Dodi sedang mengajari Ani tentang cara membuat kisi-kisi soal ujian, Dodi mengatakan bahwa mereka harus mengacu pada Taksonomi Bloom. Kemudian Ani bertanya “apa itu Taksonomi Bloom?”, otomatis Dodi langsung menceritakan tentang Taksonomi Bloom dan bagaimana kaitannya dengan membuat kisi-kisi soal ujian.

Ketika kita sedang mempelajari hal baru, pasti ada istilah yang baru kita dengar, dan seketika itu juga kita ingin cari tahu hal yang belum kita ketahui tersebut. Sedangkan Dodi sedang menggunakan metode adaptive learning, karena Ia menyesuaikan pengetahuannya dengan Ani, ketika ada hal yang belum diketahui atau dipahami oleh Ani, Dodi langsung menjelaskan hal tersebut, setelah itu Ia akan kembali ke topik utama mereka. Teknik ‘berbelok’ dari topik utama itulah yang disebut ‘detour’.

Adaptive learning merupakan pengalaman belajar yang dibuat sesuai dengan kebutuhan individu pebelajar melalui feedback yang cepat, arahan dan sumber belajar dibandingkan dengan pengalaman belajar satu-untuk-semua.

Terdengar sangat ideal untuk belajar bukan? Ketika kita belum memahami konsep yang disebutkan, tersedia informasi yang dibutuhkan untuk kita. Belajar dengan adaptive learning sebenarnya sudah lama digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu saat kita belajar les (satu-satu dengan instruktur) yang mengajari secara teliti, kemudian ada pula pada buku-buku pelajaran kita dalam bentuk tips yang ada di sisi buku.

Penerapan detour pada media belajar online dapat digunakan dengan memberikan hyperlink pada konsep-konsep tertentu yang belum dimengerti, contoh yang sering kita temui yaitu pada website wikipedia. Dengan menerapkan detour, pengetahuan yang diperoleh pebelajar saat mempelajari materi tersebut semakin kaya, selain itu juga mengurangi potensi kejenuhan saat belajar materi (online).

Pada umumnya, teknik detour terbagi menjadi dua jenis yakni Pull Detour dan Push Detour.

Pull detour memungkinkan pebelajar untuk berhenti sesaat dan bertanya selama proses belajar pada eLearning untuk menambah tingkat pemahaman mereka. Contohnya yaitu Wikipedia, ketika kita sedang mempelajari tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, tiba-tiba tersebut nama Daendels. Apabila Anda tidak tahu siapa Daendels, Anda dapat klik tautan yang di-highlight untuk membaca lebih lanjut tentang Daendels. Dengan meletakkan tautan seperti itu, pebelajar dapat bertanya mengenai hal-hal yang belum mereka pahami sebelumnya. Sebaliknya, apabila mereka sudah tahu atau paham, mereka tidak perlu mengambil ‘detour’, dengan demikian akan mempersingkat waktu belajar. 

Sedangkan push detour menyelipkan assessment untuk menilai pemahaman pebelajar terhadap konten dan mengarahkan mereka pada konten tambahan sesuai kebutuhannya. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa pebelajar tidak selalu mengetahui apa yang mereka tidak ketahui dan seringnya terlalu percaya diri pada pengetahuan yang telah mereka miliki.

Bayangkan sebuah program eLearning yang dipelajari oleh Ani tentang pembuatan kisi-kisi soal, tiba-tiba muncul pertanyaan di layar “Diantara pilihan jawaban berikut, mana yang TIDAK termasuk dalam Taksonomi Bloom?” apabila Ani dapat menjawab dengan benar, materi akan lanjut. Sebaliknya, apabila Ia tidak dapat menjawab dengan benar, maka Ia akan dibawa ke halaman tentang penjelasan lebih lanjut.

Dengan menerapkan pull dan push detour, konten belajar dapat beradaptasi terhadap pemahaman pebelajar.

Kenapa teknik detour tidak digunakan dalam pengembangan konten eLearning?

Dengan segala kelebihannya, kenapa teknik detour jarang digunakan dalam konten eLearning? Padahal secara teknologis, menerapkan push dan pull detour tidak sulit. Berikut ini penjelasannya:

  • Salah satunya adalah karena teknik detour sulit diterapkan dalam sebuah kelas (konvensional): akan sangat sulit untuk mengakomodasi kebutuhan setiap pebelajar pada saat pembelajaran berlangsung. Dapat dibayangkan setiap anak bertanya ditengah-tengah penjelasan guru dan meminta guru tersebut untuk menjelaskan konsep tertentu. Hal tersebut sangat tidak efisien dan memakan waktu.
    Dengan demikian, para instruksional desainer maupun subject matter expert (SME) harus merancang narasi yang singkat dan jelas dalam menyampaikan materi, sehingga pebelajar dapat fokus pada apa yang akan disampaikan.
  • Alasan kedua yaitu berasal dari kekhawatiran, apabila pebelajar punya pilihan untuk melewati materi tertentu, maka kemungkinan mereka akan terus melewati hal-hal yang mereka perlu ketahui. Misalnya pada konsep Wikipedia sebelumnya, sebenarnya pebelajar perlu tahu tentang Daendels namun mereka melewati informasi tersebut. Sebenarnya dapat dibuat agar seluruh konten wajib diklik sebelum lanjut lagi ke konten utama, namun dengan mewajibkan pun belum tentu pebelajar benar-benar memahaminya.
    Untuk mengatasinya, sebagai instruksional desainer ataupun SME, kita harus bisa membuat narasi atau skenario dalam konten belajar yang ‘mengalir’, sehingga pebelajar dengan sendirinya akan tertarik untuk mempelajarinya, bahkan mereka akan secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar.
  • Alasan ketiga kenapa detour tidak digunakan adalah karena dianggap menambah daftar pekerjaan bagi instruksional desainer maupun SME – mereka harus membuat seluruh konten DAN konten simpangan. Padahal Anda tidak harus membuat konten baru, Anda hanya membuat konten tambahan yang nantinya akan dapat digunakan lagi pada konten-konten selanjutnya. Selain itu, detour mempermudah proses pembuatan konten, karena mereka meminimalisir keputusan sulit ‘bagaimana dan berapa banyak konsep yang harus dimasukkan dalam pelatihan’. Jika ragu, masukkan detour. Artikel Wikipedia lebih mudah dibuat daripada sebuah novel. Meskipun menambah waktu dan tenaga kerja instruksional desainer atau SME, kegiatan pembelajaran akan lebih efisien karena konten eLearning dapat digunakan oleh lebih banyak pebelajar dibandingkan pembelajaran konvensional (tatap muka). Belum lagi keuntungan dari segi finansial dan feedback yang lebih baik dari pebelajar karena mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda.

Penerapan detour dalam konten eLearning

Berikut ini tiga langkah dalam menerapkan teknik detour dalam eLearning:

  1. Instruksional desainer membuat seluruh konten untuk modul eLearning yang akan disampaikan. Kemudian instruksional desainer menganalisis kembali konten dan identifikasi topik-topik yang mungkin dikenali oleh beberapa pebelajar: yang mana topik tersebut akan dibuat menjadi push atau pull detour. 
  2. Instruksional desainer membuat narasi yang cocok untuk seseorang yang berpengalaman pada topik tersebut. Kemudian, instruksional desainer kembali menganalisis narasi dan mengidentifikasi konsep-konsep yang kurang dikenali dan mungkin akan ditanyakan oleh pebelajar. Masing-masing konsep tersebut akan dikembangkan menjadi detour.
  3. Instruksional desainer membuat learning objective. Kemudian membuat konten-konten eLearning yang terkait dengan objective-objective tersebut dan membuat detour untuk masing-masing objective (definisi konsep, overview, tips, fakta, dan lain-lain)

Sumber:
https://www.sweetrush.com/what-bart-simpson-teaches-us-about-detours-in-adaptive-learning/
https://www.sweetrush.com/Use_Detours_toDrive_Adaptive_Learning.pdf
Photo by Javier Allegue Barros on Unsplash