Kho Ping Hoo dan AI
Oleh: Markus Kurniawan
Asmaraman Sukowati, publik mengenalnya dengan nama Kho Ping Hoo adalah seorang penulis cerita silat berlatar Tiongkok jaman kerajaan. Penulis yang lahir pada 17 Agustus 1926 di Sragen, Jawa Tengah dan wafat pada 22 Februari 1994 di Solo sangat fasih dalam menggambarkan dan menuturkan ceritanya. Saya ingat kala kecil, orang tua melarang membaca karya-karyanya dengan alasan nanti bisa ketagihan! Larangan yang justru membuat saya semakin menggebu membaca, tentu secara sembunyi-sembunyi. Entah berapa banyak judul yang sudah saya baca. Penggambaran latar belakang cerita, alur cerita, tokoh-tokohnya hingga penamaan jurus-jurus silat yang ada dalam karya-karya Kho Ping Hoo mengesankan kalau ia pernah tinggal dan menguasai bahasa Tiongkok. Apalagi dia merupakan seorang keturunan Tionghoa-Jawa. Dugaan itu salah. Kho Ping Hoo tidak pernah menginjakkan kaki ke tanah leluhurnya bahkan tidak bisa sama sekali berbahasa China. Lantas bagaimana ia dapat melakukan semua itu? Dari banyak membaca, itupun dari literatur berbahasa Belanda, Inggris dan Indonesia dan tentunya menggunakan imajinasi. Secara sederhana, imajinasi adalah kemampuan mental untuk membayangkan sesuatu yang tidak tampak secara langsung (bisa berupa bayangan situasi, solusi kreatif, atau visualisasi masa depan). Imajinasi didasarkan pada kenyataan, pengalaman, pengetahuan, logika serta kesadaran manusia. Adanya imajinasilah yang membedakan manusia dari hewan.
Para filsuf sudah sejak lama membahas tentang imajinasi. Filsuf-filsuf modern dan ilmuwan memberikan kerangka pemahaman yang mendalam tentang imajinasi. Gaston Bachelard menyebut bahwa imajinasi adalah bagian dari keberadaan manusia, bukan sekadar keadaan mental: “Imagination is itself immanent in the real. It is not a state. It is human existence itself.” (On Poetic Imagination and Reverie :1969). Dalam buku yang sama ia juga menggambarkan imajinasi itu seperti sebuah pohon yang menjembatani bumi dan langit, akarnya tertanam padat namun cabangnya menjulang menciptakan kosmos sendiri.
Sementara itu, Jean-Paul Sartre dalam karya The Imaginary (1948) menjelaskan bahwa imajinasi bukanlah persepsi dalam bentuk lain, melainkan proses kesadaran yang sepenuhnya mengekspresikan kebebasan kita. Imajinasi memungkinkan kita membayangkan sesuatu yang tidak ada dan melalui itu, kita memproyeksi nilai dan kemungkinan baru ke dalam dunia. Seorang fisikawan besar abad 20, Albert Einstein pernah berkata bahwa imajinasi lebih penting dari pengetahuan, “Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world…” (Cosmic Religion, 1931, h 97). Dalam pendidikan, imajinasi membantu siswa tidak hanya menghafal data, tapi juga mencipta solusi baru untuk masalah yang belum pernah mereka temui. Dalam sastra dan seni, imajinasi membuat kita bisa membayangkan perasaan orang lain. Martha Nussbaum menyebut ini sebagai “narrative imagination” — kemampuan membayangkan kehidupan orang lain seakan-akan kita mengalaminya sendiri (Cultivating Humanity, 1997, h 85).
Dalam konteks Kho Ping Hoo, walau ia tidak pernah ke Tiongkok, ia mengembangkan imajinasinya untuk hadir disana. Ia menciptakan Tiongkok imajinatif dalam kesadaran batinnya.. Proses ini selaras dengan gagasan Sartre, bahwa imajinasi adalah kemerdekaan ontologis. Ia mengembangkan daya imajinatifnya dengan bebas. Ketika pria kelahiran Sragen itu hidup,belum ada AI (Artificial Intelligence/Akal Imitasi). Membuat tulisanpun masih menggunakan mesin ketik. Imajinasi ditambah berbagai sumber yang harus dibaca dan dipelajari menjadi dasar kreativitasnya dalam menulis. Jamannya hidup bahkan belum mengenal komputer, jaman semi primitif dalam perspektif saat ini.
Kehadiran AI mempermudah banyak pekerjaan manusia, termasuk dalam hal tulis menulis. Mau bikin cerita pendek, cerita bersambung, cerita cinta sekalipun bisa dikerjakannya. Ia bisa mengolah milyaran data, meniru gaya bahasa, menciptakan berbagai narasi romantik sekalipun tidak akan pernah merasakan cinta yang sebenarnya. Itu karena ia hidup dan “berkarya” berdasarkan data, algoritma dan probabilitas bukan imajinasi yang merupakan bentuk kesadaran khas manusia. Ia tidak bisa merasakan empati sekalipun bisa menulis tema tersebut dengan sangat bagus. AI bisa membuat cerita silat seperti yang dilakukan Kho Ping Hoo tapi bukan berdasarkan imajinasi. Bagi yang terbiasa membaca karya-karya bermutu akan dapat merasakan bedanya antara karya manusia dengan asisten virtual ini.
Namun seorang Kho Ping Hoo merangkai Tiongkok lewat bacaan, pendengaran cerita, dan imajinasi batin, lalu membangun dunia silat yang hidup dengan berbagai konflik, nuansa budaya, dan nilai moral. Itu adalah imajinasi yang dialami, bukan sekadar direkayasa berdasarkan algoritma oleh mesin yang terus belajar dan dilatih. Imajinasi itu penting dikembangkan, termasuk dikalangan mahasiswa dan dosen. Kemajuan dunia yang hari ini kita nikmati itu dulunya merupakan kumpulan imajinasi para pembuatnya. Imajinasi adalah penentu masa depan manusia, tanpa itu tidak ada masa depan. Asisten Virtual jelas membantu tapi imajinasi kita tetap harus selalu dipertajam agar tidak dikendalikan sang asisten.