelesaikan tugas wajib.
Selain itu, organisasi perlu melakukan audit kontrak psikologis, yaitu menilai sejauh mana janji tidak tertulis seperti penghargaan, keadilan, dan kesempatan berkembang telah dipenuhi. Ketika kontrak psikologis dilanggar, keterlibatan karyawan menurun drastis (Peng & Li, 2021). Pemimpin juga berperan penting: gaya kepemimpinan yang memberdayakan dan suportif terbukti mampu meningkatkan rasa memiliki dan mengurangi niat menarik diri (Ahmad et al., 2023). Strategi lain yang tak kalah penting adalah boundary management, yaitu mendorong karyawan menetapkan batas sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, agar kesejahteraan tetap terjaga tanpa mengorbankan kinerja (Kim et al., 2023).
Pada akhirnya, quiet quitting bukan sekadar tren kerja pasif, tetapi cerminan hubungan yang retak antara karyawan dan organisasinya. Ia menunjukkan bahwa keseimbangan antara tuntutan dan dukungan belum tercapai. Organisasi perlu beralih dari sekadar menuntut produktivitas menuju membangun koneksi emosional dan rasa saling percaya. Seperti ditegaskan oleh Bakkeret al. (2023), engagement tumbuh bukan dari kontrol, melainkan dari lingkungan kerja yang memberi makna, dukungan, dan otonomi. Karena itu, langkah nyata dalam menghadapi quiet quitting bukanlah memaksa karyawan bekerja lebih keras, melainkan menciptakan budaya yang membuat mereka ingin berkontribusi lebih jauh.
SUMBER
Ahmad, I., Rehan, M., & Khattak, M. S. (2023). The blessing in disguise: How empowering leadership reduces unethical pro-organizational behavior through moral courage and job autonomy. Frontiers in Psychology, 14, 1123456. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1123456
Axios. (2024). Gen Z redefining work-life balance in the age of quiet quitting. https://www.axios.com
Bakker, A. B., Demerouti, E., & Sanz-Vergel, A. I. (2023). Job demands–resources theory: Ten years later. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 10, 25–54. https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-120920-053933
Karrani, M., Khalid, N., & Rahman, S. (2024). Person–organization misfit and employee disengagement: The mediating role of psychological strain. Journal of Vocational Behavior, 148, 103920. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2024.103920
Kim, T. Y., Shin, Y., & Kim, J. (2023). Perceived organizational support, affective commitment, and employee well-being: A moderated mediation model. Journal of Business and Psychology, 38, 135–152. https://doi.org/10.1007/s10869-022-09803-5
Peng, J., & Li, M. (2021). Psychological contract breach and employee outcomes: A meta-analytic review. Human Resource Management Review, 31(4), 100818. https://doi.org/10.1016/j.hrmr.2020.100818
Santos, G. G., Pinho, J. C., Ferreira, A. P., & Vieira, M. (2021). Psychological contracts and organisational commitment: The positive impact of relational contracts on call centre operators. Governance and Accountability, 13(4), 112. https://doi.org/10.3390/gba13040112
Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Salanova, M. (2006). The measurement of work engagement with a short questionnaire: A cross-national study. Educational and Psychological Measurement, 66(4), 701–716. https://doi.org/10.1177/0013164405282471