Pengabdian kepada Masyarakat Dosen Character Building Binus di Parung Panjang-Bogor tentang Indahnya Toleransi

Oleh: Yustinus Suhardi Ruman

 

Keberagaman merupakan suatu keindahan dan rahmat yang patut disyukuri bahkan dirayakan secara bersama dengan penuh gembira dan suasana  kebahagiaan. Demikian disampaikan oleh Doktor  Frederikus Fios, dalam kata sambutannya sebagai Ketua Panitia Seminar “Indahnya Toleransi” di SMK Bina Putra Mandiri (BPM-Parung Panjang) Bogor, pada 26/02/2020 silam. Menurut Doktor Fios, keberagaman itu perlu terus dibicarakan agar dipahami, dimengerti, dihayati dan diaplikasikan dalam hidup nyata berbasis nilai-nilai kepedulian, persaudaraan, kasih sayang, perdamaian, kebaikan, penghargaan dan respek satu sama lain.

Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber yakni Drs. Zainal Adnan selaku Ketua MUI Kecamatan Parung Panjang, Egi Gunadhi Wibawa, SP., MM selaku Ketua Taruna Merah Putih, Kabupaten Bogor, Iqbal Hasanuddin, M.Hum (Dr. Cand.,) selaku Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, dan Dr. Yustinus Suhardi Ruman, S.Fil.,M.Si, Sosiolog dan Subject Content Coordinator, Character Building Development Center, Unversitas Bina Nusantara Jakarta. Moderator seminar ini yakni Founder Rumah Anak Bumi, Bapak Ridwan Manantik. Peserta PKM sekitar 300 orang dari berbagai elemen se-kecamatan Parung Panjang.

Dalam pemaparannya, Egy Gunadhi Wibawa mengemukakan bahwa beribadah adalah hak dasar semua umat beragama. Setiap umat beragama harus memiliki hak yang sama untuk dapat beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.  Dalam konteks itu, menurut Egy yang juga pernah menjabat anggota DPRD Bogor periode 2014-2019 tersebut,  kita harus saling menghormati, saling membantu, dan bukan saling menghalang-halangi. “Saya ajak semua kita terutama genarasi muda untuk selalu memperjuangkan hak-hak beribadah bagi siapapun yang datang dan menjadi warga di Parung Panjang ini”, imbau Egy yang juga tokoh yang sangat nasionalis ini.

Sementara itu, Drs. Zainal Adnan, selaku Ketua MUI Parung Panjang menegaskan bahwa seminar toleransi seperti  ini sangat didukung penuh oleh MUI Parung Panjang-Bogor. “Kami mengharapkan program-program seminar dan dialog  lintas agama seperti ini untuk memperkuat toleransi di antara kita patut  terus dilakukan di masa-masa mendatang”, kata Adnan.

Keberhasilan pembangunan Parung Panjang sangat ditentukan oleh tingkat toleransi di antara semua elemen berbeda di dalamnya. “Kita harus saling mempelajari satu sama lain”, kata Adnan. Kyai Adnan juga melanjutkan bahwa semua agama itu pada dasarnya benar dalam ajarannya masing-masing, dan oleh karena itu Pancasila adalah dasar dari kehidupan bersama kita. Pancasila tidak bertentangan dengan agama. Adalah keliru kalau ada orang yang mengatakan bahwa Pancasila bertentangan dengan agama.

Pembicara ketiga, Iqbal Hasanuddin menyoroti semangat keagamaan Soekarno sebagai pencetus Pancasila. Dalam pemaparannya, Iqbal mengatakan bahwa Soekarno mendapat pendidikan, dan bimbingan Islam yang sangat baik. Oleh karena itu, ketika Soekarno meletakkan Pancasila sebagai dasar negara, dan bukan agama Islam, bukan karena ia tidak paham agama Islam, melainkan karena Soekarno sadar betul bahwa dalam negara Pancasila, Islam justru akan dapat berkembang dengan sangat baik. Bung Karno adalah seorang pemikir Islam yang banyak belajar Islam dari Sarekat Islam (SI), Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah.

Pembicara, terakhir Dr. Yustinus Suhardi Ruman, S.Fil,M.Si lebih menyoroti hakikat dari semangat toleransi itu sendiri. Menurut Dr. Yustinus, toleransi harus dimaknai sebagai ‘membiarkan orang lain menjadi, seharusnya ia menjadi’.  Pemaknaan toleransi seperti itu menuntut sikap yang aktif dari semua umat beragama. Toleransi tidak sekedar berada bersama secara harmonis, tetapi juga menuntut setiap umat beragama untuk memastikan secara aktif bahwa orang lain/penganut agama yang lain dapat bertumbuh dan berkembang sebagai mana seharusnya mereka. “Orang Katolik harus memastikan bahwa saudaranya yang Muslim dapat menjalankan ibadahnya dengan baik, kalau saudaranya tersebut tidak dapat menjalan ibadahnya, maka ia harus membantu untuk memastikan saudaranya yang Muslim itu dapat beribadah dengan baik. Sebab dengan itu, ia dapat memastikan saudaranya yang Muslim itu dapat sungguh-sungguh menjadi Muslim sebagai seharusnya ia sebagai seorang Muslim. Demikian juga sebaliknya seorang Muslim harus dapat memastikan saudaranya, tetangganya yang Nasrani dapat bertumbuh menjadi seharusnya ia sebagai seorang Nasrani. Jadi toleransi dalam hal ini menuntut tanggungjawab sosial kita masing-masing. Tanggunjawab sosial tersebut, demikian Dr. Yustinus, merupakan panggilan kemanusiaan kita sebagai umat Allah yang Maha Kuasa.

Seminar tersebut terselenggara dengan kepanitiaan bersama hampir semua elemen sosial dan pemerintah Kecamatan Parung Panjang-Bogor, seperti:  Pemerintah Kecamatan Parung, Pemerintah Desa Parung Panjang, Polsek, Babinsa, MUI Kecamatan Parung, Taruna Merah Putih Kabupaten Bogor, GP Ansor, Rumah Anak Bumi, KNPI, Karang Taruna, Komunitas Katolik, Galaksi Band, Salomon Studio, Vox Poin Indonesia, dan SMK Bina Putera Mandiri Parung Panjang. Semoga kondisi toleransi semakin bertumbuh subur dan berkembang langgeng di Bumi Parung Panjang.