Imajinasi Kolektif dan Kebebasan: Refleksi Sumpah Pemuda
Oleh: Cicilia Damyanti
Hari Sumpah Pemuda selalu mengingatkan kita pada satu hal penting: keberanian untuk melampaui batas yang seolah sudah ditentukan. Dalam novel The Solitaire Mystery, Jostein Gaarder menggambarkan hidup seperti setumpuk kartu yang sudah tertata. Setiap kartu punya peran dan identitas, seakan tak bisa keluar dari aturan permainan. Tapi ada satu kartu istimewa, si Joker, yang menolak tunduk pada pola. Ia hadir sebagai simbol kebebasan dan kemungkinan tanpa batas (Gaarder, 1990).
Joker dalam novel ini berbeda dengan yang ada di film Batman. Dia bukan sekadar pengacau, melainkan sebagai lambang daya cipta, keberanian, dan imajinasi. Tokoh ini mengingatkan kita bahwa manusia bisa berkata, “aku tidak hanya bagian dari aturan lama, aku juga bisa menciptakan jalan baru.” Pemikiran ini selaras dengan buku Martha Nussbaum Political Emotions: Why Love Matters for Justice. Menurutnya, masyarakat yang adil hanya bisa bertahan kalau ada ikatan emosional yang kuat di antara warganya—rasa cinta, empati, dan solidaritas yang membuat orang mau melampaui kepentingan diri sendiri (Nussbaum, 2013).
Semangat itu nyata dalam Sumpah Pemuda 1928. Para pemuda waktu itu menolak sekadar menjadi “kartu-kartu” yang dipecah belah kolonialisme—Jawa, Sumatera, Maluku, Kalimantan, dan lainnya. Lewat peristiwa ini, mereka berani menata ulang permainan: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Dalam kacamata Nussbaum, inilah contoh bagaimana emosi publik bekerja: cinta pada tanah air, solidaritas antarwilayah, dan imajinasi kolektif yang mempersatukan mereka, meski kemerdekaan masih jauh dari nyata.
Sumpah Pemuda bukan sekadar catatan sejarah. Peristiwa ini adalah keberanian generasi muda menantang batas untuk menulis ulang nasib bangsanya. Karena itu, berbicara tentang takdir menjadi sangat relevan. Takdir sering dianggap sudah selesai. Padahal sejarah membuktikan, takdir bisa diubah. Menurut Gaarder, takdir mirip kembang kol: tumbuh dengan pola berulang, tapi selalu bercabang, menyisakan kemungkinan. Hidup memang punya kerangka, namun selalu memberi ruang bagi manusia untuk memilih jalan. Di situlah keberanian menemukan arti. Peristiwa dalam hidup manusia bisa ditulis ulang. Nasib suatu bangsa bisa diubah. Pemuda 1928 telah membuktikannya: masa depan bukanlah warisan pasif, melainkan sesuatu yang ditulis ulang sehingga menjadi lebih baik.
Hari ini, tantangan hadir dalam wajah baru—ketidakadilan digital, krisis iklim, politik tanpa arah moral. Generasi muda mudah tergoda untuk diam, merasa kecil, menjadi penonton. Tetapi sejarah memanggil kita untuk lebih. Novel ini mengingatkan: jangan sampai kita jadi “Joker” yang hanya menonton dunia terbakar. Kebebasan sejati lahir dari keberanian memikul tanggung jawab. Sumpah Pemuda menegaskan: identitas tak pernah beku, masa depan tak pernah final. Peristiwa ini lahir dari tekad untuk menyatukan keragaman, merawat solidaritas, dan membayangkan horizon baru. Sejarah telah membuktikan: masa depan bukanlah sesuatu yang diwarisi begitu saja, melainkan sesuatu yang dapat diciptakan bersama.