Ministry of Teaching and  Whole Person Education Program (Christian Perspective)

Dr.  Philipus Tule, SVD[1]

Pendahuluan 

Paparan saya ini adalah refleksi pemahaman dan pengalaman pribadi saya mengenai konsep “whole person education program” (program pendidikan kepribadian seutuhnya), baik yang dikembangkan oleh para pakar ilmu pendidikan (science of education) maupun yang dikembangkan oleh para pakar antropologi modern (modern anthropology ). Tapi juga bertolak dari pengalamanku sebagai seorang pastor Katolik yang  terlibat dalam dunia pendidikan sebagai guru/dosen selama 35 tahun. Saya pun ingin menghubungkannya dengan terminology/bahasa dan praksis pendidikan oleh Yesus Kristus sendiri (Jesus’s language and praxis).

Metode Modern (Mengajar dan Belajar pada Abad ke-21)

Dalam buku berjudul : “Research Based Teaching and Learning in the 21st Century” (2005), Suzanne Donovan dan John Bransford  mengidentifikasi 3 (tiga) prinsip mengajar dan belajar pada abad ke-21 sbb:

(1). Dosen/guru hendaknya memanfaatkan ilmu pengetahuan yang telah ada utk mempromosikan Pembelajaran Berbasis Siswa. [Teacher must address and build upon prior knowledge to promote student centered learning (SCL)].

(2)  Siswa/mahasiwa harus mengembangkan pemahaman dan berusaha menerapkan pengetahuan itu dalam konteks dunia nyata. [Students must develop understanding and effectively retrieve and apply knowledge in real world contexts].

(3) Siswa/mahasiwa akan belajar lebih efektif, bila mereka sadar bagaimana mereka belajar serta tahu memonitor dan merefleksi tentang apa yang dipelajari. [Students learn more efffectively when they are aware of how they learn and know how to monitor and reflect on their own learning].

Terminologi Antropologi Modern   

Baiklah kita ingat bahwa  dalam ilmu antropologi Kristen modern dan berbagai ilmu sekular ada empat  dimensi utama dalam diri manusia yang senantiasa dikemukakan: Rasa (affective), kemauan (volitional), jasmani (corporeal), dan pengetahuan  (cognitive).   Psikolog Ernest Hilgard (1980), misalnya, sambil focus pada bidang spesialisasinya, bahwa sejak 2 (dua) abad lampau  dan mungkin juga sudah lebih awal dari itu, ilmuwan telah menjelaskan tentang psyche manusia dalam terminology    “trilogy of mind” : cognition, affection, and volition (p. 107). (Bdk. Manning, P. R., dalam Journal of Catholic Education / April 2014, hal. 80).

Thomas Aquinas (dan Pandangan Yudeo-Christian Abad ke-13)

Analysis tentang ketiga kapasitas psikologis ini, yang lalu dilengkapi dengan pembahasan tentang badan/tubuh, juga dibicarakan dalam Summa Theologica dari Saint Thomas Aquinas (2008/1485), yang menggabungkan pemikiran Yudeo Kristiani pada abad ke-13. Diawali dengan satu seksi dalam   the Summa yang membahas tentang “Manusia/man,” Thomas menekankan sebagaimana dalam tradisi   Judeo-Christian bahwa manusia itu terbentuk dari sesuatu yang terdiri atas  jiwa  (soul) dan  badan (body)” (I.I, q.75, a.4, c.). Selanjutnya dia menjelaskan dalam Question 76, yang menganalisis jiwa ( soul) ke dalam  daya “intellectual” dan “appetitive”, dan lalu membedakan antara appetitive dengan appetites // sensitive appetites (mis., rasa duka dan afeksi) dan juga the intellectual appetite (i.e., kemauan). Hasil analysis ini bernilai sama untuk keempat dimensi kepribadian manusia tersebut,  yaitu the corporeal (body), cognitive (intellect), affective (passions), dan volitional (will). Dewasa ini, kita menemukan beberapa kategori itu terungkap dalam bahasa dan ajaran Gereja yang resmi. Misalnya, Catechism Gereja Katolik (USCCB, 2000. no. 362-8, 1704-5, 1731, 1763-6).

Menyimak Sabda Yesus     

Dalam bahasa Injil atau bahasa Jesus ditegaskan oleh penginjil Lukas sbb : “ Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”   (Luk. 2:52).

Oleh karena itu, kita senantiasa merujuk pada ayat Injil Lukas 2:52  ketika kita berbicara mengenai  pentingnya pelayanan yang  menyeluruh (holistic ministry). Memang mudah membayangkan bagaimana Yesus bertumbuh secara fisik, mendapat simpati dari banyak orang yang dijumpaiNya, dan bagaimana memahami kebanggan Allah Bapa akan seorang PuteraNya yang bertumbuh dalam kesetiaanNya tahun demi tahun ketika Dia berkembang dalam misiNya.

Namun, kita sering mengabaikan ungkapan kebijaksanaan itu. Apakah Yesus sungguh berkembang dalam kebijaksanaan? Apakah benar demikian? Bukan Dia sungguh Putera Allah, yang penuh dengan rahmat dan kebenaran? Hal ini sungguh menjadi pertanyaan teologis yang sungguh menantang. Sebagai Sabda Allah yang berinkarnasi, Yesus tentu memiliki pengetahuan khusus tentang diriNya dan tentang Allah melalui kesatuan hipostatis antara kodrat ilahi dan manusiawinya, yang sering dilukiskan sebagai pengetahuan yang terberkati  (blessed and infused knowledge).

Ada suatu consensus teologis bahwa Yesus itu sungguh memperoleh masukan-masukan (insights), pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) dan kebijaksaan (wisdom) sepanjang pertumbuhan kodrati manusiawiNya.   Hal itu dapat kita observasi dan refleksikan dari beberapa terminology perubahan/perkembangan yang digunakan oleh Penginjil Lukas mengenai diri Yesus seperti: seorang bayi   (ay. 2:16), anak kecil (ay. 2:40), anak (ay. 2:43), dan akhirnya dengan namaNya yang khusus dalam  Lukas  2:52. Dalam kemanusiaanNya, Yesus sungguh memperoleh pengetahuan dengan cara yang sama sebagaimana halnya semua manusia  memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, studi dan refleksi, dan kegiatan yang lain untuk menghasilkan kebijaksanaan.

Malah lebih tegas dan otoritatif adalah ungkapan Yesus dalam Lukas, 10:27, dimana dikatakanNya, “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu.”

Mateus 4, 23 juga mengisahkan bahwa Yesus mengajar dan menyembuhkan banyak orang. Tulis penginjil Mateus: “Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu”

Dan dalam Mat. 11, 29 ditegaskanNya lagi sebagai seorang guru yang lemah lembut dan rendah hati: “Pikullah kuk yang kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”.

Kekristenan kita sering juga dikritik sebagai yang irasional atau anti-intellectual, dan pelayanan pendidikan kaum muda ( youth ministry of teaching) pun juga demikian: terlalu merujuk pada teks-teks biblis (biblical proof-texts), dan mempersalahan kebudayaan sebagai yang terlalu konsumeristis, dan bukan sebagai komunitas atau umat Kristus.

Sebaliknya bila kita mau mengedepankan gambaran Allah dengan berbagai kisah penebusanNya ( God’s redemptive story), maka kita pun harus memahami secara lain tentang segenap kisah Allah dan umatNya itu. Terlalu sering dalam karya pelayanan kita bagi kaum muda (dan mahasiswa) atau  youth ministry of teaching, bisa saja membawa kesan terlampau berbau merajam kaum muda sehingga wajah Allah pun menjadi terlalu kejam bagi mereka  (= God is a cosmic youth abuser). Kita harus mampu berbuat lebih baik dan menampilkan wajah Allah dan wajah guru/dosen/pendidik yang ramah dan penuh semangat pelayanan.

Generasi Pendidik yang melayani (youth ministry of teaching)  dewasa ini memang harus bergulat dengan berbagai isu keadilan social,  tetapi jarang mendengar tentang pendidikan dan pengajaran tentang teologi  tentang keadilan atau ketidak-adilan social itu. Apakah keadilan social yang kita perjuangkan itu berbasis teologis atau berbasis filantropis atau atas basis lain?

Mungkin anda berpikir bahwa para pendidik yang melayani itu, “bercita-cita agar anak didiknya mengenal dan mencitai Yesus”. Mungkin benar demikian, tapi itu pun tak mutlak benar. Jika hanya demikian, apa artinya  teologi kemuridan (theology of discipleship)? Mengapa kita terus membiarkan aspek kemuridan itu menjadi yang opsional dalam proses formasi spiritual generasi muda (mahasiswa/siswa) kita? Apabila seseorang  berkomitmen pada iman yang baru sebagai seorang yang bertobat, apakah dia bisa menapak masuk ambang kemuridan?  Penginjil menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara menjadi seorang Kristen dan menjadi seorang murid Kristus . Oleh karena itu, Yesus  membangun sebuah komitmen yang sangat tinggi untuk para  pengikutNya dalam Yohanes bab 6.

Bagaimana mungkin bahwa pelayanan kita dan Gereja menjadi begitu konsumeristis? Saya tidak hanya melihat pada propaganda iklan dan pemasaran.   Saya lebih peduli dengan cara kita memperlakukan generasi muda sebagai konsumen dan menempatkan diri kita sebagai manajer distribusi.   Renungkanlah hal ini sejenak dengan membandingkan aspek-aspek pelayanan kita dengan meminta para siswa/mahasiswa mengambil, menerima apa yang kita berikan mereka; daripada melihat aspek2 pelayanan kita yang menuntut para siswa memberi kontribusi, mencipta, bertanya  dan sibuk berpikir tentang isu pengembangan diri kita sendiri  entah sebagai minister  (baik iman, pastor/pendeta maupun awam). Apakah ada masalah disini sehingga perlu belajar agar menjadi lebih bijak dalam membuat keputusan dalam pelayanan kita?

Saya yakin bahwa kita telah menjadi begitu sibuk dengan pelayanan kita sebagai guru/dosen sehingga jarang kita bertanya mengapa kita melakukan hal ini. Hanya dengan bertanya maka kita bisa mencari kebijaksanaan dengan studi formal dan  informal (pelatihan) tentang berbagai topic berhubungan dengan teologi dan pelayanan kita itu.

Saya   mengusulkan bahwa setiap orang hendaknya belajar dan memperoleh gelar (S2 dan S3) bila mau sukses dan setia dalam pandangan hidup dan pelayanan bagi generasi muda yang lebih holistik. Ikutilah suatu kursus. Baca banyak teologi. Bicaralah dengan orang yang berpedidikan baik. Berusahalah menjadi lebih professional dalam tugasmu dan anda akan melayani dengan lebih baik. Jika Yesus sendiri bertumbuh kembang dalam kebijaksanaan yang mencakup keempat dimensi itu, mengapa kita tak mau mengajar dan belajar ke arah itu?

Daftar Pustaka:

Manning, P. R. (2014). Forming the Whole Disciple: A Guide to Crafting a Truly Holistic Catholic Religious Education: A Journal of Inquiry and Practice, 17 (2). Retrieved from http://digitalcommons.lmu.edu/ce/vol17/iss2/5

US Conference of Catholic Bishops [USCCB], 2008 dan USCCB, 2000. no. 362-8, 1704-5, 1731, 1763-6  dalam Journal of Catholic Education, Vol. 17, No. 2, April 2014, hal.. 77-94.

[1] Doktor Philipus Tule SVD adalah Rektor Universitas Katolik (Unika) Widya Mandira, Kupang, NTT. Artikel ini  dipresentasikan pada kegiatan Workshop bertemakan Whole Person Education Program, yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Artha Wacana  pada hari Jumat, 5 Oktober 2018 di Ruang O, Lt.2, Gedung Rektorat UNKRIS Artha Wacana, Kupang, NTT dalam kerjasama dengan United Board of Christian Higher Education in Asia (UBCHEA).