Pahlawan dan Penjahat: Soal Perspektif?

Oleh: Markus Kurniawan

Dalam setiap kisah, baik itu dalam sejarah maupun fiksi, kita selalu menjumpai dua tokoh utama: pahlawan dan penjahat. Pahlawan digambarkan sebagai pembela kebenaran, sementara penjahat dilukiskan sebagai pengganggu ketenteraman. Namun, jika dicermati lebih dalam, batas antara keduanya sering kali kabur. Apa yang kita sebut “pahlawan” bisa saja dianggap “penjahat” oleh pihak lain, dan sebaliknya. Dengan kata lain, pahlawan dan penjahat hanyalah persoalan perspektif.

Friedrich Nietzsche pernah mengatakan, “Es gibt keine Tatsachen, nur Interpretationen” (“Tidak ada fakta, hanya interpretasi”). Pandangan ini menolong kita memahami bahwa label pahlawan maupun penjahat lahir dari cara suatu kelompok menafsirkan realitas. Sejarah penuh dengan kisah di mana pahlawan di satu pihak dianggap pengkhianat di pihak lain. Tokoh seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol kita hormati sebagai pejuang nasional, namun bagi kolonial Belanda mereka hanyalah pemberontak yang mengganggu ketertiban (Peter Carey: 2019). Howard Zinn, sejarawan Amerika, juga menegaskan bahwa “You can’t be neutral on a moving train”—artinya, setiap narasi sejarah selalu berpihak, sehingga siapa yang disebut pahlawan atau penjahat amat bergantung pada siapa yang menulis cerita (Howard Zinn:1994).

Fenomena ini tidak hanya terjadi di masa lalu. Aktivis lingkungan yang menentang perusakan hutan bisa dipuja sebagai pahlawan oleh masyarakat adat, tetapi dicap kriminal oleh perusahaan dan aparat negara. Pertanyaan pun muncul: siapa yang berhak menentukan standar kepahlawanan? Apakah kekuasaan, mayoritas, atau hati nurani? Daftar ini dapat di perpanjang: Robin Hood, Si Jampang, Si Pitung, bahkan seorang pencopet di pasar pun dapat dilihat dari dua perspektif ini.

Dalam dunia fiksi, narasi ini juga tampak jelas. Tokoh antagonis seperti Thanos dalam Avengers: Infinity War (2018) atau Killmonger dalam Black Panther (2018) tidak semata-mata digerakkan oleh kebencian buta. Mereka memiliki visi tentang keadilan—meskipun cara mencapainya penuh kekerasan. Dari perspektif mereka sendiri, mereka bukanlah penjahat, melainkan pejuang yang rela berkorban demi “kebaikan” versi mereka. Sebaliknya, para superhero sering dipuji meski tindakan mereka juga menimbulkan kehancuran besar.

Pandangan bahwa pahlawan dan penjahat adalah persoalan perspektif bukan berarti kita meniadakan moralitas. Justru, ini menuntut kita untuk lebih kritis. Tulisan ini juga tidak bermaksud mengecilkan arti kepahlawanan. Tulisan ini bermaksud mrngingatkan bahwa kita perlu menguji apakah seseorang benar-benar memperjuangkan kebenaran, atau hanya menyamarkan kepentingan kelompok tertentu dengan narasi kepahlawanan. Pada akhirnya, menjadi manusia yang adil adalah berani menembus batas perspektif itu sendiri. Kita belajar untuk tidak mudah terjebak dalam dikotomi hitam-putih, melainkan melihat kompleksitas di baliknya. Sebab, sebagaimana diingatkan Nietzsche, interpretasi selalu menentukan bagaimana kita membaca dunia. Dan di tengah tumpang tindih narasi kepahlawanan, mungkin kepahlawanan sejati justru ada pada keberanian untuk bersikap kritis sekaligus berbelas kasih. Selamat Hari Pahlawan.

Markus Kurniawan