Stoikisme VS Flexing : Tentang Tenang dalam Dunia yang Bising
Oleh: Ahmad Khusyairi
Di era digital, hidup seolah berubah menjadi panggung besar. Menjadi tempat setiap manusia berlomba menampilkan siapa yang paling bahagia, paling sukses dan paling kaya. Setiap hari kita disuguhi pencapaian orang lain, mereka memperlihatkan mobil baru, liburan mewah bahkan, pakaian mahal. Fenomena ini dikenal budaya flexing, yaitu budaya di mana kebahagiaan seolah harus disajikan lewat media dan mencari pengakuan publik. Namun, ditengah kebisingan ini, ada satu ajaran kuno yang justru mengajarkan hal sebaliknya : Stoikisme.
Stoikisme berkembang di Yunani pada abad ke-3 SM. Ajaran Stoikisme menjadi dikenal luas berkat pemikiran tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Mereka mengajarkan satu hal penting : “ Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli, dimiliki, atau dicari di luar diri. Ia lahir ketika kita berhenti diperbudak oleh keinginan dan mulai berkuasa atas diri sendiri”. Bagi para Stoik, pujian dan pengakuan orang lain tidak bisa menjadi dasar ketenangan hidup. Kita hanya bisa mengendalikan pikiran, tindakan, dan emosi kita sendiri. Kita tidak perlu terlalu berfokus terhadap sesuatu yang di luar kendali kita, seperti opini manusia dan status sosial.
Sebaliknya, budaya flexing tumbuh dari hausnya manusia akan pengakuan. Manusia yang sering pamer cenderung menilai dirinya berdasarkan penilaian orang lain. Padahal seneca pernah berkata : “ Bukan orang yang punya paling banyak yang kaya, tapi orang yang paling sedikit membutuhkan”. Flexing mungkin memberi rasa bangga sesaat, tapi Stoikisme menginatkan bahwa itu bukan kebahagiaan sejati, melainkan bentuk ketergantungan pada hal-hal yang rapuh.
Menariknya, Stoikisme tidak melarang pencapaian atau kemewahan. Yang ditekankan adalah cara batin seseorang memandang dan menyikapi hal itu. Kita boleh punya banyak kesenangan duniawi, asalkan semua itu tidak menguasai dirimu. Ketenangan bukan soal miskin atau kaya, tapi soal menguasai diri di tengah segala kondisi.
Di dunia yang semakin bising dengan pencitraan diri, yang paling keren bukan lagi yang paling kaya atau atau paling terkenal. Tetapi, yang paling tenang. Stoikisme mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati adalah mampu berkata : “ Aku tidak perlu menjadi terbaik di mata siapa pun, yang penting aku terus menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Di balik semua kebisingan, yang paling bernilai tetaplah ketenangan pikiran.