Membakar Mahkota Cenderawasih

Oleh: Pian Janampa – NIM : 2802591346

Hari ini masyarakat Papua dan pengguna media sosial di seluruh Papua dihebohkan dengan tindakan salah satu dinas pemerintah yang mengumpulkan dan membakar mahkota Cenderawasih. Mahkota-mahkota tersebut terbuat dari bulu burung Cenderawasih, dan beberapa burung endemik Papua. Burung Cenderawasih sendiri dikenal sebagai Bird of Paradise.

Alasan pemerintah melakukan pembakaran ini adalah untuk membatasi perburuan liar dan perdagangan bulu Cenderawasih, yang dianggap mengancam kelestarian spesiesnya. Namun, tindakan itu justru memicu perdebatan dan kemarahan masyarakat Papua dan saya juga secara pribadi tidak setuju dan mengutuk keras tindak tersebut , dan sudah pasti untuk masyarakat adat Papua. Karena mahkota Cenderawasih bukan sekadar hiasan, tapi simbol kehormatan, identitas, dan kebanggaan.

Dalam tradisi masyarakat Papua, mahkota Cenderawasih memiliki nilai adat yang sangat tinggi. Mahkota ini dipakai oleh kepala suku, tokoh adat, atau diberikan kepada tamu terhormat sebagai tanda penghormatan dan kebanggaan.

Jadi, bulu Cenderawasih yang telah dijadikan mahkota bukan lagi sekadar bagian dari hewan, tetapi telah berubah menjadi simbol nilai budaya dan identitas. Membakar mahkota seperti itu bagi banyak orang Papua bukan hanya membakar benda, tetapi melukai simbol kehormatan dan jati diri kami.

Banyak negara di dunia berhasil melestarikan hewan langka mereka sambil tetap mempertahankan penggunaannya secara simbolik atau budaya.  Contohnya :

  1. Amerika Serikat – Bulu elang (bald eagle feathers) digunakan dalam upacara adat suku-suku Indian, tapi hanya boleh dipakai oleh anggota suku yang memiliki izin khusus. Pemerintah menyediakan bulu elang dari program konservasi, bukan dari perburuan liar.
  2. Selandia Baru – Bulu burung kiwi dan huia (sebelum punah) dulu digunakan oleh suku Māori dalam ritual adat. Kini, penggunaannya hanya melalui izin adat dan hasil konservasi.
  3. Kanada – Suku First Nations tetap memakai bulu elang dan hewan endemik lain dalam acara spiritual, tetapi diatur ketat agar tidak merugikan populasi hewan tersebut.
  4. Samoa & Hawaii – Bulu burung tropis dipakai untuk mahkota raja dan tarian adat, tapi bahan diambil dari bulu burung yang sudah rontok atau dari program konservasi yang berizin.
  5. PNG penggunaan dibolehkan hanya untuk orang-khusus/adat” itu dalam konteks adat/tradisi, ada peningkatan perhatian konservasi karena dampak tradisi terhadap populasi spesies tertentu (contoh: penggunaan bulu Pesquet’s Parrot di PNG).

Namun mereka tidak pernah melakukan pembakaran terhadap aksesoris adat tersebut. Artinya, pelestarian dan penghormatan budaya bisa berjalan berdampingan, asal ada pendekatan yang bijak dan regulasi yang adil.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa daerah yang juga menggunakan bagian tubuh hewan endemik dalam simbol adat, tapi kini mulai diarahkan agar tidak merusak populasi hewan. Di Kalimantan Suku Dayak memakai bulu enggang dalam hiasan kepala. Kini, banyak komunitas yang beralih menggunakan replika bulu sintetis atau bulu hasil konservasi.

Jadi, pelestarian satwa dan penghormatan budaya tidak harus saling meniadakan, tapi harus disinergikan dengan kebijakan yang menghargai kedua sisi. Pemerintah harus sadar dan jangan mabuk bahwa melihat permasalahan sosial dan ekonomi di Papua.

Ini merupakan dampak nyata dari stereotip dan kebijakan diskriminatif. Stereotip yang menilai masyarakat Papua tanpa memahami konteks budayanya telah memecah persaudaraan, menciptakan perasaan saling curiga, dan menyalakan konflik horizontal di antara orang asli Papua sendiri.

Ketika pemerintah melarang perburuan dan kemudian membakar hasil karya mereka, muncul pertanyaan besar: “Lalu, dari mana mereka akan hidup?” Inilah inti persoalan. Pelarangan tanpa solusi ekonomi alternatif hanya akan menimbulkan kekecewaan dan ketegangan sosial.

Saya pernah di tawarkan oleh seorang  Bapak yang menjual burung cenderawasih yang sudah di awetkan dengan alasan menjual karena anaknya mau wisuda. Kemudian ada juga yang menjual karena anaknya mau tes Polisi, tes masuk TNI,  tapi tidak punya uang untuk biaya tiket dan biaya lain lain.

Kalau sudah seperti ini, saya harus bagaimana? Membakar mahkota bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah pendekatan manusiawi, edukatif, dan berkelanjutan.

Pendekatan Budaya dan Sosialisasi Langsung

Pemerintah perlu datang ke masyarakat, berdialog dengan tokoh adat dan kepala suku, menjelaskan pentingnya pelestarian Cenderawasih, dan menyepakati batas-batas penggunaannya.

Legalitas Adat Terbatas

Beri izin adat khusus agar bulu atau mahkota hanya dipakai untuk upacara adat atau oleh tokoh tertentu bukan untuk diperjualbelikan bebas.

Pendekatan Edukasi dan Media

Gunakan media sosial, sekolah, dan gereja lokal untuk menyampaikan pesan bahwa menjaga Cenderawasih berarti menjaga simbol Papua itu sendiri.

Membakar mahkota mungkin dimaksudkan sebagai simbol pelestarian, tetapi tanpa memahami konteks budaya dan ekonomi, tindakan itu justru bisa menjadi luka baru bagi masyarakat Papua.

Burung Cenderawasih adalah simbol kebanggaan “roh keindahan dari Tanah Papua.” Namun, mahkota Cenderawasih juga adalah simbol martabat manusia Papua.

Oleh karena itu, pelestarian hewan endemik dan penghormatan budaya, unsur ekonomi harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

Yustinus Suhardi Ruman