Makna dari literasi digital telah bergeser selama beberapa tahun belakangan, yang awalnya bermakna kemampuan membaca dan menulis, kini literasi kian dikaitkan dengan produk digital, seperti kemampuan dalam menggunakan perangkat lunak komputer dan gawai. Kini literasi digital harus dibarengi dengan kemampuan menganalisis informasi  yang kita dapatkan dari internet, karena saat ini kita sudah melewati masa-masa pengenalan gawai, dimana hampir 64% dari penduduk di Indonesia telah menggunakan internet, menurut polling dari APJII tahun 2019. Sebagian besar dari pengguna tersebut juga berada pada usia 15-19 tahun, atau usia sekolah. Dengan demikian, pengenalan literasi informasi digital berada di tangan orangtua, guru dan sekolah.

Sebelum mengenalkan pada anak-anak, sebagai orangtua atau guru harus memiliki literasi informasi yang tinggi agar dapat mengajarkan anak-anak untuk mengaplikasikan informasi yang mereka dapatkan ke dalam kehidupan mereka. 

Pada artikel ini penulis akan membahas pentingnya membangun literasi informasi digital dan bagaimana mendampingi dan mengarahkan anak-anak dalam menggunakan informasi.

Tidak sebatas ‘Googling’ 

Google merupakan alat yang sangat powerful. Siswa yang memiliki akses ke internet mampu mencari jawaban sederhana hingga sangat rumit dengan sangat mudah. Meski demikian, ada perbedaan yang signifikan antara mencari jawaban melalui Google dan memahami kenapa jawaban dari pertanyaannya seperti itu. Perhatikan taksonomi Bloom berikut ini, kita ingin anak-anak untuk mendapatkan level terdalam dari pemahaman ketika menghadapi masalah.

Create: Membuat hal baru; Evaluate: Menilai ; Analyze: Mencari hubungan antar ide-ide; Apply: Menerapkan informasi pada situasi baru; Understand: Menjelaskan ide atau konsep; Remember: Mengingat kembali fakta atau konsep dasar.

Mencari jawaban melalui Google tidak memberikan proses belajar yang mendalam. Meskipun sebagian besar siswa sudah memahami bagaimana cara menggunakan mesin tersebut, tugas guru adalah memberikan keterampilan tambahan tentang bagaimana memanfaatkan informasi tersebut menjadi lebih baik. 

Ada beberapa cara yang dapat digunakan oleh guru atau orangtua untuk menanamkan kemampuan literasi informasi digital pada siswa atau anak:

Ajari mereka untuk menilai dan mempertanyakan sumber bacaannya.
Pebelajar harus mengetahui perbedaan antara sumber-sumber terpercaya dan sumber yang tidak dapat dipercaya. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertanyaan terhadap sumber tersebut misalnya:

  • Apakah sumber tersebut merupakan website akademis atau marketing sebuah perusahaan?
  • Kapan website tersebut terakhir kali memperbaharui kontennya?
  • Berapa banyak tautan yang digunakan sebagai referensi?
  • Apakah informasi disajikan dengan kalimat objektif atau bias?

Ajari pebelajar untuk membuat kesimpulan yang jelas.
Mungkin pebelajar dapat menjawab pertanyaan dengan benar, tapi apa gunanya pencarian tersebut apabila mereka hanya mengingat logika bagaimana cara mereka mendapat jawabannya? Tugas guru atau orangtua lah untuk mengajari bagaimana jawaban yang telah didapatkan menjadi lebih kontekstual.

Mendorong tingkat kreativitas mereka. Begitu pebelajar memiliki pemahaman mendalam dari jawaban yang mereka dapatkan, doronglah mereka untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan menantang mereka untuk membuat hal baru berdasarkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan, kegiatan yang dapat dilakukan misalnya:

  • Mendokumentasikan (film) eksperimen sains berdasarkan jawaban yang telah mereka cari
  • Merekam podcast sejarah tentang bagaimana mereka berhasil menemukan jawabannya
  • Menuliskan artikel jurnalistik tentang topik serupa

Literasi informasi digital bukan selalu berarti mengetahui bagaimana cara menggunakan perangkat keras/lunak. Guru atau orangtua harus dapat mendorong pebelajar untuk mencari tahu dan belajar perangkat lunak yang digunakan untuk mencari apa yang dibutuhkan.

Mengajarkan kewarganegaraan digital

Menjadi seorang warganegara digital berarti memahami dan menerapkan penggunaan teknologi internet yang sesuai dan bertanggungjawab. Dua permasalahan yang sering terjadi selama menjadi warganegara digital yaitu: plagiarisme akademis dan perundungan siber.

Plagiarisme akademis
Pada budaya dimana pebelajar membagikan konten terus-menerus, mereka mungkin tidak tahu apa itu plagiarisme, apalagi ketika mereka melakukannya. Guru atau orangtua sebaiknya memberikan aturan anti-plagiarisme pada awal tahun ajaran.

Perundungan Siber (Cyberbullying)
Perundungan siber atau yang biasa disebut cyberbullying merupakan perundungan yang dilakukan melalui teknologi elektronik, sudah menjadi masalah yang sering terjadi di sekolah maupun komunitas online. Meskipun siswa atau remaja kini sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang digital dan menjadi digital native, mereka harus tetap diajari bagaimana menerapkan norma-norma sosial di lingkungan online. Sumber bacaan harus ditempatkan untuk menghindari perundungan siber dan membantu siswa/remaja yang dirundung.

Memperluas konsep dunia digital

Meskipun siswa/remaja sudah terbiasa menggunakan perangkat digital, pemahaman mereka terhadap alat tersebut seringkali terbatas. Misalnya, siswa/remaja menggunakan instagram untuk post foto-foto mereka, tapi tidak terpikir untuk menggunakan instagram sebagai wadah untuk memperlihatkan projek kesenian atau sejarah. Mereka merekam memo suara menggunakan sebuah aplikasi tapi tidak menyadari kalau aplikasi tersebut juga dapat digunakan untuk projek jurnalisme atau potongan narasi historikal. Dengan mendorong mereka untuk menggunakan perangkat digital sebagai wadah untuk belajar, akan memperkaya pengalaman belajar siswa/remaja tersebut. 

Memungkinkan Diferensiasi

Diferensiasi di ruang kelas sangat penting untuk memenuhi kebutuhan seluruh siswa, namun hal tersebut sangat memakan waktu, apalagi untuk guru-guru baru. Dengan menggunakan teknologi dengan tepat dan kreatif, dapat mengurangi perbedaan-perbedaan tersebut, misalnya pada kelas tatap muka.

Guru dapat memimpin kelas dengan berceramah, dimana siswa yang visual dapat mengikuti ilustrasi di tablet mereka dan siswa yang audio dapat merekam materi yang disampaikan untuk didengarkan kembali.

Teknologi seperti itu memungkinkan guru untuk memberikan pilihan jenis tugas apa yang siswa ingin kerjakan, apakah itu membuat video, podcast atau menulis cerita. Literasi digital pada guru juga diperlukan untuk menentukan standar dan batasan-batasan untuk diferensiasi seperti ini.

Referensi:
https://rossieronline.usc.edu/blog/teacher-digital-literacy/
https://clalliance.org/blog/how-important-is-digital-literacy/
Photo by Annie Spratt on Unsplash