Membahas pandangan kritis-rasional berkaitan dengan peristiwa nyata/fakta sosial dan dinamika kebangsaan yang sedang hangat di dalam masyarakat dan ramai diwacanakan di media sosial. Analisis kritis akan diberikan untuk membedah masalah dan memberikan alternatif solusi.
Undangan Penguatan Nilai-Nilai Asali Ke-Indonesiaan dari Bantul, Yogyakarta
Kualitas toleransi keberagaman agama kita di Indonesia, kembali diuji dengan peristiwa yang terjadi di Bantul Yogyakarta, tepatnya di Dusun Karet beberapa waktu lalu. Diberitakan, seorang penganut Katolik yang bernama Slamet Jumiarto (42) ditolak warga untuk mengontrak pada salah satu rumah di dusun ditersebut. Dia ditolak bukan karena suatu tindakan kriminal atau karena telat membayar kontrakan. Namun, ia ditolak semata-mata karena ia seorang penganut Katolik, atau lebih tepatnya ia seorang non-Muslim. Penolakan ini di dasari oleh kesepakatan warga bahwa yang boleh tinggal di dusun tersebut hanya penganut Muslim. Sedangkan yang non-Muslim tidak diperkenankan. Sontak saja pengalaman Slamet Jumiarto tersebut menjadi viral di media sosial. Pada umumnya orang merasa prihatin dengan peristiwa tersebut. Peristiwa intoleransi yang berbasis pada agama di Bantul tersebut pada dasarnya menunjukkan perubahan nilai-nilai sosial asali pada masyarakat dipedesaan kini sedang berlangsung pada arah yang tidak kita harapkan dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai sosial asali pada masyarakat pedesaan kita umumnya digambarkan dengan sangat ideal. Masyarakat pedesaan kita digambarkan sebagai masyarakat yang inklusif, terbuka bahkan tidak hanya kepada orang lain yang beridentitas berbeda, tetapi juga terbuka pada gejala-gejala alam. Masyarakat pedesaan kita digambarkan sebagai masyarakat yang selalu membangun relasi yang harmonis dengan sesama dan alam. Siapapun yang akan datang dan masuk dalam komunitas mereka, akan diterima dengan penuh keramahan, diberi tempat, makan dan minum. Mereka tidak memiliki kebiasaan bertanya dari mana tamunya berasal, dan kemana mereka akan pergi, atau apa gerangkan tujuan kunjugannya. Mereka hanya menerima, lalu melayani dengan penuh keramahan. Kembang senyum merekah sambil mengeluarkan kata-kata yang penuh cinta, perhatian, dan keakraban. Seolah-olah telah sama saling mengenal. Nilai-nilai asali ini mewarani kehidupan keagamaan mereka, yang pada dasarnya berasal dari luar. Dari negeri yang jauh dari kehidupan mereka. Dari negeri yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan, sebab ia jauh dari dunia keseharian mereka. Dengan nilai-nilai seperti ini, inklusi atau toleransi bukan sebuah konsep abstrak dan berasal dari luar, melainkan sebuah pengalaman, sebuah cara hidup dalam kesatuan yang kosmik. Namun, pengalaman Slamet Jumiarto (42) di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai asali tersebut telah mengalami perubahan. Dunia mereka tidak lagi terbuka, namun cenderung tertutup. Mereka membangun batas-batas identitias yang jelas, tidak hanya secara sosial dan budaya, namun bahkan secara teritori. Siapapun yang memasuki batas-batas teritori tersebut harus tersebut harus memiliki identitas yang sama dengan mereka. Mereka tidak ingin membuka jendela dunia keseharian mereka dan menemukan ada yang berbeda. Perjumpaan yang perbedaan dalam hal ini akan dialami sebagai sesuatu yang mengamcam kemurnian identitas. Kita berharap apa yang terjadi di Bantul tidak mencerminkan terjadinya perubahan massif pada nilai-nilai asali dalam masyarakat pedesaan kita pada yang cenderung toleran, inklusif dan penuh dengan keramahan. Kalau hal itu terjadi, maka identitas ke-Indonesiaan kita sedang berada dalam ancaman yang serius. Ke depan kita tidak akan lagi menemukan identitas ke-Indonesiaan yang ramah, terbuka dan toleran. Kita akan hidup dalam batas-batasi identitas keagamaan yang tegas, tanpa berinteraksi dengan yang lainnya. Sulit di banyangkan jika hal itu memang benar-benar akan terjadi. Indonesia hanya akan menjadi kenangan buruk bagi generasi yang akan datang. Dan sebagai manusia kita akan mengalami devolusi dalam kemanusiaan kita. Kita hidup sebagai homo mamalibus. Manusia yang hanya hidup dengan kelompoknya sendiri. Homo mamalibus adalah kondisi yang akan melahirkan homo homini lupus. Kita saling meniadakan. Dan itu itu berarti arah evolusi kita sebagai manusia, homo sapiens tidak akan pernah sampai pada tujuan kesempurnaanya sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, atau yang dapat disebut sebagai Homo Deus. Manusia yang hidup menurut sifat-sifat Tuhan yang murah hati, ramah, toleran terhadap ciptaan-Nya. Lalu, apa yang perlu kita lakukan? Gejala yang terjadi seperti pengalaman Slamet Jumiarto tersebut haruslah dimaknai sebagai undangan, sebagai panggilan untuk berbenah. Sebagai bangsa kita perlu berbenah mereproduksi kembali, merevitalisasi kembali nilai-nilai asali ke-Indonesiaan kita yang ramah, toleran dan terbuka. Untuk hal itu, kita dapat melakukan pendidikaan kewarganegaraan tidak hanya dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan formal, tetapi juga dilakukan di masyarakat. Institusi negara seperti Kesbangpol ditingkat Daerah misalnya dapat ditingkatkan fungsinya sebagai agent yang memperkuat nilai-nilai ke Indonesiaan pada tingkat masyarakat. Prinsipnya, negara harus hadir secara aktif pada masyarakat untuk memastikan dunia keseharian masyarakat diwarnai oleh nilai-nilai asali ke-Indonesiaan. Selain itu, negara juga harus memastikan, setiap lembaga pendidikan mengembangkan program-program penguatan kebangsaan di masyarakat melalui program-program Kerja Kuliah Nyata (KKN) yang melibatkan mahasiswa/i dan para pengajar secara masif. Dengan kegiatan-kegiatan seperti ini, penetrasi nilai-nilai keberagaman dapat sampai dengan lebih cepat pada masyarakat pedesaan kita. Sehingga nilai-nilai asali yang sudah ada terus diperkuat dalam kehidupan mereka setiap hari. read more
Yustinus Suhardi Ruman • April 26, 2019
Jokowi as the Strongest Leader of Indonesia
Joko Widodo has been popular since he was elected in 2014. He has created so many regulation for boosting economic growth. There are some economic policies that should be note. The first is changing in fuel subsidies and saving for infrastructure development. The president realize that good infrastructure can boost social mobility, and then make the market dynamics. The people can go anywhere to sale their product of commodity. Well infrastructure certainly creates low cost for business transaction. The second regulation that leads to discussion and even debate among the people is tax amnesty. The main purpose of this regulation was to repatriate money of Indonesia people stashed in other countries. Though this policies bring out the polemic among political elites, the president succeeded to persuade that this program is useful for overcoming finance problem in Indonesia. Indeed, this program was a success. The third economic policies is developing transportation infrastructure along Java, Sumatra, Sulawesi, and Papua islands. Government build airports, ports and tolls. According to President, transportation infrastructure gives many advantages to Indonesian people, one of which is easier access for mobilization. Certainly, massive mobilization can create many impacts in social order, economic and cultural growth. Transportation infrastructure can improve the understanding among the people on their difference. This understanding is fully important, because through this way all people of Indonesia will have experience of difference. This experience can make mutual interpersonal interactions running well, and realize that they are all as fellow citizens of Indonesia. In addition, transportation can reduce the business cost. Therefore, it will give impact to move the wheels of economy which assumed can increase the welfare of citizens. The last benefit of development of transportation infrastructure is cultural understanding of people. As described briefly above, transportation infrastructure can increase mobilization among citizens. The impact is that the people have chance to learn other customs, way of thinking, lifestyle, values, and so on. People can share their cultural values to another, and vice versa can learn from other cultural. read more
Yustinus Suhardi Ruman • April 26, 2019