Demokrasi Akal Sehat
Oleh: Ernestus Holivil (Dosen Character Building, Binus Bandung)
Kita hidup selama 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru. Era dimana kita mengalami kompleksitas masalah, tidak hanya terbatas pada masalah social justice, tetapi juga pada masalah demokrasi. Memang harus diakui, sektor ekonomi di Orde Baru mengalami kebangkitan. Tetapi, Keberhasilan pembangunan ekonomi di era itu tidak dibarengi dengan pembangunan khidupan demokratis. Alih-alih menyebutnya sebagai keadaan resesi atau erosi demokrasi, karena masih mengalami berbagai masalah fundamental, seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik antikritik, lemahnya partisipasi politik warga negara, dan kinerja pemerintah bergaya otoriter.
Setelah tahun 1998, Keadaan itu berlalu. Indonesia memasuki era yang biasa disebut sebagai era reformasi. Era ini dilihat sebagai babak baru dalam sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Warga negara tidak lagi terkungkung dalam pola pemerintah otoritariansime atau top-down, tetapi beralih kepada kekuasaan civil society atau bottom-up. Persis di era ini, demokrasi mengalami kebangkitan yang luar biasa. Demos atau rakyat mendapat daulat kekuasaan penuh.
Kalau di era Orde baru, ada pengekangan bahkan pembungkaman terhadap kebebasan seseorang. Kebebasan diatur oleh mereka yang berkuasa. Era reformasi justru sebaliknya, kebebasan rakyat diberi tempat yang istimewa. Setip warga negara diberi kebebasan dalam banyak hal; kebebasan berkepresi, kebebasan memilih, dan kebebasan berorganisasi, termasuk kebebasan beroposisi. Ada trend demokrasi yang jauh lebih baik dari era demokrasi sebelumnya; demokrasi parlementer (1945-1950), demokrasi terpimpin (1959-1965), dan demokrasi pancasila (1965-1998),
Sampai hari ini, demokrasi masih dipakai dan diakui sebagai sistem terbaik. Tetapi, di tengah kemegahannya itu, demokrasi Indoensia pasca-Orba (1998-sekarang) dinilai masih banyak kajanggalan dan penyimpangan. Demokrasi kita belum mampu menunjukan ontesitasnya, dan malah belakangan ini mengalami kemunduran luar biasa. Tidak hanya dalam level teoritik, soal sempitnya pemahaman orang terhadap demokrasi, tetapi juga sebagai akibat dari kekacauan pemahaman itu, demokrasi mengalami cacat dalam praktinya.
Sempitnya pemahaman dan dangkalanya praktik demokrasi seperti ini seringkali membuat demokrasi kehilangan ontesitas maknanya. Kebebasan sebagai roh dari demokrasi malah dijadilkan sebagai dalil untuk melakukan tindakan penyelewengan atau semena-mena. Pemahaman demokrasi cendrung mengarah orang pada tindakan kebebasan kebablasan yang berujung pada konflik horizontal dan vertical. Berbagai fenomena seperti hoaks dan hate speech di media sosial menunjukan hal tersebut. Hal inilah yang kemudian menjelaskan mengapa kebebasan over-thingking atau tanpa kontrol ini, dalam situasi tertentu cerndung menciptakan apa yang disebut ketidakaturan sosial (social disorder).
Terkait dengan dengan fenoma hoaks belakangan ini, survei kementerian komunikasi dan informatika (Kominfo) menunjukan bahwa masih banyak masyarakat yang menyebarkan infromasi bohong. Data yang terangkum dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mulai dari Agustus 2018 hingga awal 2022, memperlihatkan sekitar 9.546 hokas yang tersebar di berbagai palform media sosial di Internet. Banyaknya penyebar hoaks ini, lebih karena alasan mindset, bahwasannya sebagian besar publik menganggap hoaks itu sebagai masalah biasa.
Banyak motif yang bisa menyebabkan orang menyebarkan hokas. Bisa saja orang melakukan itu untuk mendapat pengakuan dan eksistensi dirinya. Tidak peduli tentang isi dan kebenaran, dirinya justru merasa puas dan bangga kalau statusnya diviralkan dan menjadi komsumsi banyak orang. Atau bisa juga orang menyebarkan hoaks dengan alasan mendapatkan profit atau keuntungan. Dalam situasi politik misalnya, mereka yang membabtis diri sebagai influencer atau buzzer seringkali dipakai oleh kanditat atau caleg legislative untuk menyebarkan hoaks. Pemakaian kebohongan sebagai strategi politik. Orang menyebutnya post-truth politik (politik pasca kebebenaran), sebuah politik yang mengungkapkan sentiment (etnis-agama) atas akal sehat dan kebenaran. Praktik-prakti ini bagian dari pembodohan publik, karena yang namanya hoaks itu, nilai informasinya nol.
Sampel masalah di atas menunjukan bahwa demokrasi kita tidak baik-baik saja, sedang sakit kornis. Pertanyaannya adalah upaya apa yang dilakukan sehingga demokrasi kita betul-betul dipraktikan ke jalan yang benar? Dan demokrasi apa yang dipakai sebagai role model dalam membangun cara berada kita sebagai warga negara yang baik? Pertanyaan ini penting sebagai bagian dari upaya kita mencegah praktik demokrasi yang kebablasan.
Suka tidak suka, mau tidak mau, sudah saatnya demokrasi kita harus kembali kepada jalan yang benar. Satu keyakinan mendasar, apa yang benar itu pasti selalu berangkat dari pikiran dan akal yang sehat. Oleh karena itu, demokrasi yang mesti kita wartakan dalam kehidupan sebagai warga negara adalah demokrasi akal sehat, demokrasi yang mengedankan nalar. Akal sehat menjadi benteng untuk menjauhkan orang dari pikiran-pikiran yang gelap. Saya pikir, pepatah Italia itu benar, bila akal sehat tiada, maka para monsterlah yang akan menguasai malam. Dalam demokrasi akal sehat, kita tidak mau para monster ini yang bekuasa.
Demokrasi akal sehat harus dikedepankan, sebab kita memasuki Abad Kehancuran. Hannh Arend dalam bukunya Men in Dark Time, menyebutnya sebagai Abad Kegelapan. Kegelapan ini dimaksudkan Arend sebagai ketidakberpikiran. Ketidakberpikiran bukan berarti ketidakcerdasan melainkan ‘ketidakmampuan berpikir kritis dan memahami situasi/posisi orang lain. Kata Arend, ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia. Karena tidak berpikir, manusia mudah melakukan berbagai kejahatan.
Mengembalikan akal sehat adalah tugas utama para intelektual (Pendidik, mahasiswa) dan budayawan. Merekalah pertama-tama mencerdaskan masyarakat dari varian pembodohan politik. Dalam Mitologi Yunani, para intelektual ini serupa kisah Promotheus, yang turun ke dunia membawa api karena tak nyaman melihat manusia merangkak dalam kegelapan dan kebodohan. Yang ditonjolkan adalah idealisme kebenaran dan prinsip pengetahuan rasional. Sekali lagi, Peran intelektual dan budayawan diletakan sebagai tugu sekaligus pagar dalam demokrasi. Hal ini penting supaya orang bebas dari kesan Hoe Hooger greest, hoe groter beest, semakin tinggi intelektualnya, semakin besar kebinatangannya.
Selain peran intelektuan dan budayawan, masyarakat juga menjadi benteng demokrasi (democratic bulwark). Dalam artian, masyarakat turut bertanggung jawab atas dekonsolidasi demokrasi yang kita alami. Dalam bukunya A Return to Common Sense (2008), Michael Waldman mengatakan, agen utama merevitalisasi demokrasi akal sehat adalah rakyat itu sendiri. Rakyat harus aktif dalam mewartakan demokrasi akal sehat, dan harus terinformasi (informed public). Andersen mengatakan, semakin terinformasi seorang warga dengan isu-isu public, semakin baik kualitas pilihan dan sikap politiknya.
Akhirnya, mengembalikan demokrasi akal sehat merupakan tugas kita bersama. Kita perlu aktif informed public sebagi upaya mengembalikan akal sehat dalam diskursus ruang public. Nalar perlu menjadi corak dalam membawa pijar-pijar kebenaran dan misi emansipatoris pencerahan. Hanya dengan itu, kita akan bebas dari erosi demokrasi dan para monster itu tidak akan berkuasa.