Teknologi adalah berkah sekaligus kutukan. Di atas kertas, teknologi memberi kita banyak kemudahan dan memberi kita kemampuan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin. Namun, pada kenyataannya, ada harga yang harus dibayar.

Biaya ini berupa teknologi yang telah menjadi sangat adiktif, berfungsi sebagai pengalih perhatian dalam kehidupan kebanyakan orang. Dengan kata lain, teknologi telah membuat kita malas dan tidak produktif karena kemudahan tambahannya, yang menghalangi kita untuk membuka potensi penuh diri kita.

Bagaimana Teknologi Membantu Produktivitas di Lingkungan Kerja

Pertama, mari kita bahas kontra argumen umum yang mengklaim bahwa teknologi memberdayakan kita untuk menjadi lebih produktif, terutama di lingkungan kerja. Teknologi memberikan akses instan ke informasi bisnis dan data pekerjaan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa teknologi dapat mempercepat alur kerja seseorang dan membuat pekerjaan lebih mudah secara keseluruhan karena memungkinkan kita melakukan tugas tertentu dengan lebih efisien, dan berpotensi menghemat waktu dan uang.

Sisi Negatif dari Produktivitas Tambahan

Bagaimanapun, efisiensi teknologi bisa berfungsi jika karyawan benar-benar menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu agar semua ini relevan. Namun kenyataannya, banyak terdapat gangguan dari teknologi yang membuat seseorang justru terganggu untuk menyelesaikan pekerjaan. Contoh kecilnya adalah notifikasi terus-menerus, banyaknya halaman web yang terbuka di dekstop, dan email yang mengalir setiap jam. Ini adalah poin yang valid karena tidak sulit untuk melihat bahwa contoh umum ini banyak terjadi di antara siswa saat ini yang mencoba menyelesaikan tugas sekolah mereka, hanya untuk terganggu oleh media sosial beberapa menit kemudian. Beberapa orang mungkin tidak pernah keluar dari kebiasaan ini, dan memiliki masalah yang sama dalam hal pekerjaan mereka, membuat karyawan menjadi kurang produktif, terlepas dari semua kemudahan teknologi yang ditambahkan.

Teknologi Bisa Membuat Kita Malas 

Teknologi tidak hanya dapat mengurangi produktivitas kita, tetapi juga berpotensi membuat kita menjadi sangat malas. Kini, dengan banyaknya produk adiktif seperti Wii, kita dapat bermain bowling, bermain tenis, dan berpartisipasi dalam olimpiade di dalam ruang tamu. Meskipun berpura-pura menjadi salah satu atlet terbaik dengan pengontrol Wii di tangan sangatlah menyenangkan, namun itu bukanlah hal yang produktif. Lebih parahnya lagi, setelah melakukan aktivitas seperti ini, kita mungkin merasa ingin beristirahat lagi, karena masih merasa tidak termotivasi atau mungkin karena dipenuhi rasa pencapaian yang salah.

Contoh lainnya yang bisa terjadi dalam waktu dekat adalah anak-anak pramuka akan diajari cara menggunakan GPS daripada cara bernavigasi dengan kompas. Hal ini akan menyebabkan generasi selanjutnya menjadi sangat tertarik dan bergantung pada teknologi. Sehingga membuktikan bahwa program pendidikan tertentu akan mulai beradaptasi juga dengan teknologi.

Kini kita seringkali terhibur dengan gagasan bahwa suatu hari nanti kita bisa bangun di pagi hari untuk berjalan ke dapur pintar dengan sarapan dan kopi yang sudah disajikan oleh robot. Bahkan, kini kegiatan melangkahkan kaki bisa menghilang dengan adanya hoverboard dan electric scooter. Hal-hal ini dengan sempurna merangkum potensi betapa malasnya kita karena teknologi yang memberi kita berbagai kemudahan. Tidak terlalu banyak aspek dalam kehidupan yang tidak dapat dibantu oleh teknologi, artinya praktis tidak ada batasan akan menjadi seberapa malasnya diri kita.

Memprioritaskan Teknologi Di Atas Aspek Kehidupan Lainnya

Tidak dapat disangkal bahwa hampir semua orang merasa bersalah karena berinteraksi dengan teknologi sebelum menyelesaikan semua pekerjaan yang perlu dilakukan untuk hari itu.

Kita menyadari bahwa kita sering membiarkan diri sendiri terganggu oleh teknologi, bahkan ketika kita sepenuhnya menyadari bahwa masih terdapat banyak hal yang harus diselesaikan. Hal ini tidak hanya dapat menyebabkan kurang tidur atau kurang waktu luang, tetapi juga dapat mempengaruhi kualitas di mana seseorang melakukan hal-hal lain karena mereka cenderung terburu-buru untuk kembali ke internet. Ironisnya, meskipun begitu, orang-orang tetap tidak memiliki motivasi yang diperlukan untuk melakukan perubahan agar dapat lebih produktif.

Akhirnya, terciptalah masalah bahwa teknologi menjadi prioritas di atas kesehatan kita sendiri.

Satu studi menunjukkan bahwa “… Ketegangan mata digital mengurangi tingkat kedipan kita hingga setengahnya, yang berarti air mata yang melindungi mata kita menguap tanpa diganti.” Kebenaran yang disayangkan dari masalah ini adalah bahwa sangat sedikit orang yang meluangkan waktu untuk mencoba dan memperbaiki masalah ini, meskipun sebagian besar mungkin menyadarinya. Ini menunjukkan betapa parahnya kecanduan teknologi, karena tidak hanya membuat sebagian besar orang malas atau tidak produktif, tetapi beberapa orang bahkan memprioritaskannya di atas kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Teknologi adalah Pedang Bermata Dua

Secara keseluruhan, teknologi tidak diragukan lagi telah menjadi bagian besar dari kehidupan setiap orang dan masyarakat kita. Meskipun menawarkan banyak keuntungan, ia datang dengan kelemahan seperti merusak produktivitas kita, kadang-kadang membuat kita sangat malas, dan bahkan berpotensi mengancam kesehatan jangka panjang kita.

Setiap elemen teknologi dirancang untuk membuat ketagihan, tetapi memutuskan apakah teknologi mengendalikan hidup kita sepenuhnya ada di tangan kita. Meskipun teknologi kemungkinan tidak akan pernah menjadi gangguan yang lebih kecil daripada saat ini, kita lebih dari mampu meminimalkan kemungkinan membiarkan teknologi memengaruhi kehidupan kita secara negatif.

 

 

Source :

https://medium.com/is-technology-making-us-lazier