Artikel ini merupakan ringkasan singkat dari sebuah penelitian yang berjudul The digital frontier: Envisioning future technologies impact on the classroom oleh Sean M. Leahya, Charlotte Holland, dan Francis Ward yang papernya dapat dilihat di link berikut.

Fokus penelitian tersebut bukan untuk memprediksi sebuah bentuk pendidikan di masa depan, melainkan untuk mempertimbangkan dengan kritis apa saja kemungkinan yang terjadi di masa depan, dengan melihat pergerakan tiga skema yang sedang dikritisi saat ini. Skema tersebut diantaranya adalah teknologi augmented reality, artificial intelligence, dan teknologi material. Ketiganya akan dibahas dan dikaji dalam konteks pendidikan dasar hingga tinggi (SD – SMA), baik dari segi tantangan, dan mempetimbangkan pengaruhnya terhadap masa depan.

Skema teknologi yang digunakan di ruang kelas
Skema dalam lingkup penelitian ini dibagi menjadi tiga domain, yakni: ruang belajar terbuka (ruang belajar secara fisik di masa depan), teknologi berwujud (alat-alat digital yang dapat digunakan secara langsung seperti teknologi augmented reality), dan teknologi tidak berwujud (teknologi yang tidak berwujud atau tidak dapat dipegang seperti artificial intelligence)

Gambaran sejarah integrasi teknologi pada dunia pendidikan
Menurut Howard & Mozejko (2015) terdapat tiga era integrasi teknologi: era pra-digital (1890 – 1970an) dimana terjadi integrasi dari teknologi audio dan televisi (tipe broadcast), era komputer personal (1970 – saat ini) dimana terjadi sistem belajar mandiri dan game digital, dan era internet (1990 – saat ini) dengan perkembangan bentuk jaringan belajar dan kemampuan baru termasuk content tagging dan anotasi, geo-lokasi, bio-sensory captures, dan kumpulan sumber data. Meski pada tiap era integrasi teknologi membawa cara-cara baru untuk saling terhubung dan belajar yang inovatif, para peneliti lainnya setuju bahwa hanya sedikit yang berhasil mencapai potensi yang diharapkan.

Menurut Saari dan Santi (2017), dengan mengenali struktur historis, ideologis dan sosial sekolah, dan menanamkan budaya dan pengetahuan dalam mengajar dan belajar di dalamnya, menunjukkan kecenderungan untuk tetap bertahan terhadap perubahan (terutama berkenaan dengan adopsi dan integrasi teknologi baru dengan cara yang berpusat pada peserta didik) hingga saat ini. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengingat bahwa teknologi bukanlah entitas yang netral, mereka sarat nilai, dan menjadi terkandung secara budaya ketika diintegrasikan dalam praktik, dan dengan demikian, memiliki kapasitas untuk digunakan sebagai pembatas atau pengubah pembelajaran.

Skema 1: Ruang belajar terbuka

Ruang belajar terbuka ini merupakan pendobrak dari ruang belajar tertutup dan otoriter, eksklusif, inequality diantara masyarakat. Ruang belajar terbuka ini bertujuan untuk memperkaya proses belajar dengan mendesain ulang arsitektur sekolah untuk membuat ruang yang lebih terbuka dan fleksibel sehingga memungkinkan guru dan murid untuk berinteraksi dan berkolaborasi, dan dengan cara mengintegrasikan aktivitas yang memungkinkan siswa belajar dari dan untuk sesama mereka.

Dengan kemajuan terbaru di berbagai teknologi pendidikan dan bahan bangunan, ada peluang baru untuk mempertimbangkan kembali arsitektur fisik dan pembelajaran untuk sekolah masa depan yang dapat memungkinkan penerapan model pembelajaran yang lebih fleksibel dan terbuka, dan dengan demikian, mendukung lebih banyak bentuk pembelajaran yang beragam dan inklusif, dan pengalaman belajar yang lebih kaya seperti yang awalnya dikonseptualisasikan dalam gerakan “ruang kelas terbuka”. Bahan bangunan pintar (smart material) dan struktur sensorik mengambil bentuk (direkayasa) bahan yang memiliki “memori” dari keadaan/bentuk sebelumnya dan dapat menyesuaikan diri.

Dalam hal ini, mereka memiliki kapasitas sensorik yang memungkinkan mereka untuk merespons secara tepat (mengadaptasi dan mengatur fungsi) terhadap suatu kejadian dan atau kondisi lingkungan. Contoh dari teknologi yang muncul ini termasuk:

  • beton pintar (yang dapat memungkinkan deteksi fraktur stres atau pergerakan orang di dalam gedung);
  • smart bricks (yang dapat mendeteksi tekanan fraktur, memberikan informasi tentang kelembaban dan suhu);
  • smart wrap (bahan bangunan futuristik yang menggantikan semua bahan interior dan eksterior, memberikan kontrol iklim, daya di mana saja di dinding dan memungkinkan konfigurasi ulang dan pergerakan ke lokasi baru kapan saja);
  • smart glass (perubahan dari transparan ke buram, sehingga meningkatkan privasi);
  • atap hijau pintar;
  • komposit cerdas;
  • cat dan pelapis pintar, dan
  • bahan penyerap suara untuk mengontrol kondisi akustik yang optimal

Selain itu, beberapa struktur ini akan memiliki keuntungan tambahan karena dapat dibongkar dan dibangun kembali di lokasi lain, seperti hutan, dan dengan demikian dapat digunakan untuk memberikan kesempatan belajar otentik yang diperluas di luar kampus sekolah. Oleh karena itu, sistem cerdas ini dapat digunakan untuk menyediakan lingkungan fisik yang lebih sehat dan lebih berkelanjutan, responsif terhadap perubahan iklim lokal dan menghemat energi, serta memoderasi tingkat kebisingan.

Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila ingin menggunakan bahan-bahan tersebut atau menerapkan proyek ruang belajar terbuka, diantaranya:

  • banyak bahan-bahan tersebut yang masih dalam tahap prototyping dan testing.
  • bentuk-bentuk tertentu dari pengembangan bahan yang bergantung pada sumber daya yang tidak terbarukan mungkin akan dikenakan pembatasan lingkungan baru yang membatasi jenis atau komposisi bahan.

Kesiapan dari guru dalam mengajar di ruang kelas terbuka juga harus diperhatikan, seperti: persepsi guru tentang keterjangkauan ruang terbuka (fleksibilitas, peningkatan visibilitas, pengawasan interaksi pelajar, dan penekanan hirarki) dan reaksi guru terhadap ruang terbuka (praktik kolektif, orientasi tim, interaksi dan otoritas).

Osborne (2016) menguraikan berbagai pertimbangan yang perlu dipertanggungjawabkan untuk mencapai ruang pembelajaran terbuka yang dapat diterapkan, termasuk memastikan: inklusivitas lingkungan, daya tanggap budayanya, keragaman dan tujuan yang jelas untuk ruang belajar, serta pembelajaran aktif dan fisik yang dipupuk dalam ruang belajar.

Skema 2: augmented reality (AR)

Mungkin salah satu aplikasi pendidikan yang paling umum untuk augmented reality adalah buku AR. Prinsip dasarnya adalah bahwa buku AR adalah buku fisik yang berisi gambar yang ketika dipindai oleh kamera perangkat dan dikenali oleh aplikasi AR, memicu tampilan sumber daya yang ditambah termasuk gambar, klip video, dan model 3D sebagai overlay ke layar. Contoh yang lebih baru dari buku AR juga memungkinkan interaksi dengan menampilkan tombol yang ketika “ditekan” oleh pengguna dapat memanipulasi informasi yang ditampilkan, serta mendukung pengenalan bahasa alami untuk mengontrol aplikasi dan akhirnya disebut dengan “buku pop-up 3D interaktif”

Aplikasi umum untuk AR dalam sains meliputi pemodelan 3D, sering konsep abstrak atau sulit divisualisasikan, AR dapat digunakan untuk mengajar siswa tentang hubungan antara matahari dan bumi, dan konsep-konsep seperti rotasi vs revolusi, dan titik balik matahari dan ekuinoks. AR juga telah memperkaya bidang pembelajaran bergerak dan mendukung konsep pembelajaran berbasis penemuan dan pembelajaran berbasis situasi.

Dua tinjauan literatur dari Augmented Reality and Game Based Learning (ARGBL) dalam pendidikan menguji bagaimana penggunaan game AR dalam pendidikan dapat menciptakan hubungan yang lebih dalam dengan materi dan mengembangkan keterampilan atau penguasaan konsep dengan harapan melibatkan siswa melalui meniru keberhasilan game AR seperti Pokemon GO!

Meski demikian tantangan yang terdokumentasi dalam menggunakan teknologi AR dalam pembelajaran terkait dengan keterbatasan teknologi AR saat ini seperti:

  • pelacakan posisi, penempatan konten (pemetaan), antarmuka yang ramah pengguna, dan kurangnya produksi berkualitas.
  • kurangnya platform pendidikan di mana pendidik dapat menciptakan pengalaman yang relevan secara kontekstual yang disesuaikan untuk kelas atau bidang studi.
  • Kebutuhan jumlah waktu untuk bekerja pada nilai pedagogis AR
  • mempersiapkan kegiatan yang meliputi penggunaan AR secara efektif

Tanpa kemampuan untuk menciptakan pengalaman yang otentik, teknologi ini dapat dilihat sebagai solusi “menarik perhatian” atau gimmick, dan sifat baru dari teknologi mungkin dapat menutupi proses pembelajaran yang diinginkan.

Dengan asumsi AR dapat mengatasi tantangan teknologi, masih belum diketahui untuk meramalkan bagaimana atau apakah masyarakat kita akan terus mempertahankan keyakinan bahwa teknologi AR memiliki peran yang berharga, tidak merusak pendidikan, apakah pendanaan akan terus disediakan untuk mendukung integrasi AR yang berhasil ke dalam pendidikan, dan apakah individu serta kemitraan yang mewakili keseimbangan antara teknologi, konten, dan pengetahuan pedagogis akan terus terlibat satu sama lain untuk mengembangkan pedagogi untuk pengajaran dan pembelajaran yang efektif.

Skema 3: artificial intelligence (AI)

Salah satu kemajuan tersebut adalah “datafikasi” dari kegiatan sehari-hari kita di mana semua elemen kehidupan kita yang ditingkatkan secara digital menjadi terkuantifikasi oleh lokasi kita, komunikasi, dan data penggunaan dll. Dikatakan bahwa datafikasi ini akan memungkinkan mesin, dan sistem untuk memperkirakan tingkat pengetahuan siswa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dengan demikian sistem cerdas akan dapat memberikan kegiatan pembelajaran, penilaian, dan intervensi waktu nyata yang sangat personal. Namun kekhawatiran yang semakin meningkat seputar datafikasi terhadap perilaku pengguna adalah privasi.

Kemajuan dalam AI yang memiliki tujuan langsung untuk meningkatkan pengalaman belajar mengajar dalam pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai sub-domain yang dikenal sebagai artificial intelligence in education atau AIEd.

Dalam model pedagogis misalnya, dapat berisi pengetahuan yang tepat tentang kegagalan produktif, mengetahui berapa lama membiarkan pelajar membuat kesalahan, atau memberikan mereka kebebasan untuk mengeksplorasi konsep sebelum “diberi tahu” hasil yang benar atau diinginkan, atau mengetahui umpan balik seperti apa yang tepat untuk diberikan dan kapan, dan mengetahui bagaimana menilai kemajuan atau penguasaan peserta didik terhadap suatu konsep secara akurat.

Model pengetahuan mewakili pengetahuan kolektif dari area subjek tertentu seperti hukum matematika, fakta sejarah, dan bahasa. Model pembelajar juga berisi informasi historis pembelajar termasuk keberhasilan dan kegagalan mereka, keadaan emosional, keterlibatan, minat, dan tujuan.

Kekuatan potensial dari sistem ini terlihat ketika pengumpulan data pada skala siswa di seluruh dunia untuk digunakan dalam pengembangan lanjutan dalam pendekatan pedagogis, yang dapat dilihat berdasarkan umpan balik yang dikumpulkan dengan memahami bagaimana pembelajaran berlangsung, dimana letak kesalahpahaman, dan cara terbaik untuk melakukan intervensi yang dibutuhkan.

Dengan meningkatnya peran AI dan pembelajaran mesin tanpa pengawasan melalui big data, salah satu “bendera merah” yang diangkat adalah potensi hubungan antara siswa dengan guru dapat berubah dan jika tidak dilakukan dengan hati-hati bisa berkurang. Eksperimen baru-baru ini menghasilkan hasil hipotetis siswa menjadi terasing dari guru mereka sebagai peran guru terus bergeser ke peran “pembimbing” yang semakin berkurang sedemikian rupa sehingga hubungan semua hilang dan digantikan oleh hubungan antara AI dengan siswa.

Luckin et al. (2016) mendukung gagasan desain partisipatif ini dengan menyarankan bahwa peran guru akan berubah seiring dengan kemajuan AIEd dan membutuhkan keterampilan baru termasuk pemahaman canggih tentang AI, keterampilan penelitian untuk menginterpretasikan data, serta manajemen dan kemampuan untuk bekerja secara tim yang dapat memanfaatkan sistem baru.

The Future Today Institute (2018) membahas kelanjutan pengembangan AI dalam Laporan Tren Teknologi tahunan mereka dan meramalkan implikasi untuk teknologi pendidikan seperti pengembangan komputasi kognitif, sistem yang memanfaatkan pemrosesan bahasa alami untuk memahami niat/maksud (manusia) dan menyediakan interaksi, dengan cara yang lebih alami.

Photo by Lucrezia Carnelos on Unsplash