Masih Ada Orang Baik

Oleh: Linda Mutiara Lumban Tobing

Malam itu, rasa panik mendadak menyerang saat rumah terasa kosong tanpa kehadiran ponsel yang selalu setia di genggaman. Hati saya berdebar kencang, menelusuri setiap sudut rumah, berharap keajaiban kecil. Tapi nihil. Pikiran saya melayang, memutar kembali jejak hari, “Apakah jatuh di ruang kampus? Atau mungkin tergelincir saat masuk ke mobil?” Kegelisahan itu semakin menusuk.

Dalam kekalutan, saya menoleh pada Anita, adik kos yang selalu bisa diandalkan. “Temani aku ke kampus, ya,” ucap saya dengan nada tercekat. Tanpa ragu, Anita mengangguk, dan kami pun melaju, menembus dinginnya malam Semarang. Jalanan terasa begitu panjang, setiap tikungan dipenuhi harapan tipis.

Sesampainya di kampus, kami langsung menuju pos satpam. “Pak, apakah ada ponsel yang ditemukan di ruang atau sekitar sini?” tanya saya dengan cemas. Jawaban satpam terasa seperti pukulan telak, “Tidak ada, Mbak.” Dunia saya seakan runtuh. Namun, saya tidak menyerah. Bersama Anita, kami menyisir area parkiran yang gelap gulita, hanya bermodalkan cahaya senter dari ponselnya. Di bawah kerlap-kerlip lampu jalan yang remang, kami menggeledah setiap celah, setiap sudut, berharap menemukan kilasan benda pipih itu. Tapi, hasilnya tetap sama: nihil.

Kaki saya lemas, keputusasaan merayap pelan. Dalam keheningan malam, saya terdiam sejenak. “Tuhan,” bisik saya dalam hati, “siapapun yang menemukan ponsel saya, biarlah hatinya tergerak untuk mengembalikannya.” Sebuah doa sederhana yang tulus, mengalir dari lubuk hati yang paling dalam.

Keajaiban itu datang dari cara yang tak terduga. Dengan sinyal yang hampir mati dan baterai tersisa 3%, Anita mencoba menghubungi ponsel saya. Awalnya, ia menekan nomor WA, tapi tak ada jawaban. Dengan inisiatif yang luar biasa, ia mencoba menelepon dengan panggilan biasa. Detik-detik itu terasa begitu lambat. Dan kemudian, sebuah mukjizat kecil terjadi: panggilan itu diangkat. Di ujung sana, terdengar suara seorang bapak yang ramah, “Ponselnya jatuh di POJ City Semarang.”

Rasa lega itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bapak itu meminta kami bertemu di Jalan Pemuda. Kami pun kembali melaju, dengan bahan bakar yang hanya tersisa satu garis, dan dompet yang tertinggal karena saya terlalu panik. “Tuhan, cukupkan bensin ini hingga kami bisa bertemu bapak itu,” doa saya lagi, menggenggam erat keyakinan.

Saat kami tiba, baterai ponsel Anita sudah kritis, hanya menyisakan 1%. Di sana, berdiri seorang bapak dengan senyum tulus. Ia menyerahkan ponsel saya, seolah benda itu adalah miliknya yang ia titipkan. Hati saya dipenuhi haru. Saya menyalami tangannya, “Terima kasih banyak, Pak.” Ia hanya tersenyum, sebuah senyum yang terasa lebih berharga dari apapun. “Tuhan memberkati bapak,” gumam saya dalam hati.

Dengan ponsel kembali di tangan, kami segera mencari SPBU. Berkat teknologi, saya bisa membayar dengan QRIS. Dalam perjalanan pulang, saya terdiam sejenak, merenungi semua kejadian. Saya menunduk, air mata haru mengalir. “Terima kasih, Tuhan,” bisik saya lirih, “Kau menjawab setiap doaku. Kau hadir dalam kebaikan orang lain. Semua ini adalah bukti nyata dari kasih-Mu.”

Kisah ini bukan hanya tentang ponsel yang hilang dan kembali, tapi juga tentang kekuatan doa, kebaikan hati orang asing, dan sebuah perjalanan kecil yang dipenuhi mukjizat. Semua hal itu mengingatkan kita bahwa harapan tak pernah benar-benar hilang, bahkan di saat paling gelap sekalipun.

Linda Mutiara Lumban Tobing