Kembali pada Spiritualitas
Oleh: Markus Kurniawan
Di tengah gempuran modernitas, agama mengalami semacam “ilusi makna” ketika ia hanya tampil dalam rupa simbol, ritual, atau hukum semata dan tidak lagi membawa kedalaman pengalaman spiritual yang personal dan mengubah laku. Fenomena ini sering disebut sebagai agama tanpa spiritualitas: praktik keagamaan yang kering, formalistik, bahkan manipulatif. Secara praktis, mis: orang bisa rajin beribadah tapi pada saat yang sama rajin menipu, uang hasil kejahatan digunakan untuk mnyumbang pembangunan rumah ibadah, dsb. Orang beragama dengan tekun namun tidak berminat bertanya dengan kritis mengenai ajaran-ajaran dalam agama yang dianutnya. Ketaatan buta disamakan dengan kesalehan.
Dalam kelompok-kelompok fundamentalis agama sikap ini sering ditemukan. Itu yang menurut Richard J.White sebagai agama tanpa spiritualitas (Spirituality without Religion, 2018). White menyoroti fenomena “religious but not spiritual”: agama sebagai sistem dogma yang menuntut kepatuhan mutlak, namun tidak memberi ruang bagi pencarian makna atau pertumbuhan batin. Dalam banyak kasus, hal ini memunculkan bentuk keberagamaan yang kaku, sektarian, dan mudah dipolitisasi. Di negara kita politisasi agama ini marak ditemui kala adanya pesta demokrasi.
Dalam negara-negara yang menganggap agama sebagai sumber iman dan moralitas (termasuk Indonesia), agama sering digunakan sebagai simbol identitas baik secara personal maupun komunal sekaligus juga diperalat sebagai penjinak rakyat. Kritik tajam yang disampaikan oleh Karl Marx yang melihat agama sebagai pelarian dan alat penjinak rakyat, masih relevan kita lirik, “Religion is the sigh of the oppressed creature…It is the opium of the people.” (Critique of Hegel’s Philosophy of Right-1970, h 132). Bagi saya kritik ini sangat penting, Marx tidak menolak agama, tetapi mengecam agama yang difungsikan sebagai alat pembius sosial yang menutupi kenyataan struktural yang tidak adil dengan janji keselamatan metafisik (surga). Yang dikritiknya bukan agama an sich tapi sikap orang beragama yang manipulatif. Diri sendiri dan Tuhan dimanipulasi lewat ritual-ritual agama. Bagi Marx persoalannya bukan disitu kalau mau mengubah keadaan masyarakat. Struktur yang tidak adil itu yang harus dibenahi. Melarikan diri ke dunia metafisik tidak mengubah kenyataan.
Phil Zuckerman dalam Masyarakat Tanpa Tuhan (Society without God: What the Least Religious Nations Can Tell Us About Contentment-2020, h 33) menunjukkan bahwa masyarakat sekuler seperti Swedia dan Denmark tetap mampu mempertahankan moralitas sosial yang tinggi tanpa ketergantungan pada agama formal. Dalam negara-negara tersebut masyarakatnya tetap hidup bahagia. Agama, dalam konteks ini, bukan lagi sumber moral atau spiritual, melainkan sistem simbolik, agama merupakan bagian dari warisan budaya dan identitas masyarakat.
Peter Sloterdijk dalam You Must Change Your Life menyebut agama modern telah berubah menjadi sejenis “anthropotechnics”, teknik manusiawi yang digunakan untuk melatih ketahanan simbolik, bukan membangun kedalaman spiritual, “Religion has no consistency or substance…it is simple anthropotechnics.” (Sloterdijk, 2013, h 10). Ini mempertegas bahwa agama lebih merupakan sistem latihan sosial yang bersifat terbuka (public), bukan ruang kontemplasi rohani yang merupakan ranah pribadi (private). Menurut pandangan ini, agama melayani fungsi manajerial terhadap kecemasan manusia, kemarahan dsb tanpa menyentuh inti eksistensialnya.
Ketika agama kehilangan spiritualitasnya, ia menjadi alat kosong yang dapat digunakan untuk tujuan yang bukan merupakan tujuan asalinya. Politisasi agama, alat penekan untuk membentuk moralitas atau identitas kelompok adalah dua bentuk penyalahgunaan agama. Spiritualitas yang sejati tidak dapat dipaksakan melalui ritual atau dogma, melainkan tumbuh dari kesadaran eksistensial, empati, dan refleksi batin. Spiritualitas merupakan sebuah hubungan pribadi dengan “Yang Mutlak”. Dalam hubungan ini ada dinamika, ada proses yang terjadi terus menerus sepanjang hayat. Saya tidak mengajak kita menolak agama, tetapi memulihkan spiritualitas dalam agama yang merupakan identitas utamanya, agar ia kembali menjadi ruang pembebasan, bukan pembiusan. Agama akan menjadi candu bagi masyarakat jika masyarakat mengijinkannya apalagi jika berhasrat menikmati candu itu.