Existophony: Saat Bicara Jadi Bukti Ada

 Oleh: Cicilia Damayanti

 Dunia hari ini berubah menjadi existophony (LW)

Existophony (existence + cacophony) bukan sekadar kebisingan bunyi, melainkan gema batin dari zaman yang takut dilupakan. Setiap suara, unggahan, dan reaksi menjadi cara baru untuk memastikan diri masih ada, diingat, dianggap bagian dari dunia. Di tengah arus itu, diam menjadi bahasa yang paling sulit dipelajari. Setiap detik, ruang digital berdenyut dengan kebutuhan untuk memastikan bahwa keberadaan masih terdaftar di mata dunia. Mungkin bukan tentang ingin didengar, tetapi tentang ketakutan dilupakan. Maka setiap klik, setiap kata, setiap jeda pun diisi—seakan-akan keheningan adalah kesalahan yang harus segera diperbaiki.

Namun anehnya, tak seorang pun mengaku haus akan perhatian. Semua hanya ingin “berbagi,” katanya. Padahal yang dibagikan sering kali bukan isi, melainkan gema dari keinginan untuk tetap terasa hidup. Dunia maya pun menjadi semacam altar modern tempat kehadiran dipersembahkan secara rutin—dengan pengikut sebagai saksi, dan algoritma sebagai dewa kecil yang harus terus disenangkan.

Dari sana tumbuh satu bentuk limbah yang paling tak terdeteksi: digital waste—sisa-sisa eksistensi yang tercecer di ruang maya. Bukan sekadar tumpukan data atau unggahan tanpa makna, tetapi endapan dari kecemasan untuk tetap diingat. Setiap status, komentar, dan gambar menjadi serpihan kecil dari ketakutan akan lenyapnya perhatian. Dalam ritme yang terus berlari, manusia menimbun dirinya di balik layar, menciptakan museum kehadiran yang bising namun kosong. Kebisingan itu tak lagi datang dari luar, melainkan dari dalam: dari layar yang tak pernah padam, dari jempol yang tak mengenal jeda, dari rasa gentar bahwa diam berarti hilang. Semua yang dibagikan, dikirim, dan ditanggapi menumpuk menjadi residu eksistensial—limbah sunyi dari generasi yang tak sanggup berhenti.

Kepekaan pun perlahan pudar. Manusia menjadi makhluk yang pandai berbicara, tetapi kehilangan kemampuan mendengar. Pandai menatap layar, tapi gagal melihat. Dalam arus yang terus bergerak, kesadaran untuk berhenti justru dianggap kelemahan. Sementara keberanian yang sesungguhnya—yakni berdiam dan mendengarkan—dianggap kuno, bahkan tak relevan.

Martha Nussbaum, dalam Cultivating Humanity (1997), mengingatkan bahwa menjadi manusia berarti melatih diri untuk keluar dari pusat kenyamanan dan melihat dunia melalui mata yang lain. Kemanusiaan sejati bukan soal kecerdasan berpikir, melainkan kemampuan merasakan penderitaan, memahami keberagaman, dan mengakui bahwa dunia tidak berputar di poros tunggal bernama “aku.” Manusia yang beradab adalah yang sanggup menguji pandangan sendiri tanpa takut kehilangan identitas, yang berani mengakui bahwa mendengar adalah bagian dari berpikir, dan bahwa diam pun dapat menjadi bentuk tertinggi dari keberanian moral.

Namun siapa yang masih sempat keluar dari dirinya, jika dunia telah dijadikan pusat itu sendiri? Siapa yang masih mau mendengar, jika sunyi dianggap kehilangan sinyal?

Di tengah dunia yang menuntut keterpaparan, hak asasi manusia barangkali menemukan bentuk baru: hak untuk menjaga jarak dari kebisingan. Hak untuk tidak selalu hadir, memilih jeda, untuk diam tanpa kehilangan makna. Karena kemanusiaan tidak hanya tumbuh dari kebebasan berbicara, tetapi juga dari kemampuan untuk menahan diri, mendengarkan, dan memberi ruang bagi yang lain. Tidak semua yang sunyi berarti absen; kadang, justru di situlah manusia benar-benar ada.

Kita terlalu sibuk ingin didengar hingga lupa belajar mendengar. Barangkali menjadi manusia hari ini bukan tentang siapa yang paling tampak, tetapi siapa yang tahu kapan harus berhenti.

Cicilia Damayanti