Amukti Palapa Dalam Perspektif Sosio-Religius

Oleh: Agung Setiawan, S.Hum

Akhirnya pada tahun 1258 Saka (1336 M), Gajah Mada diangkat menjadi patih mangkubumi Kerajaan Majapahit dengan misi menaklukan pulau-pulau diantara yang ada di sisi terluar Jawa atau  dikenal sebagai Nusantara dari Tanjung Pura (Malaysia), Palembang, Aceh, Tumasik (Singapura), pulau Seram hingga Seran di utara Australia. Walaupun sudah diangkat dan bergelimang fasilitas serta kemudahan duniawi, Patih Gajah Mada bersumpah untuk menolak itu semua atau tidak ingin amukthi palapa (menikmati kesenangan duniawi) sebelum tugas kenegaraannya rampung. Sumpah yang dikenal sebagai sumpah Palapa ini merefleksikan etika deontologis sang Patih yang menggantungkan kehidupannya pada prinsip keharusan tanggung jawab untuk berperilaku sesuai kepatuhan pada aturan dan kewajiban moral. Sebuah sikap untuk memiliki komitmen dan integritas sejati tanpa melihat imbalan dan seberapa besar keuntungan yang bisa dinikmati secara pribadi. Pelajaran terkait kode etik kenegaraan yang bisa kita ambil contohnya dari Gajah Mada yang hidup dalam atmosfer toleransi kerajaan hindu-buddha terbesar di dunia. Praktek asketisme yang lazim dipraktekkan oleh para pemuka agama dimanifestasikan oleh Gajah Mada dalam upaya persatuan wilayah dan stabilitas politik melampaui kemewahan pribadi.

Pengangkatan pejabat publik dalam masa jabatan tertentu melalui perspektif ini diumpamakan sebagai pelunasan hutang dan janji pada rakyat dan negara. Selama proses tersebut berhasil terselesaikan maka setiap wakil rakyat dan negara mesti amukhti palapa. Nampaknya sekarang dalam kontur sosial para politisialita (politisi sosialita), fenomena korupsi dan flexing menjadi antithesis dari amukthi palapa tersebut. Pengawasan terhadap perilaku merugikan rakyat dan negara tersebut dilakukan melalui kesadaran pribadi terutama pada perilaku asketis maupun zuhud oleh pejabat publik seperti Patih Gajah Mada. Sedangkan pada era sekarang justru sebaliknya, pengawasan dilakukan oleh negara bagi rakyat yang terindikasi menyinggung muruwah negara dan bisa diproses tanpa mediasi menyebabkan kontrol penuh negara pada ruang publik sekaligus ruang privat individu warga negara. Ironisnya, proses peradilan tersebut tanpa transparansi dan introspeksi yang harus terlebih dahulu dilakukan oleh pemangku kebijakan. Proses kewajiban menempa pribadi bergeser dari ketaatan kontrol diri menjadi kontrol sosial yang menghegemoni.

Dalam dimensi religius, praktek menahan diri untuk mencapai kesadaran penuh dalam menjalin kehidupan harmonis dengan sesama dan semesta merupakan pelajaran yang bisa kita ambil contohnya langsung dari para figur penting dari tiap agama. Mengambil contoh dari Nabi Muhammad SAW, bagaimana seorang pemimpin agama sekaligus pemimpin negara dengan kecerdasan ekonomi, politik serta militer yang mumpuni berhasil mewujudkan kesejahteraan umatnya hanya dalam tempo kurang dari satu dekade tanpa pernah sekalipun amukhti palapa bahkan selama hidupnya. Praktek latihan diri ini diamalkan oleh para sahabat dan penerusnya sebagai bagian dari integritas diri baik secara sosial maupun religius. Meredam arogansi dengan membentengi diri dari amukthi palapa sekaligus membentengi diri dari serangan dari luar dan dalam berupa rasa haus kekuasaan. Terutama dengan disahkannya piagam madinah jauh sebelum magna carta tentang kesetaraan di mata hukum, sistem sosial madinah sudah mempraktekkan kebebasan, toleransi dan transparansi bagi setiap kebijakan dan simpul hubungan sosial lintas agama dan lintas suku bangsa. Sebuah komitmen politis untuk tidak melanggar kehidupan harmonis yang dicita-citakan bukan dengan penaklukan, pemaksaan hingga kontrol sosial namun dari kontrol diri penuh yang dipraktekkan oleh sosok seorang pemimpin.

Hidup secara sosial adalah hidup secara koeksisten dalam toleransi dan penuh empati. Pengalaman inti religius seorang pribadi dimulai dari kesadaran hidup bersama ini dengan adanya keniscayaan perbedaan-perbedaan. Amukthi palapa dianggap dapat mengalihkan fokus sosial menjadi hanya fokus pada pemenuhan keinginan pribadi yang tiada habisnya sehingga menghilangkan sensitivitas sosial terhadap penderitaan dan kesulitan sesama. Banyak pembawa agama yang juga pada akhirnya memilih hidup sangat sederhana dan meninggalkan amukhti palapa demi mencapai kesadaran atas kebenaran realitas sesungguhnya seperti Sidharta Gautama yang tadinya merupakan pangeran dari kerajaan Kapilawastu yang bergelimang kemewahan duniawi. Dalam perspektif religius ini, kesenangan dan kemewahan duniawi bukan objek kejahatan ataupun sebuah kesalahan, namun justru terletak pada nafsu dan dorongan untuk menguasai sepihak kesenangan tersebut lah yang bisa mengotori batin untuk melihat penderitaan dan kesulitan sesama jika tidak dilatih dan dibiasakan, terutama untuk para pemuka agama dan pemangku kebijakan supaya menjadi teladan.

Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum