Mengenal Tradisi Fraterna Correctio

Oleh: Arcadius Benawa

Dalam Injil Matius 18: 15-20 disampaikan pesan Yesus tentang pentingnya menegur sesama. “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.

Semangat yang mendasarinya bukan benci, tapi justru kasih. Dalam Imamat 19:17 tertulis:

“Janganlah membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu”.

Harus kita akui bahwa hal menegor sesama itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Pasalnya, kebanyakan orang tidak mau menerima tegoran, apalagi dalam banyak kesempatan banyak tegoran diberi dengan cara yang tidak bijaksana. Misalnya, disampaikan langsung di muka umum atau dalam kepanasan hati dan dengan kata-kata yang terlalu kasar, tajam, menusuk hati.

Maka Yesus mengajarkan agar tegoran itu disampaikan berjenjang, dimulai dari pendekatan empat mata! Intensinya jelas, yakni supaya jangan sampai tegoran itu mempermalukan yang bersangkutan. Oleh karena itu, bila kita menegor seseorang, janganlah intensinya untuk “memukul”; niat yang wajar dan sehat ialah demi untuk mendapatkan kembali saudara kita, laksana seekor domba yang sesat agar bisa kita dapatkan kembali. Supaya tegoran yang kita ucapkan kepada saudara kita yang berbuat salah itu dapat menjadi pertolongan baginya. Untuk itu, Tuhan Yesus secara khusus berbicara mengenai sikap terhadap saudara yang berdosa dengan prosedur tahapan yang harus diambil yakni: Mulai dari Pembicaraan pribadi; bila tak mempan baru perlu dilakukan Pembicaraan di depan saksi; dan bila ini pun tidak berhasil barulah persoalan dibawa dalam Pembicaraan di depan Jemaat.

Pendekatan pribadi pada orang yang bersalah itu menjadi yang utama dan pertama. Jika hal itu tidak berhasil, sekalipun sudah diperingatkan melalui pembicaraan pribadi, barulah masuk pada tahap yang ke-2 agar yang bersalah itu memperoleh penegasan akan kesalahannya. Pasalnya, keikut-sertaan dua atau tiga orang lain itu akan terasa lebih kuat daripada tegoran yang diucapkan oleh satu orang saja. Harapannya, dengan dua atau tiga orang itu pembicaraan akan menjadi lebih matang dan lengkap, tidak karena sentimen atau kesan subyektif semata. Apabila berhasil, kita akan memperoleh orang itu sebagai sahabat dan memulihkan hubungan orang tersebut dengan Tuhan dan dengan sesama orang beriman. Hal tersebut sesuai dengan intensi pokok kita menegor, yakni untuk mengajak saudara kita yang berdosa kembali ke dalam komunitas. Namun, apabila dengan adanya dua atau tiga saksi pun masih tidak berhasil, terpaksalah kita masuk pada tahap yang ke-3, langkah yang drastis yaitu ‘pengucilan’. Dari pengucilan ini barangkali dimaksudkan untuk membuat kejutan atau shock therapi bagi yang berdosa supaya mengadakan rekonsiliasi. “Sampaikanlah soalnya kepada jemaat” (ayat 17). Jika pihak yang bersalah tetap tidak mau mengakui kesalahannya (dan dosanya cukup parah sehingga mempengaruhi jemaat). Gereja harus ikut campur menangani masalah tersebut. Ketidak-sediaan untuk mematuhi nasihat Gereja menjadikan orang yang bersalah tadi harus dianggap sebagai orang yang tidak beriman (“tidak mengenal Allah, pemungut cukai”).

Sekali lagi, intensi menegor di dalam tradisi Gereja itu bukan dalam rangka menghakimi, karena Yesus sendiri sudah mengingatkan para murid-Nya agar tidak saling menghakimi supaya kita pun tidak dihakimi. Intensinya juga bukan untuk menjatuhkan, karena Yesus pun tidak menghendaki murid-murid-Nya menjadi batu sandungan yang bikin orang lain jatuh.

Dalam rangka melestarikan amanah Yesus untuk saling menegor itu pula di dalam Gereja, khususnya di komunitas kaum berjubah di dalam gereja Katolik diadakan tradisi fraterna correctio. Istilah fraterna correctio itu sendiri berasal dari bahasa Latin. Fraterna dari kata “Frater” yang berarti saudara. Dan “Correctio” yang berarti koreksi, menjadikan korek dalam arti agar tidak lagi salah. Jadi, secara harafiah fraterna correctio dapat diartikan sebagai kegiatan untuk memberikan koreksi atau jalan menuju yang benar ketika menemukan saudaranya berada di jalan yang salah.

Praktik fraterna correctio itu dapat dilakukan secara lisan dengan wawan hati person to person; atau bisa juga secara tulisan dengan masing-masing memberikan masukannya kepada saudaranya agar dapat lebih bisa tumbuh dan berkembang dengan lebih baik dan fruitful (berbuah baik/positif).

Secara lisan dapat dilakukan dengan pertemuan empat mata, dua hati. Satu sama lain memberikan masukan apa yang masih harus diperbaiki pada diri saudaranya. Akan lebih baik tentunya juga dengan memberikan saran perbaikannya dan setelahnya saling meneguhkan dengan ucapan terima kasih yang dikemas dalam praktik saling mendoakan agar satu sama lain dapat semakin tumbuh dan berkembang.

Bila secara tulisan intinya sama bahwa dalam komunitas itu setiap anggota diwajibkan memberikan masukan kepada saudaranya di dalam komunitas itu dengan memberikan aspek yang masih perlu diperbaiki dan diharapkan juga sekaligus memberikan saran perbaikannya. Namun bila tidak memberikan juga tidak masalah agar yang bersangkutan lebih berefleksi untuk menemukan jalan perbaikan dirinya.

Fraterna correcito ini walau umumnya dipraktikkan di komunitas berjubah di dalam Gereja Katolik, tetapi tidak tertutup kemungkinan juga dipraktikkan di dalam keluarga, ataupun komunitas yang memiliki komitmen untuk maju bersama meraih cita-cita luhur.

Arcadius Benawa