Fraud, Lies, and Unicorn: Hard Lessons from Indonesia’s Tech Startup Failures
Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dan Dies Natalies ke-44
Universitas Bina Nusantara Jakarta 1 Juli 2025
Prof. Gatot Soepriyanto Ph.D., CA., CFE
Guru Besar Bidang Fraud Examination
School of Accounting
BINUS University
gsoepriyanto@binus.edu
Abstrak
Tumbuhnya perusahaan rintisan bidang teknologi (tech startup) menjanjikan revolusi digital dan ekonomi di Indonesia. Di tahun 2022 bahkan ada 15 perusahaan startup berstatus Unicorn (valuasi di atas 1 miliar dolar) di Indonesia seiringnya dengan makin bertumbuhnya ekosistem digital. Pertumbuhan ini sayangnya, dihantui dengan tingginya risiko kegagalan perusahaan muda tersebut. Sebagian besar kegagalan memang karena kondisi pasar, namun ada banyak bukti perusahaan rintisan yang terpaksa tutup karena kegagalan tata kelola dan kecurangan keuangan. Orasi ini membahas empat studi kasus perusahaan rintisan teknologi di Indonesia yang mengalami kegagalan karena skandal kecurangan keuangan: eFishery, Investree, Koinworks dan Crowde. Pembahasan juga melihat secara mendalam mengapa keempat tech startups tersebut gagal, dengan menggunakan lensa upper echelon theory, agency theory, governance dan fraud triangle. Studi eksploratif ini menyimpulkan bahwa kegagalan kepemimpinan, masalah agensi, kesalahan tata kelola dan elemen segi tiga kecurangan, terutama pressure menjadi faktor penyebab terjadinya kecurangan dan kegagalan empat tech startups tersebut. Orasi ini ditutup dengan mendiskusikan bagaimana pendidikan tinggi dapat mengatasi risiko kegagalan startup di masa mendatang dan menyusun rekomendasi untuk peta jalan tech startups yang lebih baik menuju Indonesia Emas 2045.
Kata kunci: Kecurangan, Perusahaan Rintisan Teknologi, Upper Echelon Theory, Fintech
- Tech Startups dan Janji Revolusi Ekonomi Digital
Ekosistem startup Indonesia yang dinamis telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan inovasi selama satu dekade terakhir. Indonesia bahkan menempati posisi terdepan dalam ekspansi ekonomi digital Asia Tenggara dengan dukungan populasi muda yang melek teknologi dan minat kuat dari investor (International Trade Administration, 2024; World Bank, 2023). Pada tahun 2022, Indonesia telah memiliki 15 unicorn—startup privat bernilai lebih dari USD 1 miliar—yang bergerak di berbagai sektor, mulai dari e‑commerce hingga fintech (Yang, 2023). Startup fintech, khususnya, berkembang pesat dengan menjawab kesenjangan inklusi keuangan; misalnya, platform digital peer‑to‑peer lending telah menyalurkan puluhan triliun rupiah kepada jutaan konsumen dan pelaku usaha kecil yang belum terlayani perbankan formal (Kilde, 2025; OJK, 2024). Keberadaan perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi ini berkontribusi besar terhadap ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, menarik investasi asing, dan memberikan layanan kepada komunitas yang kurang terlayani. Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, muncul serangkaian kasus kecurangan dan kegagalan tata kelola yang berpotensi meruntuhkan kepercayaan dalam ekosistem perusahaan rintisan digital.
Skandal perusahaan startup teknologi bukan hanya masalah di Indonesia; kasus internasional seperti Theranos, WeWork, dan Zenefits menunjukkan bagaimana budaya pertumbuhan yang cepat dan filosofi “fake it till you make it” (berpura-pura sampai berhasil) dapat menimbulkan pelanggaran etika dan penipuan (Palmer & Weiss, 2021; Wired, 2018). Kecurangan (Fraud)— yaitu, penipuan dengan motif keuntungan finansial—dan isu tata kelola—seperti kelemahan dalam pengawasan, akuntabilitas, dan kontrol—terlihat dominan dalam banyak kegagalan startup. Para akademisi bahkan memperingatkan bahwa startup bisa menjadi “mata air kecurangan keuangan” karena kelemahan tata kelola, insentif yang tidak selaras, dan konflik kepentingan antara pendiri, investor, dan pemangku kepentingan lainnya (Palmer & Weiss, 2021). Berbeda dengan perusahaan publik matang, startup memiliki pengawasan regulasi yang lebih longgar dan kontrol internal yang sering lemah, sehingga membuka celah untuk pelaporan yang menyesatkan dan tindakan tak etis. Di Indonesia, pengawasan regulasi belum mampu mengikuti laju pertumbuhan sektor ini. P2P lending, meski diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (POJK 77/2016, diperbarui melalui POJK 10/2022), masih menghadapi tantangan dalam penegakan di lapangan (Ashurst, 2022). Hingga akhir 2023, OJK telah melisensi 102 platform P2P dengan total penyaluran sekitar Rp 77 triliun (Kilde, 2025; OJK, 2024). Pertumbuhan ini memang menunjukkan kontribusi ekonomi fintech, tetapi juga menimbulkan keprihatinan bahwa kerangka tata kelola belum memadai, memungkinkan beberapa startup beroperasi dengan kontrol internal longgar dan transparansi minimal.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kecurangan keuangan dan masalah tata kelola begitu umum terjadi di startup teknologi? Salah satu faktor utamanya adalah tekanan ekstrem untuk cepat tumbuh dan memenuhi harapan investor. Modal ventura (venture capital atau VC) cenderung memprioritaskan skala dan pangsa pasar daripada profitabilitas awal, yang mendorong pendiri mengambil strategi agresif dan berisiko (Gleason et al., 2022, New Yorker, 2020). Lingkungan tekanan tinggi semacam ini rentan terhadap pelanggaran—pengawasan keuangan yang lemah, manajemen yang kurang berpengalaman, serta sistem kepatuhan yang belum mapan membuka peluang besar bagi terjadinya kecurangan. Pendiri startup dapat merasionalisasi tindakan tidak etis dengan dalih menyelamatkan perusahaan atau mengikuti norma “semua orang melakukannya”
(everyone does it). Konsep Upper Echelons Theory menjelaskan bahwa karakter, nilai, dan pengalaman eksekutif puncak sangat memengaruhi keputusan dan budaya organisasi (Hambrick & Mason, 1984; Marchudson, 2014). Dengan demikian, “tone at the top” yang ditetapkan oleh pendiri atau CEO sangat menentukan integritas tata kelola. Regulator audit juga menekankan hal ini—penetapan tone yang benar dari pimpinan akan memperkuat budaya etika dan kualitas kontrol internal (Munter, 2024; Munter, 2024b). Faktor lainnya berkaitan dengan ketidakpastian pencatatan transaksi dan monetisasi keuangan. Karena model bisnis startup teknologi masih dipandang baru maka ada banyak hal yang tidak dapat diungkap atau dipahami seperti halnya model bisnis tradisional. Singkat kata, terdapat beragam dinamika dan kompleksitas yang membuat startup teknologi menjadi sarang potensial terjadinya kecurangan keuangan.
Startup digital jelas memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia dan dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045—mengakselerasi digitalisasi, menghasilkan solusi inovatif, dan menarik investor global (Tech in Asia, 2025; People Matters News Bureau, 2025). Namun, serangkaian skandal fraud yang melibatkan tech startups ternama Indonesia—seperti eFishery, KoinWorks, Investree, dan Crowde—mengungkap retakan dalam fondasi ekosistem. Kasus-kasus ini telah berdampak signifikan terhadap kepercayaan investor, memicu “efek pendinginan” dalam aliran modal ventura. Dana pemodal VC di Asia Tenggara turun dari US $21,2 miliar pada 2021 menjadi US $18,2 miliar pada 2023, sebagian besar disebabkan kekhawatiran akibat fraud startup Indonesia (Park, 2025) Valuasi startup unicorn juga terpukul—misalnya, eFishery diduga menggelembungkan pendapatan hingga US $600 juta, menghasilkan penurunan kepercayaan dan menghentikan aliran pendanaan lanjutan (Tech Collective, 2025; Bloomberg, 2025) . Pada saat yang sama, pendapatan startup terimbas tajam selama investigasi: eFishery melakukan PHK massal lebih dari 1.000 karyawan, menunjukkan kerugian pendapatan ratusan juta dolar dan gangguan operasional besar (Tech in Asia, 2025; Business Times, 2025). Orasi ini bertujuan memahami bagaimana dan mengapa kegagalan kepemimpinan dan tata kelola terjadi, serta langkah pencegahan apa yang dapat diambil.
Paparan ini menggunakan perspektif upper echelon, meneliti bagaimana karakter dan keputusan eksekutif puncak memicu fraud—bersama dengan kerangka teori keagenan, fraud triangle dan prinsip tata kelola perusahaan untuk menganalisis setiap kasus. Perbandingan singkat internasional menunjukkan bahwa pengalaman Indonesia mencerminkan tantangan tata kelola startup di ekosistem teknologi berkembang (Tech Collective, 2025) . Menyeimbangkan inovasi dengan etika dan tata kelola yang kuat menjadi kunci agar startup Indonesia mampu mencipta nilai berkelanjutan. Bagian berikut membahas lima kasus besar, merumuskan pelajaran dan rekomendasi untuk pemangku kepentingan—mulai dari pengusaha, investor, pendidik hingga regulator. Dengan belajar dari pengalaman pahit ini, ekosistem startup Indonesia dapat matang dan berkontribusi sebagai pilar ekonomi tanpa terkoyak oleh fraud dan kebohongan.
- Empat Lensa Teori: Upper Echelon, Agency Theory, Corporate Governance dan Fraud Triange
2.1 Upper Echelon Theory
Upper Echelon Theory, yang dikembangkan oleh Hambrick dan Mason (1984), berargumen bahwa karakteristik pribadi pimpinan puncak—termasuk nilai, pengalaman, dan pola pikir—sangat memengaruhi cara organisasi beroperasi dan performanya. Teori ini menegaskan bahwa perilaku, etika, dan prioritas strategis perusahaan pada akhirnya mencerminkan kepribadian dan keyakinan para eksekutif utamanya. Dalam konteks startup teknologi, teori ini sangat relevan karena startup biasanya memiliki struktur kepemimpinan yang sangat terpusat di tangan pendiri (founder- centric). Pendiri sering memegang kendali penuh atas strategi, pengambilan keputusan finansial, dan budaya organisasi. Ketika pendiri memiliki komitmen etika yang lemah, atau mengadopsi pola pikir “growth-at-all-costs”, risiko fraud meningkat drastis. Sejalan dengan temuan Hambrick (2007) yang memperluas teori ini, semakin dominan pendiri dalam kepemilikan saham dan kontrol perusahaan, semakin besar pengaruh kepribadian mereka terhadap risiko perilaku disfungsional organisasi, termasuk fraud. Karena itu, dalam startup teknologi, evaluasi karakter, rekam jejak, dan nilai etis pendiri menjadi krusial dalam upaya pencegahan fraud.
2.2 Agency Theory
Teori keagenan (agency theory), yang pertama kali diformulasikan oleh Jensen dan Meckling (1976), mengkaji hubungan antara prinsipal (misalnya investor, pemegang saham) dan agen (misalnya pendiri, eksekutif) yang diberi mandat untuk bertindak demi kepentingan prinsipal. Dalam konteks startup teknologi, khususnya pada tahap awal atau fase pertumbuhan pesat, masalah keagenan kerap muncul akibat asimetri informasi yang signifikan, di mana pendiri memiliki informasi lebih detail tentang kondisi keuangan dan operasional startup dibandingkan investor eksternal atau anggota dewan.
Asimetri ini dapat memicu moral hazard, yakni kecenderungan pendiri untuk melakukan perilaku oportunistik—seperti melebih-lebihkan kinerja, menyalahgunakan dana perusahaan, atau menyembunyikan kerugian—demi mendapatkan pendanaan lanjutan atau menjaga valuasi perusahaan. Minimnya struktur tata kelola yang matang pada startup, ditambah dominasi pendiri dalam pengambilan keputusan, memperburuk biaya keagenan karena membuat proses pengawasan menjadi mahal atau tidak efektif (Eisenhardt, 1989).
Dalam ekosistem teknologi Indonesia yang terus berkembang, teori keagenan menegaskan perlunya intervensi tata kelola sejak dini—seperti penunjukan anggota dewan independen dan penetapan standar pelaporan keuangan yang jelas—untuk meminimalisir risiko yang melekat dalam hubungan prinsipal-agen, terutama mengingat tingginya taruhan dan cepatnya laju pertumbuhan startup.
2.3 Corporate Governance
Konsep corporate governance atau tata kelola perusahaan menekankan seperangkat mekanisme, proses, dan hubungan yang digunakan untuk mengendalikan dan mengarahkan perusahaan (Shleifer & Vishny, 1997). Tata kelola yang baik menuntut akuntabilitas pengurus perusahaan kepada pemangku kepentingan (stakeholders), transparansi atas pengelolaan keuangan, serta pengawasan yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perusahaan publik, governance ditegakkan lewat regulasi ketat seperti kewajiban audit, laporan keuangan berkala, dan kehadiran dewan komisaris independen.
Namun dalam konteks startup teknologi, terutama yang masih berstatus privat, tata kelola seringkali terabaikan. Startup biasanya didirikan oleh tim kecil dengan struktur organisasi informal dan budaya kerja yang fleksibel, yang walau mendukung inovasi, juga membuka celah untuk lemahnya pengawasan. Sebagai contoh, studi Leuz et al. (2003) menunjukkan bahwa perusahaan dengan perlindungan investor yang lemah lebih rentan mengalami manipulasi laporan keuangan, apalagi pada startup yang cenderung menghindari birokrasi tata kelola yang dianggap menghambat kecepatan pengambilan keputusan. Selanjutnya, penelitian Agrawal dan Chadha (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan governance yang lemah, misalnya tidak memiliki komite audit yang efektif, memiliki probabilitas lebih tinggi terlibat dalam fraud. Pada startup teknologi, di mana pertumbuhan sering menjadi satu-satunya fokus, governance yang mengutamakan integritas dan pengendalian risiko justru menjadi kunci untuk membangun kepercayaan jangka panjang dengan investor dan publik.
2.4 Fraud Triangle
Segitiga kecurangan (Fraud Triangle), yang diperkenalkan oleh Donald Cressey (1953), merupakan kerangka kerja klasik yang menjelaskan tiga elemen utama penyebab terjadinya kecurangan: pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi). Teori ini telah terbukti relevan dalam banyak konteks, termasuk perusahaan besar, lembaga publik, dan lebih baru, startup teknologi (Gleason et al., 2022). Dalam startup teknologi, tekanan (pressure) kerap muncul karena ekspektasi investor yang tinggi, target pertumbuhan agresif, atau tekanan untuk mencapai status “unicorn” dalam waktu singkat. Kesempatan (opportunity) pada startup lebih besar dibandingkan perusahaan publik, karena tata kelola yang lemah, absennya audit internal, dan tidak adanya pengawasan ketat regulator pada perusahaan privat. Banyak startup, seperti KoinWorks dan Crowde, menunjukkan celah besar dalam sistem KYC (know-your- customer), kontrol internal, dan proses verifikasi data yang memungkinkan fraud terjadi. Startup cenderung menganggap penerapan sistem kontrol formal sebagai hambatan birokrasi yang dapat menghambat kecepatan inovasi. Rasionalisasi (rationalization) terjadi ketika pelaku meyakinkan diri sendiri bahwa tindakannya dibenarkan untuk “kepentingan perusahaan” atau demi keberlangsungan startup. Pada banyak kasus startup misi sosial, seperti e-Fishery, manajemen mungkin merasa menunda atau menyelewengkan dana demi mempertahankan operasional adalah tindakan yang wajar, dengan harapan akan diperbaiki di masa depan. Namun, rasionalisasi ini justru menjerumuskan perusahaan lebih dalam ke arah fraud.
Penelitian Wolfe dan Hermanson (2004) menunjukkan bahwa semakin besar tekanan dan kesempatan yang tidak diimbangi dengan budaya etika yang kuat, semakin tinggi risiko fraud. Oleh karena itu, memahami Fraud Triangle tetap relevan untuk menganalisis startup teknologi masa kini, karena semua kasus besar yang terjadi di Indonesia menunjukkan ketiga elemen ini secara mencolok. Penerapan Fraud Triangle dalam tata kelola startup dapat membantu mendeteksi potensi fraud sedini mungkin, dengan mengidentifikasi area yang rentan terhadap tekanan berlebihan, celah kontrol, dan tanda-tanda rasionalisasi tidak sehat di tingkat manajemen.
- Analisis dan Evaluasi 4 Kasus Tech Startup Indonesia
3.1 eFishery: Keuangan “Fishy” di Sebuah Unicorn
- Kronologi
eFishery didirikan pada 2013 sebagai startup teknologi akuakultur yang mengembangkan alat pemberi pakan pintar. Kemudian diperluas menjadi platform end‑to‑end yang menyediakan pakan, akses pasar, dan pembiayaan bagi petani ikan (Stratsea, 2025; Tech in Asia, 2025). Dengan misi memberdayakan petani, eFishery meraih dana lebih dari US$200 juta hingga pertengahan 2023 dan status unicorn dengan valuasi sekitar US$1,4 miliar, didukung oleh 28 investor termasuk SoftBank, Temasek, dan Sequoia (Stratsea, 2025; Bloomberg, 2025).
Pada Desember 2024, seorang whistleblower melaporkan dugaan manipulasi keuangan, memicu audit forensik oleh FTI Consulting (Reuters, 2025). Audit tersebut mengungkap insiden serius: eFishery mengklaim keuntungan US$16 juta pada 9 bulan pertama 2024, padahal sebenarnya mengalami kerugian US$35,4 juta; dan pendapatan US$750 juta yang dilaporkan tampak hampir lima kali lipat dari realita (sekitar US$157 juta) – selisih sekitar US$600 juta (SCMP via Bloomberg, 2025; Tech in Asia, 2025). Manajemen juga diduga menjalankan dua laporan keuangan paralel dan melancarkan skema round‑tripping melalui perusahaan cangkang, serta melebih‑lebihkan data operasional seperti jumlah feeder (400.000 vs 24.000) (SCMP via Bloomberg, 2025; The Runway Ventures, 2025).
- Dampak
- Kerugian Finansial: Investor mengalami kerugian signifikan akibat hilangnya nilai
- Kehilangan Kepercayaan: Skandal ini mengguncang kepercayaan investor lokal dan internasional terhadap ekosistem startup
- Gangguan Operasional: Setelah CEO dan COO dipecat pada Desember 2024, operasional perusahaan sangat terganggu.
- Krisis Reputasi: Nama eFishery tercemar, memicu sorotan negatif di media nasional dan internasional, serta meningkatkan kehati-hatian investor pada startup sektor agritech.
- Dampak Sistemik: Kasus ini menimbulkan efek domino pada ekosistem investasi venture capital (VC) Asia Tenggara yang menjadi lebih skeptis terhadap validitas laporan startup
- Analisis Kasus dengan Empat Lensa Teori
a. Upper Echelon Theory
Kepribadian CEO sekaligus pendiri (founder) yang kharismatik dan dominan menjadi sumber budaya organisasi. Keputusan CEO menoleransi atau justru memprakarsai kecurangan menular ke budaya perusahaan. Tone at the top yang permisif terhadap pelaporan fiktif mencerminkan nilai personal CEO yang lebih mengutamakan pertumbuhan citra ketimbang integritas. Tidak adanya pengawasan atau tokoh independen di tingkat atas mengakibatkan nilai dan perilaku pemimpin puncak mendikte arah etika perusahaan. Kasus eFishery menunjukkan bagaimana kharisma pendiri dapat menciptakan kepercayaan berlebihan di mata investor, auditor, dan karyawan, yang akhirnya menumpulkan pengawasan. Upper Echelon Theory membantu menjelaskan bahwa bukan hanya lemahnya sistem kontrol yang jadi masalah, tetapi juga bagaimana karakter eksekutif puncak yang cenderung menormalisasi penyimpangan demi menjaga citra sukses di mata publik dan investor.b. Agency Theory
Dominasi CEO sebagai agen dengan kontrol mutlak menciptakan asimetri informasi ekstrem antara manajemen dan investor. Agen (CEO) menyajikan data keuangan yang menyesatkan, sementara prinsipals (investor) kekurangan informasi untuk melakukan evaluasi independen. Kegagalan mekanisme monitoring seperti audit yang tidak mendeteksi kecurangan mengonfirmasi adanya moral hazard yang menjadi inti persoalan agency.c. Corporate Governance
Kasus ini menunjukkan tata kelola internal yang lemah: tidak adanya pemisahan kontrol signifikan, kurangnya independensi dewan pengawas, dan kegagalan fungsi audit internal. Perusahaan privat seperti eFishery tidak diwajibkan menerapkan tata kelola publik, sehingga kontrol dan transparansi minim. Governance yang buruk membuka celah bagi CEO memanipulasi laporan tanpa hambatan.
d. Fraud Triangle
Pressure: Tekanan besar untuk memenuhi ekspektasi valuasi unicorn, menjaga aliran pendanaan, dan mempertahankan citra sebagai pemimpin inovasi akuakultur.
Opportunity: Sebagai perusahaan privat, eFishery menghadapi pengawasan regulasi yang lebih longgar (tidak ada kewajiban keterbukaan publik) dengan kekuasaan terpusat di tangan pimpinan.
Rationalization: Manajemen mungkin meyakinkan diri bahwa menipu sementara dibenarkan demi “misi mulia” membantu petani ikan, menganggap akan memperbaiki situasi saat perusahaan tumbuh.
3.2 Investree: Runtuhnya Sang Pelopor Fintech
- Kronologi
Investree didirikan pada 2015 sebagai pionir platform fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia, dengan fokus pembiayaan usaha kecil-menengah (UMKM). Perusahaan ini tumbuh pesat, mencatatkan tingkat keberhasilan pembayaran lebih dari 90 hari (TKB90) tinggi, dan pada akhir 2023 berhasil meraih pendanaan Seri D senilai sekitar US$231 juta dari investor besar seperti Qatar’s JTA dan SBI Holdings Jepang. Namun, pada 2024, masalah serius terkuak: performa pinjaman memburuk dengan tingkat wanprestasi (TWP90) naik ke level 12-13%, dan perusahaan kesulitan memenuhi persyaratan ekuitas minimum yang ditetapkan OJK.
Pada 21 Oktober 2024, OJK mencabut izin usaha Investree karena pelanggaran regulasi, termasuk tidak memenuhi modal minimum. Investigasi kemudian menemukan CEO dan co-founder Adrian Asharyanto Gunadi diduga menyalahgunakan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi, termasuk menggunakan aset Investree sebagai jaminan utang bisnis pribadinya. CEO dicopot pada Februari 2024, namun kerusakan kepercayaan dan keuangan Investree sudah sangat parah sehingga perusahaan gagal memenuhi kewajiban kepada pemberi pinjaman.
3.2.2. Dampak
- Kerugian Finansial: Pinjaman macet menyebabkan kerugian bagi ribuan lender yang berpartisipasi di platform.
- Kehilangan Kepercayaan: Investor lokal dan internasional kehilangan kepercayaan pada Investree dan P2P lending secara umum.
- Pencabutan Izin: OJK resmi mencabut izin usaha Investree pada Oktober 2024, memaksa perusahaan untuk menghentikan operasional dan melikuidasi aset.
- Krisis Reputasi Ekosistem: Kasus ini memicu keraguan besar pada tata kelola startup fintech di Indonesia, menimbulkan ketakutan bagi investor terhadap risiko fraud serupa di sektor lain.
3.2.3. Analisis Kasus dengan Empat Teori
Upper Echelon Theory
Kasus ini menegaskan pentingnya “tone at the top”. CEO Investree yang juga co-founder memegang kekuasaan dominan, sehingga nilai pribadi dan etikanya menentukan arah perusahaan. Ketika pemimpin utama memilih jalur tidak etis, budaya organisasi dan sistem kontrol internal melemah karena karyawan cenderung takut atau tidak berdaya untuk menentang. Nilai kepemimpinan yang buruk di level atas menjadi pemicu utama terjadinya fraud. Selain itu, dalam kasus Investree, dominasi CEO yang juga merupakan co-founder memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dan penyalahgunaan dana, karena tidak ada mekanisme check and balance yang efektif untuk menahan perilaku oportunistiknya. Upper Echelon Theory menegaskan pentingnya “tone at the top”—budaya dan standar etika yang ditetapkan oleh pemimpin puncak akan menular ke seluruh organisasi. Ketika pendiri mengabaikan akuntabilitas atau bahkan secara aktif terlibat dalam fraud, hal ini menciptakan budaya permisif yang memungkinkan karyawan lain ikut menutup mata atau terlibat.
Agency Theory
Kasus Investree menunjukkan moral hazard ekstrem di mana agen (CEO) menggunakan perusahaan untuk kepentingan pribadi, menyalahgunakan kepercayaan prinsipal (investor dan lender). Informasi yang timpang antara agen dan prinsipal memperbesar risiko ini. CEO memiliki kendali penuh atas keuangan perusahaan tanpa pengawasan memadai, memungkinkan penyalahgunaan dana tanpa segera terdeteksi.
Corporate Governance
Tata kelola Investree lemah, dengan fungsi pengawasan dewan direksi dan komisaris yang tidak efektif atau tidak independen. Minimnya mekanisme check-and-balance memperbolehkan CEO mengambil keputusan besar yang merugikan perusahaan. Ketidakmampuan perusahaan menjaga modal minimum menunjukkan governance yang buruk dalam mengelola risiko keuangan. organisasi yang permisif terhadap perilaku menyimpang. Kurangnya rencana kontinjensi di Investree juga menunjukkan kelemahan tata kelola: perusahaan tampak tidak memiliki skenario kelangsungan usaha ketika CEO dipecat dan dana perusahaan disalahgunakan. Gagalnya memenuhi persyaratan ekuitas memperkuat dugaan adanya laporan keuangan yang tidak akurat atau setidaknya kelalaian besar.
Fraud Triangle
-
- Pressure: Tekanan tinggi untuk menutupi masalah keuangan internal dan menjaga citra sukses di mata investor, terutama setelah pendanaan besar di Seri D.
- Opportunity: Kontrol internal yang longgar, kekuasaan CEO yang terpusat, dan kurangnya audit internal menciptakan peluang besar untuk melakukan fraud.
- Rationalization: CEO bisa saja merasionalisasi tindakannya sebagai “pinjaman sementara” untuk menutup kekurangan modal atau mendukung usaha lain yang dianggap bermanfaat bagi grupnya.
3.3 KoinWorks: Lolosnya Ratusan Pinjaman Fiktif
- Kronologi
KoinWorks didirikan pada 2016 sebagai platform fintech peer-to-peer (P2P) lending yang menghubungkan pemberi pinjaman ritel dengan pelaku UMKM yang membutuhkan modal. Perusahaan tumbuh cepat dengan menawarkan imbal hasil menarik, menarik ratusan ribu lender dan borrower. Pada 2021–2022, KoinWorks meraih pendanaan besar dan menjadi salah satu fintech terkemuka dalam inklusi keuangan untuk UMKM. Namun, pada akhir 2024, KoinWorks mengumumkan terjadinya penipuan besar di anak usahanya, KoinP2P. Pelaku eksternal berinisial MT, bekerja sama dengan BAA (direktur anak usaha KoinWorks), menyetujui ratusan pinjaman fiktif. MT mengajukan 279 aplikasi pinjaman menggunakan identitas palsu (KTP fiktif) dan memperoleh total sekitar Rp365 miliar. Penipuan ini terungkap ketika KoinWorks mulai menagih pinjaman macet dan menemukan data peminjam yang tidak valid. Polisi kemudian menetapkan MT dan BAA sebagai tersangka. OJK segera memanggil manajemen KoinWorks untuk klarifikasi dan menempatkan platform di bawah pengawasan khusus.
- Dampak
- Kerugian Finansial: Pinjaman fiktif Rp365 miliar berpotensi menjadi kerugian bagi investor retail yang menyalurkan dana melalui KoinP2P.
- Kehilangan Kepercayaan: Terjadinya fraud menurunkan kepercayaan lender pada platform P2P lending secara luas, bukan hanya pada KoinWorks.
- Gangguan Operasional: Reputasi KoinWorks terpukul, menimbulkan keterlambatan pembayaran ke lender, dan memicu investigasi lebih lanjut oleh OJK.
- Efek Sistemik: Kasus ini memicu kehati-hatian regulator dan pasar pada industri P2P lending di Indonesia, memperketat persyaratan KYC dan verifikasi.
- Analisis Kasus dengan Empat Teori Upper Echelon Theory
Meski fraud dilakukan oleh direktur anak usaha (KoinP2P), kebijakan dan budaya di level atas KoinWorks turut berkontribusi. Fokus agresif pada ekspansi cepat tanpa keseimbangan pengendalian risiko mencerminkan nilai dan prioritas pimpinan puncak. Kepemimpinan yang lebih menekankan pertumbuhan daripada kehati-hatian menciptakan budaya permisif dan rentan pada fraud.
Agency Theory
Kasus KoinWorks mencerminkan kegagalan agen (manajemen anak perusahaan) yang tidak bertindak sesuai kepentingan prinsipal (lender dan investor). Agen yang seharusnya menjaga kualitas pinjaman justru berkolusi dengan pelaku eksternal untuk menguntungkan diri sendiri. Ketimpangan informasi dan lemahnya pengawasan membuat moral hazard mudah terjadi.
Corporate Governance
Sistem tata kelola KoinWorks tidak efektif dalam mendeteksi risiko di anak usaha. Kontrol risiko, termasuk mekanisme verifikasi peminjam dan audit internal, tidak berjalan baik. Governance yang lemah memperbolehkan satu borrower menciptakan ratusan pinjaman fiktif tanpa alarm sistem.
Fraud Triangle
- Pressure: Dorongan untuk meningkatkan volume penyaluran pinjaman agar memenuhi target pertumbuhan, baik dari internal manajemen maupun ekspektasi investor.
- Opportunity: Sistem KYC dan deteksi fraud yang lemah memungkinkan penggunaan data KTP palsu secara masif tanpa terdeteksi.
- Rationalization: Pelaku internal dan eksternal mungkin merasionalisasi tindakan mereka dengan anggapan bahwa kerugian akan ditanggung platform atau investor besar.
3.4 Crowde: Penggelapan Atas Nama Petani
- Kronologi
Crowde berdiri pada 2016–2017 sebagai startup fintech agritech yang memfasilitasi pembiayaan petani melalui model P2P lending. Startup ini menawarkan kesempatan bagi lender individu maupun institusional untuk mendanai proyek pertanian, dengan janji keuntungan dan dampak sosial. Crowde mendapat pengakuan publik dan bermitra dengan J Trust Bank untuk mendapatkan fasilitas kredit dalam skema wholesale lending yang kemudian disalurkan ke petani.
Pada awal 2025, J Trust Bank menemukan kejanggalan: banyak “petani” yang terdaftar sebagai penerima pinjaman Crowde tidak pernah mengajukan pinjaman atau bahkan tidak ada secara fisik. Audit bank menemukan Crowde menggunakan data palsu untuk menciptakan pinjaman fiktif dan menarik dana pinjaman bank, yang kemudian diduga digelapkan oleh jajaran manajemen puncak Crowde. Sebagai respons, J Trust Bank melaporkan Crowde ke polisi pada 28 Februari 2025, menuduh CEO Crowde, Yohanes Sugihtononugroho, beserta beberapa pejabat puncak (termasuk komisaris dan direktur) melakukan tindak pidana penggelapan dan penipuan sesuai Pasal 372 dan 378 KUHP, serta kemungkinan pelanggaran pencucian uang. Ini menjadi salah satu kasus langka di mana seluruh jajaran pimpinan puncak startup langsung disebut sebagai tersangka dalam laporan pidana.
- Dampak
- Kerugian Finansial: Potensi kerugian ratusan miliar rupiah dialami J Trust Bank, yang dana
wholesale-nya disalurkan ke “petani fiktif.”
- Kehilangan Kepercayaan: Kasus ini memperburuk kepercayaan bank dan investor terhadap
startup fintech agritech secara keseluruhan.
- Dampak Sistemik: Meningkatkan keraguan pada kemampuan startup menyalurkan dana secara transparan, menghambat pendanaan ke sektor pertanian yang sebenarnya membutuhkan modal.
- Proses Hukum: CEO dan manajemen puncak Crowde terancam hukuman pidana serius, menandakan risiko personal dari fraud
- Analisis Kasus dengan Empat Teori
- Upper Echelon Theory
Crowde menjadi contoh nyata bagaimana nilai, karakter, dan perilaku pemimpin puncak menentukan budaya organisasi. Ketika CEO dan direksi memilih jalur fraud, tidak ada nilai etika yang diinternalisasikan ke tim. Ini membentuk lingkungan kerja yang permisif, menormalisasi kebohongan, dan akhirnya memungkinkan fraud sistemik.
- Agency Theory
Kasus ini menunjukkan kegagalan mendasar di mana agen (CEO dan manajemen puncak) justru menjadi pelaku utama yang mengkhianati kepentingan prinsipal (investor, lender, bank mitra). Ini menegaskan ekstremnya moral hazard: agen dengan akses penuh ke data dan pengambilan keputusan menyalahgunakan posisi untuk kepentingan pribadi.
- Corporate Governance
Tata kelola Crowde sangat lemah; tidak ada mekanisme pengawasan yang independen untuk memverifikasi data borrower atau pengawasan internal terhadap penggunaan dana. Bahkan
komisaris yang seharusnya berfungsi sebagai check and balance justru diduga terlibat. Ini menunjukkan governance breakdown total.
- Fraud Triangle
- Pressure: Crowde kemungkinan menghadapi tekanan untuk menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan dampak yang signifikan, baik kepada investor maupun bank Dengan fasilitas kredit besar yang harus disalurkan, tim Crowde mungkin merasa harus segera menyalurkan pinjaman ke banyak petani demi memenuhi target atau menarik dana (misalnya untuk mendapatkan fee atau margin bunga). Jika jumlah petani yang layak kredit ternyata lebih sedikit dari ekspektasi, manajemen bisa saja tergoda untuk memalsukan data. Jika kondisi keuangan perusahaan juga sedang tertekan, dana bank menjadi godaan besar untuk disalahgunakan.
- Opportunity: Skema ini dimungkinkan karena lemahnya pengawasan di berbagai sisi. Secara internal, tampak integritas yang runtuh – CEO dan pejabat lain dapat memasukkan data fiktif tanpa pemeriksaan yang Tidak ada audit independen atau kontrol internal yang memverifikasi identitas dan penyaluran setiap pinjaman. Dari sisi eksternal, pengawasan bank juga tidak langsung mendeteksi; butuh waktu dan pemeriksaan acak untuk menemukan penipuan ini, yang menunjukkan Crowde memiliki keleluasaan melaporkan distribusi pinjaman tanpa transparansi waktu nyata.
- Rationalization: Manajemen mungkin merasionalisasi tindakan mereka sebagai “cara cepat” mendapatkan modal untuk menutup kebutuhan lain atau karena keyakinan mereka lebih berhak menggunakan dana.
3.5 Ringkasan
Berikut adalah ringkasan kasus kecurangan keuangan yang terjadi di empat tech startups Indonesia. Dapat diihat bahwa semua kasus menunjukkan kegagalan signifikan pada governance baik internal maupun eksternal. Di semua kasus, pressure untuk pertumbuhan cepat atau kebutuhan modal menjadi pemicu utama. Kesamaan pola: tata kelola yang lemah, oversight tidak memadai, serta peran pimpinan puncak yang dominan menjadi faktor kritis terjadinya fraud.
Aspek Utama | eFishery | Investree | KoinWorks | Crowde |
Tahun Berdiri | 2013 | 2015 | 2016 | ~2016–2017 |
Bidang Usaha | Akuakultur & fintech | P2P lending untuk UMKM | P2P lending untuk UMKM | P2P lending untuk pertanian |
Fokus | Pembudidaya ikan | UMKM | UMKM | Petani |
Jenis Fraud/Isu | Pemalsuan laporan keuangan | Penggelapan dana oleh CEO | Pinjaman fiktif dengan identitas
palsu |
Penggelapan melalui pinjaman fiktif |
Pelaku Kunci | Manajemen puncak (CEO & COO) | CEO &
pimpinan puncak |
Borrower eksternal & insider | CEO & jajaran pimpinan puncak |
Nilai Fraud (estimasi) | ~US$600 juta (pendapatan fiktif) | Tidak terkonfirmasi;
gagal modal OJK |
~Rp365 miliar (US$23 juta) | Tidak disebutkan resmi; signifikan |
Modus | Mencatat pendapatan fiktif, dual booking | Dana perusahaan digunakan untuk
pribadi |
Pemalsuan identitas, kolusi internal | Akun pinjaman palsu atas nama petani |
Faktor
Pressure |
Tuntutan pertumbuhan & valuasi | Tekanan finansial & modal | Target menyalurkan pinjaman cepat | Target salurkan pinjaman &
pertumbuhan |
Faktor
Opportunity |
Kontrol internal
lemah & oversight lemah |
Peran CEO
dominan, dewan tak independen |
Verifikasi KYC
lemah, kolusi internal |
Kontrol internal & eksternal lemah |
Faktor
Rationalization |
Alasan “misi
mulia” bantu petani |
“Meminjam” dana demi selamatkan
usaha |
Lender dianggap anonim & mudah ditipu | Dana dibutuhkan untuk pertumbuhan cepat |
Tindakan Regulator | OJK: investigasi, CEO dipecat | OJK: cabut izin, blokir aset, Interpol | OJK:
pengawasan khusus, klarifikasi |
OJK: investigasi, pengawasan diperketat |
Dampak Utama | Reputasi hancur, operasi terganggu | Platform tutup, kerugian investor | Kerugian lender, reputasi rusak | Kepercayaan ke fintech menurun tajam |
Tabel 1: Ringkasan analisis terhadap 4 kasus kecurangan di tech startup Indonesia Sumber: Beragam berita publik.
- Pelajaran Pahit yang Dapat Dipetik dari 4 Kasus Tech Startups
Studi kasus eFishery, Investree, KoinWorks, dan Crowde memberikan banyak pelajaran penting bagi akademisi, praktisi, dan regulator yang peduli pada perkembangan startup teknologi. Bagian ini merangkum wawasan kunci dan perdebatan yang muncul dari kasus-kasus ini dan sejenisnya. Juga dibahas dilema etika yang ditimbulkan, serta metodologi yang dapat digunakan untuk memvalidasi secara empiris dan mengkaji lebih dalam kegagalan tata kelola pada startup. Pelajaran utamanya: tata kelola sangat krusial, terutama di startup berpertumbuhan tinggi – budaya etika dan akuntabilitas harus mengiringi inovasi untuk memastikan kesuksesan berkelanjutan.
1. Pentingnya Tone at the Top & Pengawasan Independen
Kasus-kasus ini menegaskan bahwa karakter kepemimpinan dan “tone at the top” sangat menentukan. Ketika eksekutif puncak sendiri yang menjadi pelaku (terjadi pada 3 dari 4 kasus), ini menunjukkan bahwa kontrol internal sehebat apa pun di atas kertas bisa dilewati oleh pimpinan. Upper Echelon Theory menyatakan organisasi mencerminkan nilai manajer puncaknya. Jika CEO senang melanggar aturan, ia bisa menekan bawahan untuk ikut atau diam. Sebaliknya, pemimpin berintegritas akan membangun budaya di mana fraud tidak terpikirkan. Contohnya, jika CEO eFishery memilih transparansi ketimbang menipu, perusahaannya mungkin mengalami kesulitan jangka pendek, tetapi bisa bertahan dengan terhormat. Pelajaran penting: kepemimpinan beretika adalah garis pertahanan pertama dari fraud. Pengawasan independen adalah garis kedua. Startup sering kali tak memiliki dewan benar-benar independen; anggota
dewan umumnya pendiri atau investor yang bisa berkonflik kepentingan. Direktur independen bisa saja mengajukan pertanyaan kritis dan mendeteksi masalah lebih awal, sebagaimana terjadi di perusahaan matang di AS yang menerapkan audit komite independen menjelang IPO. Pelajarannya: semakin besar startup (misalnya sudah menjadi unicorn atau mengelola dana publik), semakin mendesak kebutuhan pengawasan independen – misalnya direksi independen, audit pihak ketiga, atau saluran whistleblower.
2. Kesenjangan Tata Kelola sebagai Risiko Sistemik
Pelajaran kedua adalah struktur tata kelola banyak startup masih tertinggal dibanding skala operasi dan besarnya modal yang dikelola. Semua kasus menunjukkan bagaimana pengendalian internal dan mekanisme pengawasan tidak sejalan dengan pertumbuhan cepat perusahaan. Di korporasi tradisional, tata kelola diperkuat melalui regulasi seperti audit wajib, direksi independen, dan persyaratan keterbukaan. Namun startup sering beroperasi di area abu-abu: mereka perusahaan privat, tidak wajib transparan, dan dipimpin oleh tim kecil yang saling dekat sehingga enggan menerapkan kontrol formal. Kegagalan tata kelola dan lemahnya pengawasan regulator telah mengikis kepercayaan investor pada ekosistem startup Indonesia, yang berisiko menghambat pertumbuhan jangka panjang.
Skandal eFishery, misalnya, mengejutkan komunitas ventura dan menimbulkan pertanyaan: berapa banyak startup lain yang juga “memasak” pembukuannya? Insiden-insiden ini dapat mengurangi daya tarik Indonesia bagi investor asing bila tidak segera ditangani. Perdebatan ilmiah pun mengemuka: sebagian berpendapat startup harus fleksibel demi inovasi, sedangkan lainnya menegaskan prinsip akuntabilitas tidak boleh dikompromikan. Konsensus yang berkembang, terutama setelah skandal-skandal ini, condong ke penguatan tata kelola sejak tahap awal startup. Inisiatif seperti SEA Venture Capital Governance Guidelines (diluncurkan 2025 oleh asosiasi VC Asia Tenggara) menetapkan tolok ukur tata kelola untuk mengurangi risiko fraud seiring startup tumbuh besar – mencerminkan pergeseran kesadaran komunitas investor akan pentingnya tata kelola sebagai faktor risiko investasi.
3. Fraud Triangle Terus Relevan
Konsep klasik fraud triangle (tekanan, peluang, rasionalisasi) tetap relevan untuk memahami kasus-kasus ini, mengonfirmasi penerapannya tidak hanya di fraud korporasi tradisional, tetapi juga di dunia startup. Tekanan terlihat di semua kasus – entah untuk memenuhi target pendanaan, mengejar pertumbuhan pengguna, atau mempertahankan valuasi. Pada startup, tekanan bisa datang dari diri pendiri sendiri yang merasa harus membuktikan diri, bukan hanya dari pihak luar. Pendiri yang meyakini misinya bisa merasa tertekan agar tidak mengecewakan karyawan, pengguna, atau investor, yang bisa menjadi pembenaran berbahaya untuk “membengkokkan” aturan. Peluang fraud di startup meningkat karena faktor seperti tidak adanya pemisahan tugas (founder mengendalikan banyak fungsi termasuk keuangan), lemahnya kontrol IT pada sistem baru, serta pemangku kepentingan yang relatif awam (misalnya lender ritel di P2P lending). KoinWorks, misalnya, tidak memiliki sistem untuk mendeteksi ratusan pinjaman ke satu peminjam – kontrol mendasar yang lazim dimiliki bank. eFishery, meski diaudit, memanfaatkan status privat untuk menghindari sorotan mendalam; audit pun tidak memeriksa keaslian penjualan, memunculkan pertanyaan tentang kualitas audit startup. Rasionalisasi terjadi di startup dengan
misi sosial seperti eFishery: manajemen menjustifikasi tindakan tidak etis dengan “kebaikan jangka panjang” bagi petani. Sedangkan pada kasus seperti Crowde dan Investree, rasionalisasi tampak lebih tipis – kemungkinan hanya keserakahan atau naluri bertahan hidup. Kesimpulan ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan etika pemimpin sangat memengaruhi terjadinya fraud. Ini juga menggemakan kasus seperti Theranos, di mana pendirinya merasionalisasi kebohongan demi “terobosan teknologi di masa depan”. Relevansi fraud triangle menggarisbawahi perlunya upaya mencegah ketiga sisi: mengurangi tekanan berlebihan, menutup peluang melalui pengendalian internal yang baik, dan menghambat rasionalisasi dengan menumbuhkan budaya etika.
4. Dilema Etika: “Fake It Till You Break It”
Budaya startup yang “fake it till you make it” memunculkan dilema etika serius. Di dunia startup teknologi, melebih-lebihkan capaian (misalnya di pitch deck atau materi marketing) kerap dianggap wajar untuk menarik investor dan pelanggan – sampai batas tertentu. Namun batas etis dilanggar ketika kebohongan menimbulkan kerugian materiil. Pendiri menghadapi dilema: jika terlalu jujur, mereka takut kehilangan dukungan; jika memalsukan kenyataan, mereka mengikis kepercayaan. Kasus eFishery menunjukkan dilema ini dengan jelas: sang pendiri mungkin merasa pengakuan soal pertumbuhan lambat atau kerugian akan membuat perusahaan hancur, sehingga memilih memalsukan kesuksesan demi mempertahankan investor – namun justru berakhir pada kehancuran yang lebih besar.
Upper Echelon Theory menegaskan nilai pribadi pemimpin (misalnya integritas vs mentalitas “menang dengan cara apa pun”) akan menentukan cara mereka menghadapi dilema ini. Kasus- kasus ini menekankan bahwa budaya “fake it” bisa dengan mudah berubah menjadi kebohongan dan fraud, memicu pertanyaan: seberapa besar “gelembung” yang masih wajar? Akademisi semakin kritis terhadap hype yang tidak terkendali di ekosistem startup, menekankan pentingnya menanamkan budaya etika sejak awal. Dari perspektif etika, pertanyaannya: apakah ada insentif sistemik yang mendorong pendiri berperilaku tidak etis? Misalnya, VC yang hanya menilai pertumbuhan agresif jangka pendek, atau media yang mengagungkan pendiri visioner, menambah tekanan agar pendiri “hidup dalam mitos.” Perdebatan juga mencakup apakah due diligence VC cukup ketat – beberapa pihak menilai VC cenderung menutup mata pada red flag tata kelola karena tergiur potensi cuan besar. Pelajarannya: seluruh ekosistem memikul tanggung jawab – pendiri harus menghindari jalan pintas tidak etis, investor wajib melakukan due diligence secara menyeluruh, dan regulator perlu menetapkan batasan tegas.
5. Peran Perguruan Tinggi: Mendidik dan Memberdayakan
Jika fraud dan kegagalan tata kelola sering kali berakar pada sikap dan kapabilitas para pemimpin, maka membentuk calon pemimpin sebelum mereka menempati posisi puncak menjadi titik intervensi yang logis. Pendidikan tinggi—terutama program bisnis, keuangan, dan kewirausahaan di perguruan tinggi—dapat memainkan peran penting dalam mencegah gelombang berikutnya dari kesalahan startup dengan menanamkan dasar etika yang kuat dan pengetahuan tata kelola pada calon wirausahawan. Di Indonesia, di mana ekosistem startup yang berkembang pesat tergolong baru, universitas dan lembaga vokasi kini sedang memperkuat pendidikan kewirausahaan. Ini menjadi peluang untuk mengintegrasikan pelajaran dari kasus-kasus fraud ini secara langsung ke
dalam kurikulum, sehingga mahasiswa dan founder muda lebih siap membangun bisnis yang tangguh dan beretika. Berikut pembahasan bagaimana pendidikan tinggi dan pelatihan kewirausahaan dapat membantu mencegah masalah seperti yang terjadi di eFishery, KoinWorks, dan lainnya melalui desain kurikulum, pembelajaran berbasis pengalaman, dan pengembangan kapasitas.
- Integrasi Etika dan Tata Kelola dalam Kurikulum Kewirausahaan Pendidikan kewirausahaan tradisional cenderung berfokus pada ideasi, model bisnis, pitching, dan strategi pertumbuhan. Meskipun penting, kasus-kasus yang dibahas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang etika bisnis dan tata kelola korporasi sama esensialnya untuk keberhasilan jangka panjang. Universitas harus memastikan setiap mahasiswa manajemen atau kewirausahaan memperoleh pemahaman dasar tentang pengambilan keputusan etis, integritas keuangan, dan kerangka kerja tata kelola. Sebagai contoh, mata kuliah kewirausahaan bisa mencakup modul seperti “Transparansi dan Akuntabilitas pada Startup” atau “Tata Kelola pada Usaha Baru: Peran Dewan Pengawas dan Pengendalian”. Studi kasus adalah alat yang sangat efektif—universitas dapat menyusun studi kasus dari lima startup yang dibahas (setelah proses hukum selesai) untuk menunjukkan bagaimana kegagalan bisa terjadi. Menganalisis kasus seperti kejatuhan Investree dalam kelas akan memaksa mahasiswa memahami keputusan yang dihadapi founder, tanda-tanda peringatan, dan apa yang seharusnya dilakukan berbeda. Ini dapat mengembangkan kemampuan penalaran moral. Penelitian menunjukkan bahwa menghadapkan mahasiswa pada dilema etika dalam simulasi membantu mereka merespons lebih etis di dunia nyata. Selain itu, mata kuliah keuangan atau akuntansi untuk startup sebaiknya tidak mengabaikan detail tata kelola yang dianggap “membosankan”; justru harus mengajarkan tentang pembentukan pengendalian internal dasar, pemisahan dana pribadi dan perusahaan, serta kepatuhan terhadap regulasi. Dalam konteks Indonesia, membiasakan mahasiswa dengan regulasi OJK untuk fintech atau ketentuan UU Perseroan tentang tugas direksi akan membantu founder muda memahami tata kelola dengan lebih baik. Intinya, pendidikan tinggi harus mematahkan mitos bahwa tata kelola hanya penting bagi perusahaan besar – sebaliknya, harus diajarkan sebagai faktor kunci kesuksesan startup.
- Penekanan pada Karakter Kepemimpinan dan Kesadaran Upper Echelon Berdasarkan teori upper echelon, pendidikan dapat memengaruhi nilai dan kerangka pikir calon manajer puncak di masa depan. Universitas memiliki peran dalam pembentukan karakter, baik melalui kurikulum formal maupun budaya institusional. Selain pelatihan etika, program juga dapat mencakup refleksi atau penilaian yang membantu mahasiswa memahami gaya kepemimpinan dan bias mereka sendiri. Misalnya, mata kuliah kepemimpinan dapat mensimulasikan skenario tekanan tinggi (seperti gagal mencapai target pendapatan) dan meminta mahasiswa memerankan responsnya, lalu mendiskusikan implikasi etisnya. Program mentoring yang mempertemukan mahasiswa dengan wirausahawan berpengalaman yang menjunjung integritas juga dapat memperkuat role model Universitas di Indonesia dapat bekerja sama dengan asosiasi seperti Asosiasi Fintech Indonesia atau founder terkemuka untuk memberikan kuliah tamu tentang “realitas keras” menjaga kejujuran di tengah tekanan. Melihat pemimpin yang secara jujur berbagi pengalaman menghadapi godaan untuk berbuat curang akan sangat berdampak bagi mahasiswa. Selain itu, pendidikan tinggi perlu menanamkan kesadaran akan bias dan titik
buta. Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang melebih-lebihkan tingkat keetisan diri mereka. Diskusi kelas tentang bias kognitif (misalnya bagaimana kesuksesan bisa menumbuhkan kepercayaan diri berlebihan atau rasa kebal hukum, yang terlihat pada beberapa founder unicorn) dapat membantu calon pemimpin tetap rendah hati dan waspada. Singkatnya, universitas harus melahirkan wirausahawan yang bukan hanya mahir membangun produk dan menggalang dana, tetapi juga menghargai transparansi, menyambut pengawasan, dan paham bahwa kepercayaan jangka panjang lebih penting daripada valuasi jangka pendek.
- Memperkuat Literasi Keuangan dan Manajemen Risiko Beberapa kegagalan tata kelola berawal dari kurangnya Tidak semua founder startup berlatar belakang keuangan atau hukum; banyak yang berasal dari teknik atau kreatif. Meski dapat merekrut CFO atau pengacara, pada tahap awal mereka biasanya menangani keuangan sendiri. Pendidikan tinggi dapat memastikan bahwa literasi keuangan dasar dan manajemen risiko menjadi bagian dari kompetensi setiap wirausahawan. Misalnya, pengusaha perlu belajar membaca laporan keuangan dengan benar dan memahami pentingnya akurasi agar tidak keliru (atau sengaja) salah lapor. Mereka juga harus mengerti apa itu audit dan manfaatnya, cara menerapkan kontrol sederhana seperti persetujuan ganda untuk pengeluaran, dan pentingnya memisahkan rekening pribadi dan perusahaan. Banyak founder di negara berkembang mengelola startup seperti memperpanjang keuangan pribadi, yang berujung masalah (seperti pengalihan dana pada kasus Investree). Dengan praktik workshop – seperti simulasi mengelola arus kas startup atau pelaporan kepada investor – mahasiswa dapat lebih memahami konsep ini. Selain itu, mengingat pentingnya teknologi di fintech, universitas sebaiknya mengajarkan penggunaan alat deteksi fraud dan analitik data. Mata kuliah sistem informasi, misalnya, dapat melatih mahasiswa mendesain sistem yang mendeteksi anomali (seperti pinjaman berulang ke satu KTP – yang luput di KoinWorks). Program kewirausahaan dapat bekerja sama dengan jurusan akuntansi untuk menawarkan kursus singkat dasar akuntansi forensik bagi founder. Upaya penguatan kapasitas ini memastikan ketika mahasiswa menjadi pengusaha, mereka tidak lagi berdalih tidak tahu soal tata kelola.
- Desain Kurikulum untuk Dampak Ekosistem Kewirausahaan Selain mata kuliah individual, pendidikan tinggi memiliki peran lebih luas dalam pengembangan kapasitas melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan Visi pemerintah “Indonesia Emas 2045” mencakup sektor bisnis yang kuat dan beretika; universitas dapat berkontribusi dengan memperbarui kurikulum secara berkala agar selaras dengan tantangan aktual. Misalnya, pasca skandal fintech terbaru, beberapa program akademik di Indonesia dapat menambahkan mata kuliah pilihan “Fintech dan Kepatuhan Regulasi” yang menggabungkan hukum, etika, dan teknologi. Ini akan mencetak wirausahawan dan tenaga kerja yang memahami lanskap regulasi (aturan OJK, UU perlindungan konsumen, dll.). Selain itu, pusat kewirausahaan di kampus dapat menyelenggarakan klinik startup atau bootcamp tata kelola, program singkat bagi mahasiswa maupun alumni founder untuk praktik nyata seperti membentuk dewan penasihat, mengimplementasikan perangkat lunak akuntansi untuk transparansi, hingga membuat kode etik karyawan. Banyak founder tidak tahu harus mulai dari mana untuk urusan governance; di sinilah peran perguruan tinggi memberikan template dan panduan praktis. Inkubator dan akselerator kampus juga sebaiknya mensyaratkan startup binaan
memiliki rencana akuntabilitas sederhana (misalnya siapa yang bertanggung jawab atas dana, bagaimana keputusan dibuat) sebagai bagian dari proses pitch mereka.
6. Penutup: Sintesis dan Langkah Ke Depan
Dengan menarik benang merah dari analisis kasus, pelajaran yang diperoleh, serta peran pendidikan, bagian akhir ini akan menyimpulkan pandangan komprehensif tentang apa yang salah dalam ledakan startup teknologi Indonesia, dan yang tak kalah penting, bagaimana langkah ke depan. Bagian akhir ini menyajikan sintesis wawasan dan rekomendasi praktis bagi berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem fintech Indonesia, dengan tujuan memperkuat kepemimpinan dan praktik tata kelola untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan mengembalikan kepercayaan. Rekomendasi disusun secara berlapis—untuk regulator dan pembuat kebijakan, industri dan investor, startup, serta lembaga pendidikan—serta membagi kerangka waktu implementasi ke dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Table 2: Usulan Rencana dan Langkah Perbaikan ke Depan
Periode Waktu | Rencana dan Ide Utama |
1. Sekarang/Saat Ini |
· Audit independen wajib bagi semua platform P2P berizin untuk mendeteksi dini ketidakwajaran.
· Penegakan tegas atas pelanggaran modal dan pelaporan dengan sanksi cepat (denda, pembekuan operasi) · Komunikasi terbuka regulator dan industri terkait langkah-langkah perbaikan guna memulihkan kepercayaan publik. |
2. Jangka Pendek (1–2 tahun) |
· Penyusunan daftar periksa tata kelola standar oleh VC/industri dan penunjukan pakar independen pada dewan startup portofolio.
· Pengetatan kriteria kemitraan bank-fintech, termasuk hak audit bank atas fintech. · Pembentukan mekanisme whistleblowing di asosiasi fintech. |
3. Jangka Menengah (2–5 tahun) |
· Kewajiban startup besar memiliki komisaris independen dan fungsi audit internal.
· Wajibkan laporan publik berkala (misalnya, tingkat loan default) untuk meningkatkan transparansi. · Adopsi praktik tata kelola di level startup: dewan penasihat eksternal, aturan dua penandatangan transaksi besar, budaya audit internal, kode etik, dan solusi teknologi pemantau transaksi. · Inkubator/akselerator mengondisikan dukungan pada penerapan rencana akuntabilitas startup. |
4. Jangka Panjang (>5 tahun) |
· Implementasi unit pengawasan khusus digital finance dengan RegTech/SupTech untuk mendeteksi anomali berbasis data.
· Hasil pendidikan etika menghasilkan generasi founder startup yang seimbang antara ambisi dan tata kelola. · Pembentukan penghargaan nasional etika kewirausahaan untuk menumbuhkan teladan positif. · Integrasi nilai tata kelola etis dalam program nasional seperti Gerakan 1000 Startup. |
Periode Waktu | Rencana dan Ide Utama |
· Penelitian kolaboratif untuk menutup kesenjangan pengetahuan terkait risiko fraud privat dan pengaruh faktor budaya.
· Pembiasaan self-audit rutin pada startup setelah setiap insiden besar di industri. |
Diharapkan dengan rencana dan strategi di atas, maka upaya perbaikan dan pemulihan tech startup
Indonesia dapat tercapai.
=00=
REFERENSI & DAFTAR BACAAN
AGA Council of the AGA. (2023). Fraud Triangle. Retrieved from https://www.agacgfm.org/Resources/intergov/FraudPrevention/FraudMitigation/FraudTri angle.aspx
Agrawal, A., & Chadha, S. (2005). Corporate governance and accounting scandals. Journal of Law and Economics, 48(2), 371–406. https://doi.org/10.1086/430808
Aguilera, R. V., et al. (2021). Corporate governance mechanisms and firm outcomes. SSRN. https://papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/5005652.pdf
Ashurst. (2022, March 3). Highlights on latest development in fintech lending regulation in Indonesia. https://www.ashurst.com/en/insights/highlights-on-latest-development-in- fintech-lending-regulation-in-indonesia/
Bloomberg. (2025, Jan 21). SoftBank-backed fish firm allegedly faked most of its sales. https://www.bloomberg.com/news/articles/2025-01-21/softbank-backed-fish-startup– allegedly-faked-most-of-its-sales
Bloomberg. (2025, January 22). Indonesia’s US$1.4 billion fish start-up faked most sales, report claims. https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3295771/indonesias-us14- billion-fish-start-faked-most-sales-report-claims
Business Times. (2025, January). Fraud-hit eFishery slashes over 1,000 jobs as company weighs liquidation. https://www.businesstimes.com.sg/pulse/article/5876113
Cressey, D. R. (1953). Other people’s money: A study in the social psychology of embezzlement.
Glencoe: Free Press.
Daily, C. M., Dalton, D. R., & Cannella, A. A. (2003). Corporate governance: Decades of dialogue and data. Academy of Management Review, 28(3), 371–382. https://doi.org/10.5465/amr.2003.10196703
DealStreetAsia via Reuters. (2025, Feb 4). FTI Consulting takes over as eFishery’s acting management amid alleged fraud probe. https://www.reuters.com/technology/indonesian- startup-efishery-appoints-fti-consulting-manager-amid-alleged-fraud-2025-02-04/
Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review, 14(1), 57–74. https://doi.org/10.2307/258191
Gleason, K., Kannan, Y. H., & Rauch, C. (2022). Fraud in startups: what stakeholders need to know. Journal of Financial Crime, 29(4), 1191-1221.
Hambrick, D. C. (2007). Upper echelons theory: An update. Academy of Management Review, 32(2), 334–343. https://doi.org/10.5465/amr.2007.24345254
Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984). Upper echelons: The organization as a reflection of its top managers. Academy of Management Review, 9(2), 193–206. https://doi.org/10.5465/amr.1984.4277628
International Trade Administration. (2024). Indonesia digital economy. Country Commercial Guides. https://www.trade.gov/country-commercial-guides/indonesia-digital-economy
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305–360. https://doi.org/10.1016/0304-405X(76)90026-X
Kilde. (2025). Indonesia’s FinTech & Lending Evolution: Multi-Finance & P2P. https://www.kilde.sg/post/indonesias-lending-and-fintech-landscape-multi-finance-p2p- and-digital-convergence
Leuz, C., Nanda, D., & Wysocki, P. D. (2003). Earnings management and investor protection: An international comparison. Journal of Financial Economics, 69(3), 505–527. https://doi.org/10.1016/S0304-405X(03)00121-1
Munter, P. (2024, May 15). Fostering a healthy “tone at the top” at audit firms. U.S. Securities and Exchange Commission. https://www.sec.gov/newsroom/speeches-statements/munter- statement-audit-firms-051524
Munter, P. (2024, May 20). Statement on importance of “healthy tone at the top” at audit firms. Deloitte DART. https://dart.deloitte.com/USDART/home/news/all-news/2024/may/sec- chief-statement-audit-firms
New Yorker. (2020, November 30). How venture capitalists are deforming capitalism. https://www.newyorker.com/magazine/2020/11/30/how-venture-capitalists-are- deforming-capitalism
OECD. (2015). G20/OECD principles of corporate governance. https://www.oecd.org/daf/ca/Corporate-Governance-Principles-ENG.pdf
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2024). Financing institutions: Venture capital, fintech P2P lending, and micro-finance industry update – Dec 2024.
https://iru.ojk.go.id/iru/dataandstatistics/detaildataandstatistics/13379/financing- institutions-venture-capital-fintech-p2p-lending-and-micro-finance-industry-update- december-2024
Palmer, D. A., & Weiss, T. (2021, November 2). The dark side of startups: When “fake it till you make it” goes wrong. UC Davis Graduate School of Management. https://gsm.ucdavis.edu/news/dark-side-startups-when-fake-it-till-you-make-it-goes- wrong
Park, W. (2025, February 6). “Chilling Effect”: Indonesian startup scandal’s impact on Southeast Asia’s investment landscape. Ainvest. https://www.ainvest.com/news/chilling-effect- indonesian-startup-scandal-impact-southeast-asia-investment-landscape-2502/
People Matters News Bureau. (2025, May 28). Indonesia’s golden future: What Vision 2045 means for business and HR leaders. https://www.peoplemattersglobal.com/article/economy- policy/indonesias-golden-future-what-vision-2045-means-for-business-and-hr-leaders- 4573
SCMP via Bloomberg. (2025, Jan 22). Indonesia’s US$1.4 billion fish start-up faked most sales, report claims. https://www.scmp.com/news/asia/southeast- asia/article/3295771/indonesias-us14-billion-fish-start-faked-most-sales-report-claims
Shleifer, A., & Vishny, R. W. (1997). A survey of corporate governance. The Journal of Finance, 52(2), 737–783. https://doi.org/10.1111/j.1540-6261.1997.tb04820.x
Stratsea. (2025). Hard Lessons from eFishery’s Fishy Business. https://stratsea.com/hard-lessons- from-efisherys-fishy-business/
Tech Collective. (2025, March 24). Is startup fraud in Southeast Asia overblown or a real threat?
https://techcollectivesea.com/2025/03/24/startup-fraud-southeast-asia/
Tech in Asia. (2025, February). String of scandals renews call for startup watchdog in Indonesia. https://www.techinasia.com/big-efishery-layoffs
Tech in Asia. (2025). eFishery confirms alleged fraud; may face restructuring. https://www.techinasia.com/efishery-confirms-alleged-fraud-fti-consulting-takes
The Runway Ventures. (2025). The Dark Secrets Behind eFishery’s $1.4B Collapse. https://www.therunway.ventures/p/efishery
Wired. (2018, March 14). Theranos and Silicon Valley’s ‘fake it till you make it’ culture. Wired. https://www.wired.com/story/theranos-and-silicon-valleys-fake-it-till-you-make-it- culture/
Wolfe, D. T., & Hermanson, D. R. (2004). The fraud diamond: Considering the four elements of fraud. The CPA Journal, 74(12), 38–42. https://www.cpajournal.com/2004/1204/essentials/p38.htm
World Bank. (2023). The digital economy in Southeast Asia: Strengthening the foundations for future growth.
Yang, S. (2023). ASEAN’s Splintering Digital Economy Governance, East Asia Forum, 20 April, https://www.eastasiaforum.org/2023/04/20/aseans-splintering-digitaleconomy- governance/