Tangkal Radikalisme dengan Islamisasi Pancasila dan Metode Berpikir Kritis

Jakarta, Character Building

Dalam rangka menguatkan ideologi Pancasila di kalangan akademisi, dosen dan karyawan Binus University, Character Building Development Center melaksanakan seminar sehari dengan menghadirkan dua (2) narasumber yang pakar di bidangnya masing-masing, yakni Dr. Alexander Seran dan Syaiful Arif, dengan moderator Dr. Frederikus Fios pada Senin 8 Juli 2019. Hadir pada kesempatan ini Rektor Universitas Bina Nusantara, Prof. Dr. Hardjanto Prabowo, Ketua RIG Binus Prof. Sasmoko, Manager CBDC Binus Dr. Antonius Atosokhi Gea, S.Th., MM, Ketua panitia seminar sekaligus SCC CBDC Dr. Yustinus Suhardi Ruman, S.Fil., M.Si,  dosen CB dan dosen jurusan lain serta karyawan yang hadir memadati ruang M2CD Kampus Syahdan, Binus University.

Rektor Prof. Hardjanto Prabowo bersama staf pengajar CB Binus University (foto CBDC.doc)

Rektor Binus University Prof. Harjanto Prabowo dalam arahan pembukaannya mengatakan dirinya memberi perhatian serius pada pengembangan Character Building di Binus University yang menjadi bagian terpenting dari seluruh proses pendidikan dan pembelajaran di lingkup Binus University. Rektor mengapresiasi semua usaha dan langkah yang terus dilakukan oleh Manager CBDC beserta para dosen yang terus setia mengajar dan mendampingi mahasiswa melalui kuliah CB di Binus. “Saya salut pada para dosen CB yang terus setia mengajarkan kuliah CB kepada para mahasiswa di tengah usaha Binus mengembangkan bidang teknis lain yang berkaitan dengan bidang information technology“, ucap rektor yang menambahkan bahwa CB merupakan hal terpenting bagi pembentukan karakter mahasiswa Binus University.

Manajer CBDC Dr. Antonius Atosokhi Gea dalam arahannya memperkenalkan sejumlah terobosan yang sudah dilakukan oleh CBDC Binus yakni pembelajaran CB, penerbitan buku CB, kegiatan luar kelas mahasiswa, kegiatan pembinaan dosen, peluncuran website CBDC, dan kegiatan lain yang ditempuh unit CBDC untuk mendukung tujuan Binus mencapai generasi yang smart  and good (cerdas dan baik).

Tim CBDC bersama dengan kedua narasumber (Foto: CBDC.doc 8 Juli 2019)

Pembicara pertama, Syaiful Arif dengan sangat jernih dan terang menjelaskan tentang dinamika penerapan Pancasila di Indonesia, tantangan terhadap ideologi Pancasila dari masa ke masa hingga sekarang ini. “Terjadi desoerkarnoisasi Pancasila dalam proses-proses politik kebangsaan ini sejak masa Orde Lama hingga Order Baru. Kendatipun demikian hanya Soekarno yang mampu meracik dan merumuskan dengan tepat filosofi kebangsaan Indonesia bernama Pancasila itu. Soekarno mampu melakukan sintesis kebangsaan yang luar biasa untuk mendamaikan pro kontra atau pertentangan antara penganut agama islam dengan kelompok nasionalis”, jelasnya.

Arif yang juga menulis buku Pancasila, Islam dan Deradikalisasi ini pun membentangkan hasil penelitian yang menyebutkan adanya seklompok masyarakat yang menolak Pancasila dijadikan dasar negara dan juga terdapat adanya aliran transnasional yang membawa virus radikalisme ke Indonesia sebagai dampak dari merebak masuknya produk impor  ideologi negara lain yang bertentangan dengan Islam Nusantara ini. Oleh karena itu Islamisasi Pancasila perlu menjadi agenda pokok ke depan agar negara ini dapat tegak berdiri. NU dan Muhammadyah adalah dua kekuatan yang dapat menjadi ujung tombak menjaga Pancasila dari serangan ideologi lain yang dapat menghancurkan keutuhan negara republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini”, tegas Arif yang juga pernah menjabat staf ahli di bidang UKP-PIP ini.

Sementara itu Doktor Alexander Seran yang juga saat ini menjadi dosen Atmajaya University dan Ketua Himpunan Dosen Etika Indonesia (Hidesi) ini memaparkan makalahnya secara filosofis dengan judul “Pancasila sebagai metode berpikir kritis”. Menurut Doktor Alex, Pancasila dalam konteksnya secara esensial merupakan pengalaman nilai-nilai pluralisme kehidupan bangsa Indonesia. Menurutnya, Pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 merupakan refleksi kritis Soekarno atas realitas keindonesiaan bangsa ini. Indonesia tidak cocok dengan ideologi lain seperti liberalisme, individualisme, kapitatalisme, monarkhi absolut, teokrasi (negara agama), sosialisme dll. Namun Soekarno menginginkan negara ini dibangun di atas dasar negara kebangsaan (nation state). Dengan demikian Pancasila menjadi lebenswelt (dunia kehidupan nyata) dan welt anchauung atau pandangan tentang dunia.

Doktor Alex juga menegaskan bahwa Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi tidak boleh hanya berhenti pada upaya menjadikan Pancasila sebagai moral individu saja, namun harus bertolak lebih ke dalam upaya untuk mencapai horizon education of mind atau  sistem berpikir kritis. Pancasila perlu diajarkan sebagai suatu jalan pengetahuan untuk mahasiswa mampu menalar secara kritis dengan mendasarkan diri pada etika keutamaan (virtue ethics). Namun di atas segalanya, Pancasila bagaimanapun juga adalah sebuah sistem berpikir terbaik yang ada untuk kebaikan bersama semua orang di dalam rumah yang bernama Indonesia ini. “Pancasila is the better insight of Indonesia in the past, now and forever“, tegas Doktor Alex. (*/Fritz Fios)