Belakangan ini, banyak perubahan yang terjadi dalam pola pembelajaran yang cukup mendasar karena mencakup lingkungan belajar. Lingkungan belajar kini semakin rumit, bukan hanya kumpulan mata kuliah, melainkan sistem pembelajaran formal dan informal yang terintegrasi. Pembelajaran dipandang sebagai sebuah perjalanan, bukan hanya sebuah event. Setiap saat kita senantiasa menerima informasi – dari media sosial, rekan-rekan, dari organisasi atau pemerintahan – merupakan langkah-langkah kita dalam perjalanan pembelajaran.

Perubahan besar kedua yakni perencanaan pembelajaran yang berpusat pada pebelajar; meskipun model ini sudah dikenal sejak lama, dan kini menjadi semakin diperlukan.

Faktor pendorong perubahan

  1. Fokus dalam membangun budaya belajar
    Pebelajar semakin tertarik pada seberapa besar pengalaman belajar yang diberikan 
  2. Perubahan generasi di dunia kerja
    Para milenial dan generasi Z lebih mementingkan kesempatan peningkatan karir dan pelatihan daripada jumlah gaji yang diberikan atau ditawarkan
  3. Cara kerja kolaboratif yang semakin diperlukan
    Berkolaborasi memerlukan fokus pada kognitif tim, feedback pada performa, dan menerapkan pembelajaran sosial serta informal.
  4. Pembelajaran telah terintegrasi dalam pekerjaan
    Anda tidak dapat memisahkan belajar dan bekerja, sehingga konten belajar harus selalu dapat diakses kapan saja saat dibutuhkan.
  5. Ada peningkatan penekanan dalam pertukaran pengetahuan (transfer of learning)
    Hal tersebut mempengaruhi desain pembelajaran (yang berbasis pada kinerja) dan pengukuran serta penilaian
  6. Teknologi semakin mudah diakses, terjangkau dan ada dimana-mana
    Artificial Intelligence telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Virtual reality, augmented reality, mixed reality, dan aplikasi mobile merupakan alat-alat dalam learning & development yang siap digunakan pada kondisi yang tepat.

Tren Desain Instruksional dan Pembelajaran tahun 2019

Mari kita bahas beberapa poin yang mencolok dalam ekosistem pembelajaran dan solusi yang muncul dan membentuk tren desain instruksional dan pembelajaran di tahun 2019 ini. 

Poin 1: Pembelajaran “satu untuk semua”

Evolusi: Adaptive learning, personalisasi, design thinking, desain pengalaman pebelajar, analisis interaksi data/xAPI/clickstream, konten berbasis user.

Pebelajar merupakan individu yang berbeda. Orang-orang yang mengikuti mata kuliah Anda, datang ke workshop, atau mengikuti seminar lewat VR, membawa latar belakang, pengalaman, dan dasar pengetahuan yang berbeda-beda. Jadi, kenapa kita tetap memberikan pengalaman belajar yang sama? apa karena kita kesulitan dalam memberikan sesuatu yang dipersonalisasi?

Padahal tidak sesulit yang Anda mungkin bayangkan, kita telah melakukannya sejak lama, bahkan sebelum teori Adaptive Learning menjadi tren. Lalu kenapa sekarang hal tersebut kembali mencuat?

“generasi milenial dan generasi Z yang kini memasuki usia produktif melihat sesuatu yang khusus dan personal lebih bernilai daripada sesuatu yang diproduksi massal dan dimiliki banyak orang.”

John-Carlos Lozano,  SweetRush’s Chief Creative Officer

Dahulu, menganalisis kesenjangan performa pada peran/posisi tertentu berarti semua yang menduduki peran/posisi tersebut harus mengikuti pelatihan. Sekarang, pelatihan difokuskan untuk meningkatkan keterampilan berdasarkan kebutuhan individu.

Selain itu, perkembangan teknologi kini memudahkan proses penilaian terhadap basis pengetahuan dan kompetensi seseorang dengan lebih mudah, serta pemberian akses untuk materi pembelajaran yang mereka inginkan dan butuhkan. Artificial Intelligence dikembangkan menjadi learning systems (LMSs, LXPs) yang dapat memberikan rekomendasi yang dipersonalisasi untuk pengalaman belajar dan jalur belajar (learning path).

Meskipun teknologi dapat memberikan konten yang tepat dengan lebih mudah, tetap harus diingat bahwa “adaptive learning yang efektif bukan terlahir dari teknologi dan AI yang canggih, melainkan dari kekuatan analisis konten”

Dengan demikian, perubahan tren dari desain instruksional menjadi desain pengalaman belajar. Teknik-teknik yang berasal dari design thinking, dengan penekanan pada empati dan menempatkan diri pada posisi pebelajar, menjadi lebih diutamakan dalam menganalisis dan merancang solusi belajar.

Keterlibatan dari pebelajar juga sangat diperlukan. Konten berbasis user, mulai dari postingan blog hingga podcast, memberikan relevansi yang sangat tinggi bagi pebelajar. Pada platform yang terintegrasi dengan social learning, pebelajar dapat memilih konten-konten yang mereka sukai dan memberi respon (komentar, suka), memberikan kombinasi pengalaman yang disesuaikan dan hubungan sosial dengan pengguna lainnya.

Poin 2: Pelatihan Konvensional yang Membosankan

Evolusi: multiple modalities, blended experiences, ruang belajar dengan penuh aktivitas

Dengan segala kekurangannya, pelatihan konvensional masih populer digunakan oleh pebelajar dan organisasi. Kalaupun membosankan, pebelajar masih dapat keluar dari aktivitas sehari-hari dan bertemu orang baru serta belajar hal baru. Pelatihan konvensional tidak sepenuhnya tergantikan oleh online learning yang tetap menjadi dorongan kebutuhan berdasarkan penghematan anggaran dan penyebaran pebelajar secara geografis. Namun, yang perlu diperhatikan adalah memfokuskan tujuan dari online learning, bagaimana terus memotivasi pebelajar agar mereka mau berinteraksi, membantu mereka saling terhubung dengan pebelajar lainnya, dan mengaplikasikannya ke pekerjaan sehari-hari.

Kini sebutan blended learning berubah menjadi blended experiences, karena pebelajar akan mendapatkan berbagai pengalaman untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pengalaman yang dapat diadaptasi diantaranya: eLearning, pelatihan dengan instruktur virtual, bermain peran, coaching, rencana kerja. Semua itu dapat digabungkan dengan ruang belajar sosial, gamifikasi, dan program branding dan marketing. 

Dengan demikian pelatihan kini sebaiknya merupakan lingkungan belajar yang penuh dengan aktivitas seperti permainan dan simulasi (analog dan digital), diperkaya dengan aplikasi mobile yang dirancang untuk menjaga perhatian, memberikan sumber belajar, dan membuka jaringan.

Poin 3: Webinar yang begitu-begitu saja

Evolusi: vILTs dengan komponen sosial, mobile app, games

Pernahkah Anda bosan ketika belajar di ruang kelas, sambil mendengarkan guru Anda menyampaikan materi? Nah, bayangkan apabila Anda mendengarkan ceramah dari guru lewat video online, terlebih lagi apabila durasinya yang sangat panjang. Saya pribadi akan lebih mudah teralihkan pada notifikasi instagram atau twitter.

Padahal metode seperti aktivitas tim dan gamifikasi lebih sukses dibandingkan webinar, dimana aktivitas tim dapat dilakukan diluar kelas untuk mendiskusikan konsep, memecahkan masalah, bermain peran dan akhirnya mendapatkan poin untuk lulus.

Selain itu, aplikasi mobile juga punya peran khusus, dimana aplikasi dapat menyodorkan permainan dan sumber bacaan kepada pebelajar, sebelum, saat dan setelah kegiatan pelatihan/pembelajaran online, agar pebelajar tetap terlibat dan tersambung. Anda juga dapat memberikan kesempatan untuk memperluas jaringan, dimana pebelajar dapat melihat profil rekan-rekan sekelasnya dan saling menghubungi melalui aplikasi tersebut.

Sehingga istilah mixed environments sering digunakan, yaitu ketika kondisi kelas direkam untuk live streaming pada audiens virtual. Partisipan yang hadir pada virtual kelas diperkenalkan dan mereka dapat memberikan komentar dan pertanyaan yang dibacakan secara langsung.

Poin 4: eLearning generasi selanjutnya

Evolusi: Latihan dengan simulasi, video interaktif, storytelling, VR, AR, dan mixed reality

Semakin kesini, latihan berbasis simulasi yang menggunakan video interaktif, perkuliahan berbasis web, dan virtual reality semakin menarik untuk diikuti. Dengan menggunakan skenario bercabang agar lebih komplek, ID mengubah alat-alat lain diluar microsoft word untuk menciptakan storyboard dan flowchart dan pohon keputusan (decision tree). Selain itu, kita mendapat keputusan untuk personalisasi pembelajaran dengan teknik adaptif, memberikan asistensi dalam bentuk “bantuan dari ahli” saat dibutuhkan.

Keberhasilan dari cara-cara ini bergantung pada storytelling yang luar biasa, dan kapabilitas produksi untuk menjadikan storytelling tersebut nyata. Avatar akan terus menjadi alternatif yang ramah biaya dibandingkan video live, dan kita akan melihat kedalaman dalam kepribadian mereka: manusia, karakter yang kekurangan dan semakin banyak belajar sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dibandingkan narator. Mahasiswa akan melihat diri mereka dalam cerita-cerita tersebut, meningkatkan relevansi dan hubungan emosional.

Kemudian VR dan AR akan terus berkembang. Tren dari VR lebih mengarah pada interaktivitas: pengalaman belajar akan selalu lebih menarik saat kita melibatkan pebelajar, namun kita harus mengintegrasikan 3D ke dalam pengalaman tersebut, sebuah kapabilitas yang tidak banyak dimiliki vendor.

Sedangkan perkembangan AR lebih mengarah pada skenario museum klasik. Dengan cara mengangkat smartphone atau tablet di depan objek tertentu, akan memunculkan informasi lebih lanjut mengenai objek tersebut. Misalnya kombinasi AR, gamifikasi dan avatar 3D menciptakan kartu-kartu AR yang digunakan untuk mendemonstrasikan body language seorang customer dan mengajarkan keterampilan melayani customer.

Poin 5: Kompabilitas

Evolusi/tren: Lebih Banyak Pilihan Untuk Alat Desain Mobile / Responsif Untuk Pengembangan Cepat, Augmentasi Staf

Bagian terpenting lainnya adalah pembelajaran terakses mobile tidak lagi sebagai pilihan sampingan, tapi harus dimiliki pada tahun 2019 ini.

Terkadang kita bekerja keras pada konten yang kurang stabil, sehingga membutuhkan review dari berbagai stakeholder, di sisi lain, kebijakan akan terus berubah. Dengan demikian, mata kuliah/courses harus lebih mudah diperbaharui oleh vendor dan tim klien. Tools ini harus mencapai kebutuhan tersebut juga.

Pada tahun 2017, tim Digital-Media Development selesai mengembangkan sebuah web-based authoring tools bernama BITS yang memungkinkan SME di lingkungan BINUS University untuk mengembangkan konten multimedia sendiri. Tools ini dibuat dengan sedemikian user-friendly agar seluruh pengguna mampu menggunakannya. Output dari multimedia yakni html5, sehingga kompatibel dengan browser saat ini. 

Selain menggunakan tools yang lebih canggih, apabila butuh pengembangan yang lebih cepat, ada kalanya kita butuh pendekatan augmentasi staf, dengan support dari seorang instruksional desainer yang mengembangkan dari awal hingga akhir. Produk akhirnya mungkin akan berbeda dengan hasil yang melibatkan seluruh tim (tim kreatif, tim grafis, developer, namun apabila project nya tidak terlalu besar dan rumit, pendekatan ini cukup baik untuk mencapai tujuan)

Sumber:
https://elearningindustry.com/2019-instructional-design-trends-learning-trends-ecosystem-evolves
Photo by Billetto Editorial on Unsplash