Ketoprak di Ujung Ingatan
Oleh: Darnell Jackson
Waktu kecil, aku dan Raka selalu duduk di bangku plastik warna biru di pojok warung ketoprak pak Samin. Meja kayunya sedikit goyang, sambalnya yang tidak terlalu pedas, tapi kacangnya kental dan harum.
Kami selalu memesan di warung ini, lalu akan mengobrol tentang sesuatu yang lucu sampai tertawa terbahak-bahak.
Raka selalu makan cepat, suapan besarnya membuat mulut penuh sambil bercerita tentang berbagai hal seperti pertandingan bola, maupun candaan yang akan dia akan lakukan besok.
Raka selalu memanggilku “Bro.”
Mungkin karena kaos pilihanku yang kebesaran, celanaku selalu robek di lutut, dan oh—rambutku, yang selalu dipotong pendek agar tidak terlihat feminin kata ibu.
Namun, Tak pernah sekali ia pun curiga, bahwa aku ini bukan teman laki-lakinya, melainkan anak perempuan yang lebih suka Power Ranger ketimbang boneka.
Sampai suatu sore, Raka tiba-tiba berkata,
“Besok aku pindah. Pekerjaan Ayah dan ibuku dipindah ke luar kota.”
Aku menatapnya, menunggu ia tertawa seperti biasa. Tapi ia tidak. Hanya tatapan yang mencoba menyembunyikan sedih.
Ketoprak kami hari itu terasa hambar, semua rasa yang terdapat dalam sambalnya seperti tak punya rasa lagi.
Keesokan paginya, ia benar-benar pergi. Warung ketoprak itu tetap buka, tapi bangku biru di pojok jadi kosong.
Hari-hari berikutnya, aku tetap lewat di depan warung itu, berharap keajaiban membuat Raka duduk di sana lagi. Tapi itu tidak terjadi.
Musim terus berjalan. Aku tumbuh, sekolah, lalu mulai kerja sambilan.
Entah sejak kapan, aku berhenti mampir ke warung ketoprak itu. Bukan karena rasanya yang berubah, tapi karena tempat itu terlalu penuh kenangan yang tidak bisa aku ulang.
Waktu mengikis banyak hal—cara tertawaku, cara berpakaianku, cara aku bertingkah ke orang, bahkan rasa hangat di dada ketika mengingat namanya.
Sampai suatu malam, ponselku bergetar. Nomor tak dikenal.
“Ini aku Raka.”
Jantungku berhenti sepersekian detik. Suaranya sedikit berbeda, tapi entah kenapa, aku tahu itu dia. Dia bilang dia akan pulang ke kota ini, dan ingin bertemu.
Aku terdiam. Dada ini seperti diikat dengan benang halus yang makin kencang. Karena aku bukan lagi “Bro” yang ia kenal.
Baju kebesaran itu sudah berganti dengan blus putih, rambutku ini panjang, tergerai, dan setiap orang yang memandang tak lagi keliru menyebutku “mbak”.
Aku takut. Takut melihat matanya yang mungkin kebingungan, takut mendengar ia berkata, “Lohh, kamu cewek??” Atau lebih buruk, takut ia tak lagi menganggapku sebagai teman yang dulu ia kenal.
Kami janjian di tempat yang anehnya sama persis seperti dulu, warung ketoprak Pak Samin.
Saat aku datang, bangku biru itu masih ada, meski catnya sudah pudar. Dan di sana, duduk seseorang yang sudah memesan ketoprak yang dulu kita pernah pesan.
Postur tubuh yang lebih tinggi dari aku, ototnya yang terlihat lewat kaos yang ia pakai, dan wajahnya yang lebih dewasa namun memiliki hawa yang sama seperti dahulu kala.
Aku menghampiri mejanya, ia sempat terdiam. Sejenak, aku kira ia tak mengenali. Lalu ia tersenyum,
“Oalah…. Aku kira kamu cuman cewek yang ingin minta nomorku… Hahaha…. ayok sini duduk.”
Ia mengajakku duduk disampangnya sambil memesan ketoprak ke abangnya.
Kami berbincang di bawah langit sore, mengenang lomba kecil-kecilan dan betapa dulu aku selalu kalah tapi pura-pura marah agar dia mentraktir es lilin.
Angin membawa aroma yang kukira akan hilang, dan rasa hangat yang tak ada hubungannya dengan ketoprak ini.
Saat semua makanan sudah habis, Raka mengajakku jalan keliling kota di larut malam ini. Aku dengan senang hati menerima ajakannya.
Lampu kota berpendar seperti bintang jatuh ke bumi, aroma makanan malam mengalir di udara, membawa pulang kenangan yang pernah terselip di antara tawa dan diam kita.
Aku memberanikan diri.
“Raka…” panggilku, membuatnya berhenti jalan.
Ia menoleh, sedikit heran. Tanganku dingin, tapi suara hatiku tak bisa lagi ditahan.
“Dulu…. aku nggak pernah berani bilang. Tapi sekarang, aku mau jujur. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi….. karena…. Aku suka sama kamu. Dari dulu.”
Keheningan menyelimutiku, hanya suara dedaunan yang berjatuhan.
Raka menatapku, lalu tersenyum-senyum yang menenangkan sekaligus membuat lututku lemas.
“Jadi bukan cuma aku yang bodoh, ya? Dari dulu aku juga merasakan hal yang sama…. cuman nggak pernah yakin….. maaf ya.”
Setelah mendengar balasannya, kaki melemah hingga membuatku hampir jatuh. Lalu Raka dengan sigap menariknya mendekat, membiarkan aku bersandar di dadanya.
Hangat tubuhnya dan detak jantung yang teratur membuatku merasa aman.
Tawa kecil pun pecah. Dan entah kenapa, ketoprak yang kami makan terasa jauh lebih manis dari yang pernah aku ingat.