Kebangsawanan Akal dan Budi
Oleh: Markus Kurniawan
“Panggil saya Kartini saja, begitu nama saya.” demikian sepenggal isi surat Kartini kepada sahabatnya, Stella. Kala itu usia Kartini 20 tahun, ia menyadari dan merasa terganggu dengan statusnya sebagai bangsawan Jawa. Sebenarnya yang membuat Kartini tidak nyaman bukanlah gelar kebangsawanannya melainkan perlakuan orang-orang diseputarnya (masyarakat Jawa khususnya), yang di akibatkan gelar tersebut. Gelar bangsawan itu yang membuat orang-orang, bahkan yang lebih tua dari usia Kartini (termasuk ibunya sendiri) berjalan dengan berjongkok dihadapannya. Dengan alasan itulah ia meminta sahabatnya itu tidak menggunakan embel-embel gelar R.A, Raden Ajeng ketika bersurat kepadanya. Surat itu tertanggal 25 Mei 1899 ditujukan kepada Nona E.H.Zeehandelaar (Kumpuln surat-surat R.A.Kartini-Door Duisternis Tot Licht -Habis Gelap Terbitlah Terang). Siapa Stella? Estelle H.Zeehandelaar adalah seorang gadis Belanda keturunan Yahudi yang aktif dalam Gerakan sosial dan feminisme serta seorang sosialis (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, 235).
Bagi Kartini makna kebangsawanan bukanlah semata kuasa, “kebangsawanan menanggung kewajiban” tulisnya kepada Ny.M.C.E. Ovink Soer, pada awal tahun 1900 kala itu usianya 20 tahun. Seorang bangsawan wajib berperilaku sebagaimana gelarnya atau statusnya, yaitu mengayomi masyarakat bukan menggambil keuntungan dari masyarakatnya. Bangsawan memiliki tanggungjawab sosial. “Bagi saya hanya ada dua macam kebangsawanan (keningratan): kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan budi (perasaan/moralitas)” demikian tulisnya kepada Stella pada 18 Agustus 1899. Kebangsawanan atau keningratan bukan soal keturunan dan status sosial yang merupakan pemberian sejarah. Pikiran ini malampaui jamannya!
Bagaimana sekarang? Jaman kita sekarang hamper 150 tahun setelah Kartini, kondisi sosial masyarakat jauh berbeda. Pendidikan yang diimpikan Kartini sudah terwujud, emansipasi juga untuk sebagian besar sudah terjadi. Indonesia sudah tidak lagi dijajah. Indonesia sudah sangat maju dibanding jaman Kartini lahir dan dibesarkan.
Pada kenyataannya masih banyak ditemui pejabat, juga masyarakat biasa yang mengagung-agungkan gelar, bukan gelar kebangsawanan tapi akademis. Ada pejabat yang tanpa malu mencantumkan gelar mentereng padahal tidak sesuai dengan kenyataan, seakan memiliki ‘kebangsawanan jiwa’. Pencantuman gelar akademis seakan mengangkatnya menjadi seorang ‘bangsawan’ (yang berharap disanjung). Namun kenyataan yang sebenarnya berbeda dengan apa yang ditampilkan, sebuah hiperrealitas menurut Jean Baudrillard (1929-2007).
Dalam hiperrealitas, simbol atau representasi lebih nyata dari yang disimbolkan, mis: Disneyland. Menurut saya ketika ada orang yang menggunakan gelar tertentu tapi mutunya tidak seperti gelar yang dilekatkan padanya, maka itu sebuah hiperrealitas juga. Dalam bahasa rakyat kecil: tong kosong nyaring bunyinya, Harapan Kartini akan terjadinya keseimbangan antara kebangsawanan akal dengan budi masih harus diperjuangkan. Para ‘bangsawan’ masih bertahta disingasana pemerintahan sekalipun sudah 80 tahun bebas dari kolonialisme, tapi tidak dari semangat feodalistis. Dirgahayu Indonesia.