Balance Beats Toxic: Wantja Ajak Mahasiswa BINUS Berdamai dengan Quarter Life Crisis dan Toxic Productivity

Jakarta, 5 Desember 2025 – BINUS Youth Festival kali ini menyentuh isu yang paling dekat dengan anak muda: kesehatan mental dan tekanan untuk selalu produktif. Bertempat di Recreation Room, Kampus Anggrek BINUS @Kemanggisan, sesi spesial “Balance Beats Toxic” menghadirkan Irwan dari Wantja – Mental Health Doodles yang berhasil membawa suasana workshop menjadi hangat, reflektif, namun tetap menyenangkan.
Sebelum lebih jauh, yuk kenalan dengan Kak Irwan! Ia adalah seorang full-time content creator yang memulai aktivitas berkarya dalam bentuk ‘narasi ilustrasi’ dengan akun Wantja (@wantja) sejak tahun 2020. Melalui doodle-nya, ia secara konsisten membicarakan topik kesehatan mental dan pengembangan diri. Sebelumnya, Kak Irwan juga memiliki pengalaman bekerja di start-up edtech selama empat tahun sebagai pengajar dan produser video animasi pendidikan.
Pada kesempatan kali ini, Kak Irwan mengajak para BINUSIAN untuk mengenali tantangan khas yang dialami selama masa perkuliahan. Banyak mahasiswa merasakan ketidakstabilan ini, yang kemudian dirangkum sebagai Quarter Life Crisis (QLC).
Quarter Life Crisis itu apa sih? QLC adalah istilah populer untuk menjelaskan babak kehidupan yang tidak stabil dan penuh tantangan bagi orang-orang di usia dewasa muda, yaitu sekitar 18 hingga 30 tahun.
Menurut Wantja, beberapa hal yang biasa dialami mahasiswa di masa QLC, antara lain:
• Stres tugas, ujian, dan dikejar deadline.
• Ingin cepat lulus, namun juga merasakan jatuh cinta dan patah hati.
• Merasa insecure terhadap penampilan dan takut berkenalan dengan orang baru.
• Bingung mencari jati diri dan kebingungan untuk berkomitmen dengannya.
Kak Irwan menjelaskan, wajar jika ada masalah dalam keseharian saat menghadapi lika-liku hidup di masa kuliah. Masa ini ditandai dengan perubahan status kedewasaan yang ambigu (anak-anak bukan, dewasa juga bukan), perubahan fisik dan peran, hingga perubahan kondisi sosioekonomi.
Salah satu masalah yang intens muncul di masa muda adalah Toxic Productivity.
Toxic Productivity terjadi ketika keinginan untuk mendapatkan dan menghasilkan sesuatu justru menjadi penghambat terbesar bagi diri kita.
Fenomena ini, yang sering berkaitan dengan Overworking & Hustle Culture, menjadi racun karena membuat seseorang:
• Merasa bersalah jika beristirahat atau melakukan hal yang tidak produktif.
• Sulit untuk slowing down, sehingga tidak bisa me time atau quality time dengan teman.
• Tidak menikmati momen saat ini.
Jika dibiarkan, Toxic Productivity dapat menyebabkan Burnout, di mana kita merasa sangat lelah meski sudah istirahat, kehilangan minat, dan bahkan menyalahkan diri sendiri karena merasa “tidak produktif”.
Lantas, bagaimana caranya agar bisa produktif tapi tetap sehat? Wantja membagikan beberapa tips praktis:
1. Buat Batasan Jelas: Berikan waktu break untuk istirahat dan aktivitas lain. Pisahkan peran ‘profesional’ dengan peran lainnya (Professional Detachment).
2. Latih Mindful Working: Hindari multitasking. Sadar dan fokus pada satu hal dalam satu waktu.
3. Beri Batasan pada Media Sosial: Media sosial yang dianggap ‘hiburan’ atau ‘istirahat’ seringkali justru bukan istirahat yang sesungguhnya kita butuhkan.
4. Terapkan Teknik Pengelolaan Waktu:
• Timeblocking: Identifikasi tugas, tentukan jumlah waktu yang digunakan, dan buat jadwal untuk melakukan hal itu saja. Waktu istirahat dan bermain juga perlu di-timeblocking.
• Teknik Pomodoro: Melatih fokus dan memberikan waktu untuk beristirahat secara terstruktur.
5. Cari Komunitas dan Kegiatan Langsung: Terlibat dalam kegiatan langsung, bergaul dengan orang-orang yang sefrekuensi, networking, dan beri jarak dengan dunia maya.
Proses mengenali dan merawat diri ini sejalan dengan nilai ketiga Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, yaitu memastikan hidup yang sehat dan sejahtera secara menyeluruh bagi semua kelompok usia. Irwan menekankan bahwa wellbeing tidak hanya terjadi secara mandiri, tetapi juga secara komunal/kolektif/bersama.
Penting untuk melatih hal-hal fundamental agar wellbeing kolektif terwujud:
• Berlatih Berempati: Memposisikan diri dari sudut pandang orang lain.
• Berlatih Berkomunikasi: Mendengar aktif, mengutarakan kebutuhan secara lugas, dan berani berkata tidak.
• Berlatih Kelola Emosi: Memahami reaksi tubuh sebelum memberikan respons ke luar.
Kak Irwan menutup sesi dengan mengajak BINUSIAN untuk “embrace” proses menjadi dewasa dan menemukan keseimbangan (balance) di antara berbagai peran yang dijalani, seperti menjadi Mahasiswa, Anak, Sahabat, Pasangan, atau Anak Magang.
Sesi ini diakhiri dengan Doodle Pin-Making Workshop, di mana pin hasil karya diharapkan menjadi penyemangat bagi BINUSIAN untuk menerima dan menemukan keseimbangan dalam peran dan identitas mereka.
-MNP-
Comments :