Menunggu Ditemukan

Oleh: Markus Kurniawan

Dalam bidang sastra dan filsafat ada dua nama besar yang mendapat tempat di hati para penggemarnya, yaitu: Emily Dickinson (1830-1886) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860) dengan karya besarnya berjudul The World as Will and Representation (1818). Saya hanya memilih dua saja dari beberapa tokoh besar yang di masa hidup tulisan-tulisannya tidak banyak dibaca karena berbagai alasan. Tulisan ini saya buat berdasarkan kegelisahan atas pertanyaan pribadi: Apakah ada yang membaca tulisan-tulisan saya?

Berdasarkan itulah saya mencari informasi mengenai penulis-penulis besar yang berpengaruh tapi pada masa hidupnya mengalami penolakan atas tulisan-tulisannya. Saya mendapatkan beberapa nama tapi hanya mencantumkan dua saja. Saya sendiri tidak pernah bermimpi menjadi penulis karena tidak punya bakat menulis, menjadi pembaca saja cukuplah. Untuk mengobati kerisauan tersebut saya kembali melihat pada catatan-catatan waktu kuliah dulu di bidang filsafat. Saya pernah menulis mengenai tokoh ini. Tulisan ini hanya sharing saja.

Umberto Eco (1932-2016), seorang semiolog dari Italia bernasib jauh lebih baik dari kedua penulis diatas. Dia sudah menjadi terkenal karena tulisan-tulisannya dimasa hidupnya. Ia mengatakan dalam The Role of the Reader “A text is a lazy machine that demands the reader to do part of its work.” (Bloomington: Indiana University Press, 1979). Teks itu ibarat mesin yang belum sempurna, ia mesin yang malas: ia perlu pembaca agar bisa berfungsi penuh. Kalau tidak ada yang membacanya hari ini, bukan berarti mesin itu rusak; mungkin ia hanya menunggu teknisi yang tepat di masa depan. Dalam The Open Work (1962) ia menegaskan bahwa sebuah teks itu sekaligus tertutup dan terbuka. Teks tertutup karena memiliki struktur yang menjaga keutuhannya dan teks itu bersifat terbuka karena menyediakan kemungkinan tidak terbatas bagi tafsir pembaca. Pembaca memiliki peran untuk “menyempurnakan teks itu” dengan cara menafsirkan.

Tapi apakah pembaca bisa seenaknya saja menafsirkan? Atau apakah teks pada dirinya sendiri tidak memiliki kemampuan “mempertahankan dirinya”? Seperti tadi sudah disinggung sedikit bahwa teks memiliki sifat tertutup, Eco berpendapat tentang intentio operis—yakni maksud teks itu sendiri. Dalam Interpretation and Overinterpretation (1992), Eco menulis: “Interpretation must not disregard the intention of the text, which is not the author’s psychological intent, nor the reader’s arbitrary intent, but the semantic trajectory that the text itself lays down.” Tafsir yang sah tidak semata menebak keinginan penulis atau mengikuti kehendak bebas pembaca, melainkan menghormati makna yang ditawarkan teks itu sendiri. Teks memiliki strukturnya yang khas, teks tetap hidup dalam dirinya sendiri.

Kegelisahan penulis yang merasa tidak dibaca, jika diletakkan dalam perspektif Eco, bisa dipahami sebagai paradoks. Penulis memang ingin segera “bertemu” dengan pembacanya, ingin segera tulisannya dibaca dan diberikan komentar tetapi teks punya ‘jalan hidupnya sendiri’. Sekalipun seorang penulis merasa tidak ada yang membaca karyanya hari ini, teks yang di hasilkan tetap memelihara kemungkinan hidupnya. Barangkali pembacanya memang belum lahir, atau mungkin masyarakat belum siap, atau selera zaman belum berjodoh dengan teks yang ada. Mungkin perlu waktu bertahun-tahun, bahkan abad. Dengan kata lain, karya yang hari ini sepi pembaca, sebenarnya masih menyimpan potensi. Ia tetap ada sebagai bentuk yang lengkap, hanya menunggu saat ketika pembaca yang tepat hadir untuk menghidupkannya. Sejarah memberi banyak contoh penulis yang hampir tak dikenal semasa hidup, tetapi setelah wafat justru menemukan “jodohnya”.

Teks menunggu ditemukan pembacanya. Bagi penulis yang gelisah, menyadari hal ini bisa menjadi penghiburan. Tugas seorang penulis bukanlah memastikan berapa banyak orang membaca tulisan itu dan memberi tanggapan melainkan menulis dengan hati dan konsisten, meninggalkan struktur termasuk isi yang dapat berdiri tegak di hadapan waktu. Teks ibarat benih yang ditanam. Ada yang segera tumbuh, ada pula yang menunggu musim yang lebih tepat. Tetapi benih itu tidak pernah sia-sia, karena tanah sejarah tidak dapat ditebak, ia selalu penuh kejutan. Dengan demikian, kegelisahan penulis bukanlah tanda kegagalan, melainkan bagian dari perjalanan panjang sebuah teks. Sebuah teks tidak mati hanya karena pembacanya belum datang. Ia tetap ada, menunggu, dan suatu hari mungkin bangkit untuk menyapa generasi yang lain. Sebagaimana Eco telah ajarkan, teks adalah organisme yang terbuka, yang hidup dari dialog tidak terduga antara penulis, pembaca, dan waktu. Tanpa pembaca, memang, teks terasa hening. Tetapi sang professor percaya: hening bukanlah kematian, melainkan semacam tidur panjang. Saya berterimakasih pada professor Eco yang sudah memberikan pencerahan. La ringrazio, Professore Eco.

Markus Kurniawan