Apakah Setiap Orang Memilih ‘Nilai’ yang Ingin Dihidupinya?
Oleh: Tedi Lesmana M.
Socrates memilih nilai reflektif yang ingin dihidupinya, sebagian orang memilih nilai instrumentalistik, yang lainnya memilih nilai pragmatisme, sebagian yang lain memilih idealisme, lain lagi memilih esensialisme, atau oportunisme.
Masih banyak macam-macam nilai yang dilakukan oleh manusia dan lalu digolongkan menurut sifatnya. Setiap pilihan tidak perlu dimaknai dalam perspektif moralitas; namun sekedar dimaknai akibatnya atas pilihan nilai-nilai tadi. Maksudnya kita tidak perlu menghakimi (judgmental) terhadap suatu nilai sebab setiap orang dengan latar belakang situasi dan kondisi tentunya memiliki kecondongan untuk memilih nilai yang ingin dihidupinya.
Tentu seiring perjalanan waktu dalam kurun waktu hidup seseorang beberapa mengalami perubahan nilai dalam hidup; atau bahkan menjalani beberapa nilai. Ini seperti tegangan antara “Apakah eksistensi kita adalah ketika menjalani suatu nilai, atau apakah kita menciptakan nilai kita sendiri?” Ini bukan sekedar modus mengada dari ‘Being’ tetapi apakah eksistensi kesadaran manusia adalah ontologi nilai?
Tetapi tanpa kita sadari, seringkali nilai yang dijalani bukanlah suatu pilihan bebas. Dalam banyak hal, nilai hidup yang dijalani adalah pengkondisian dari struktur masyarakat. Pada struktur modern masyarakat kapitalisme, nilai pragmatisme, instrumentalisme, dan oportunisme lebih dominan dan selaras dengan mesin-mesin proses industri barang dan jasa. Tegangan antara nilai pribadi dan nilai struktur dapat saja terjadi atau malah diabaikan.
Manusia modern, adalah manusia yang terhimpit di antara banyak pertempuran nilai. Sebagian menyadarinya, lainnya tidak. Bagi Socrates, kesadaran akan nilai yang dihidupinya (refleksi diri) menentukan apakah hidup seseorang layak dijalani atau tidak; atau sekedar embun pagi yang datang sebentar di dunia lalu hilang ketika sinar matahari menerpanya.
Apakah hidup perlu dipertanyakan pada ‘menjalaninya’ atau ‘memaknainya’? Sebagian terlalu lelah menjalaninya dan tidak merasa perlu memaknainya; sebagian lain sibuk memaknainya dan lupa menjalaninya. Ketika kita dapat menyelaraskan antara ‘menjalani’ dan ‘memaknainya’ itu seperti ‘menghidupinya’. Mungkin pertanyaannya sebelum kematian tubuh apakah ada kehidupan jiwa? Jangan-jangan sebelum tubuh habis umurnya, jiwanya sudah lama tidak ada.