Pahlawan yang Tak Tercatat dalam Monumen: Patriotisme Perempuan di Perkebunan Sawit
Oleh: Cicilia Damayanti
Hari Pahlawan mengajak kita menghargai mereka yang mengangkat tanah air dari reruntuhan penjajahan, namun makna kepahlawanan harus melampaui pertempuran fisik; kepahlawanan bisa juga ditemukan dalam butir peluh, tangisan, dan tawa di kebun sawit. Martha Nussbaum dalam Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013) pernah mengingatkan bahwa patriotisme memiliki wajah ganda layaknya Janus face: kekuatan yang mampu mempersatukan, namun juga berpotensi berubah menjadi semangat sempit yang membutakan dari penderitaan sesama manusia.
Dalam mitologi Romawi, Janus adalah dewa berwajah dua: satu wajah menatap masa lalu, satu wajah lainnya menghadap masa depan. Simbol itu menegaskan bahwa patriotisme yang hakiki bukan saja merayakan sejarah, tetapi juga memperhatikan keadilan hari ini, martabat sesama manusia yang sering berada di pinggiran.
Salah satu kisah nyata yang mengoyak kesunyian itu adalah Sumarni, 35 tahun, dari Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Seusai memasak dan mengantar anaknya ke sekolah, Sumarni menuju kebun sawit bersama suaminya. Pekerja harian lepas seperti dirinya harus bekerja dengan beban ganda: menjaga rumah tangga, mengurus anak, sekaligus memenuhi target panen yang berat. (kompas.id)
Ada juga “Saraswati” (nama diganti), buruh sawit perempuan di Kabupaten Sarolangun, Jambi, yang mengalami keguguran. (regional.kompas.com) Kondisi kerjanya memperlihatkan betapa regulasi belum menyentuh dengan efektif: paparan bahan kimia, suhu ekstrem, jam kerja panjang, target hasil yang terus-menerus meningkat tanpa perlindungan memadai. (regional.kompas.com)
Situasi lain: buruh perempuan yang hamil besar tetap bekerja, hingga mendekati hari melahirkan, karena status mereka sebagai buruh harian lepas membuat mereka tak memiliki hak cuti. Bahkan dalam kasus di Kubu Raya, seorang wanita melahirkan di areal kebun sawit dalam perjalanan pulang. (spn.or.id)
Upah yang mereka terima sering jauh dari layak. Berdasarkan hasil studi, lebih dari 90 persen buruh perempuan di kebun sawit menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara fasilitas alat pelindung kerja, jaminan kesehatan, keselamatan kerja, juga proteksi hukum atas kehamilan dan cuti haid hampir selalu lemah atau sama sekali tidak ada. (regional.kompas.com)
Di sinilah kita diuji: apakah nasionalisme yang dibanggakan hanya milik mereka yang namanya tertulis di prasasti, atau juga mereka yang tiap hari menanggung beban struktural agar roda ekonomi terus berputar? Jika patriotisme bermakna, komitmen terhadap cinta tanah air tak boleh memudar ketika menyangkut martabat manusia—termasuk Sumarni, Saraswati, dan ribuan perempuan buruh sawit lainnya.
Hari Pahlawan tidak boleh berhenti pada upacara dan tabur bunga di makam pahlawan nasional. Hari tersebut justru menuntut keberanian moral untuk menatap wajah bangsa sendiri: wajah buruh perempuan sawit yang berkeringat, terluka, bahkan kehilangan nyawa, namun jasanya diperlakukan seolah tak berarti. Jika patriotisme hanya berputar pada slogan kosong dan perayaan simbolik, maka bangsa ini sedang menatap dengan wajah Janus yang salah arah—bangga pada masa lalu, tapi menutup mata pada ketidakadilan hari ini.
Kepahlawanan yang sejati lahir bukan dari gegap gempita pertempuran, melainkan dari keberanian melawan sistem yang menindas dan menghapus martabat manusia. Sumarni, Saraswati, dan ribuan perempuan sawit lainnya adalah pahlawan yang tak tercatat dalam buku pelajaran, tetapi mereka tetap berdiri di garis depan kehidupan bangsa. Tugas kita bukan lagi sekadar memberi penghormatan, tetapi memperjuangkan pengakuan, perlindungan, dan keadilan yang nyata bagi mereka.
Jika Hari Pahlawan benar-benar ingin dimaknai, maka keberanian generasi sekarang harus diwujudkan dengan gebrakan baru: menolak nasionalisme yang sempit, meruntuhkan pembangunan yang hanya menghitung angka, dan menegakkan patriotisme yang berpihak pada manusia. Tanpa itu semua, kita tidak sedang merayakan pahlawan—kita sedang mengkhianati mereka.