Tepat di balik gerbang besi tempa Museum Westfries terdapat poster besar dengan gambar seorang wanita Indonesia yang tertembak kepalanya dengan tulisan “Depok” diatasnya.

Batavia menjadi berita utama di museum, memperingati 400 tahun sejak Jan Pieterszoon Coen yang asli Hoorn (salah satu kota di propinsi sebelah utara Belanda) – yang kemudian patungnya berdiri di tengah tengah lapangan terbuka museum – menaklukan kota pelabuhan Jayakarta dan menamainya Batavia pada Mei 1619.

“Coen sebenarnya ingin memberi nama kota itu ‘Nieuw Hoorn’. Tetapi kala itu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak mendengarkan usulannya dan menjadi ‘Batavia’, kata direktur Museum Westfies, Ad Geerdink.

VOC adalah perusahaan dagang Belanda yang mengelola perdagangan internasional negara di Asia. Kemudian berkembang menjadi administrasi kolonial Belanda di kepulauan Indonesia.

Eksposisi Museum Westfries tahun ini semuanya terkait dengan kolonial Indonesia: satu mengenai Hindia-Belanda diikuti oleh “Depok, the Dream of Cornelis Chastelein”, tentang sejarah yang tidak banyak diketahui dari sebuah komunitas unik yang dibentuk di selatan Jakarta tiga abad lalu.

Inti dari itu semua adalah perjalanan Virtual Reality di Batavia pada tahun 1627, di mana pengunjung dapat melihat pemandangan kota yang saat itu berada di bawah kendali Coen.

Pada tahun 1918, seorang pegawai balai kota Hoorn menemukan bungkusan berdebu di loteng Gedung, yang ternyata merupakan peta asli Batavia tahun 1627. Peta dengan ukuran besar itu dibuat oleh pembuat peta Floris van Berckenrode dan merupakan peta detil tertua kota Batavia.

Meskipun dalam kondisi rusak, peta itu masih jelas menunjukkan pelabuhan dan bentengnya, Sungai Ciliwung yang airnya mengalir ke kanal yang dibuat Belanda, dengan bangunan berdiri di sampingnya. Saat ini peta tersebut tergantung di museum, masih dibiarkan dalam kondisi rusak agar menampilkan kondisi aslinya.

“Seperti apa kota Batavia saat itu? Seperti apa rasanya tinggal disana? Pertanyaan tersebut yang kami pikirkan saat kami mulai mengerjakan proyek Virtual Reality pada tahun 2017,” kata Geerdink.

Virtual Reality ini menjadi teknologi yang luar biasa dalam membawa pengunjung dalam perjalanan melintasi Batavia empat abad yang lalu, yang saat itu hanya berjumlah sekitar 2000 penduduk. Yang mempesona pada awalnya, di mana pengunjung “terbang” di atas teluk dengan latar belakang kota Batavia.

Selain pemandangan bird eye’s, mereka dapat memilih titik-titik tertentu untuk “mendarat’ dan berada di tengah tengah lokasi tertentu, seperti di atas kapal kapal kecil lengkap dengan pendayung  yang duduk di belakang – menjelajah teluk di tengah tengah kapal-kapal besar Eropa dan Asia yang didukung oleh Pelabuhan Sunda Kelapa.

Atau di pasar yang sekarang bernama Lapangan Fatahillah, dengan kios-kios yang penuh dengan buah-buahan dan sayuran dengan orang-orang dari berbagai etnis – Eropa, Jawa, Cina – berseliweran.

Dalam perjalanan waktu, suara yang lembut dan imajinasi kartografer Van Berckenrode menjadi panduan perjalanan, dengan memberikan penjelasan historis mengenai etnis yang tinggal di Batavia, lokasi dan peristiwa tertentu.

Penelitian apa saja yang akan ditunjukkan dalam Virtual Reality dilakukan oleh Geerdink dan sejarawan Bea Brommer, yang mengenal kota ini melalui kunjungannya ke Jakarta sejak tahun 1970-an. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuat proyek ini seakurat dan serinci mungkin.

Salah satu contohnya adalah mengenai adegan di pasar, Brommer mengatakan: “Kami melihat dokumen pajak saat itu untuk mengetahui apa saja yang dijual pada tahun 1627, karena semua barang dikenakan pajak, termasuk beras, pisang dan durian. Kami juga mempelajari berbagai gambar asli abad ke-17 dengan pemandangan pasar dan orang-orang Batavia.”

KOMUNITAS UNIK DARI DEPOK

Eksebisi lainnya adalah Depok, daerah di selatan Jakarta, yang memiliki sejarah unik yang hanya diketahui sedikit di luar komunitas intinya, tetapi menyentuh banyak aspek kehidupan kolonial: dari kegiatan sehari-hari hingga perbudakan dan sampai pada pergantian kekuasaan yang bergejolak di tahun 1940-an. Dimulai dengan karyawan VOC Cornelis Chastelein, yang tiba dan menetap di Batavia pada tahun 1675.

Cornelis Chastelein akhirnya mengambil alih Depok. Tanahnya subur dan Chastelein menanam padi dan sayuran di sana, bahkan bereksperimen dengan menanam lada dan kopi.

Ketika Cornelis meninggal pada tahun 1714, dia meninggalkan tanah miliknya kepada 150 budaknya yang saat itu merupakan gabungan dari orang-orang sekitar dan dari seluruh kepulauan, sampai jauh dari India dengan syarat mereka harus menjadi Kristen.

VOC takut akan segala jenis kepemilikan atau administrasi secara independent, memungkinkan para mantan budak tetap tinggal di Depok dan memanfaatkan tanah itu. Geerdink mengatakan: “Interaksi mereka pada awalnya sebagian besar dengan orang-orang di sekitarnya untuk membantu mengerjakan tanah”.

Akan tetapi, pada tahun 1850 keturunan Chastelein dari Belanda menuntut tanah itu dikembalikan dan memulai melakukan gugatan terhadap orang-orang Depok tetapi akhirnya gugatan itu gugur dan kalah. Dengan demikian tanah itu secara resmi milik 12 keluarga besar yang tinggal di sana. “Mereka bukan orang Indonesia, bukan orang Indo, bukan orang Belanda: Mereka orang Depok. Hal yang tidak biasa dalam sebuah koloni, kata Geerdink.

Setelah 1850, Depok menjadi jauh lebih terbuka bagi dunia luar, dan akhirnya banyak penduduk yang memiliki status hukum yang sama dengan orang Eropa di Hindia Belanda. Menariknya mereka tidak dilihat sebagai orang Eropa oleh penjajah Jepang antara tahun 1942 dan 1945, dan tidak seperti banyak orang Eropa selama periode itu yang tidak dikirim ke kamp tahanan.

Tragedi itu terjadi setelah perang kemerdekaan antara 1945-1949 ketika orang-orang Depok sekitar 5000 orang dipandang sebagai kolaborator Belanda, “ kata Geerdink.

Dalam bukunya “Depok: The Dream of Cornelis Chastelein”, Willie Jonathans, seorang penduduk asli Depok, mengenang penduduk setempat meneriakkan Belanda Depok kepada mereka. Komunitas Depok sering menjadi sasaran kemarahan warga lokal dan banyak yang kemudian memilih untuk pergi ke Belanda.

Masih menjadi perdebatan, ketika bagian terbaik dari eksposisi adalah banyaknya foto penembakan kepala oleh fotografer Geert Snoeijer, menunjukkan beberapa keturunan tinggal di Belanda dan sebagian lain tinggal di Depok dari 12 keluarga. Beberapa keturunan hadir ke pameran, seperti W.J. Leeluse, yang neneknya terbunuh pada tahun 1940-an. “Pameran ini terjadi pada saya.”

 

Sumber

https://www.thejakartapost.com/life/2019/11/21/dutch-museum-offers-virtual-reality-journey-to-old-jakarta.html