Dekat Tapi Tidak Melekat

Oleh: Markus Kurniawan

Martin Buber (1878-1965), dalam bukunya I and Thou (1923) berpendapat bahwa manusia memiliki dua relasi yang secara mendasar berbeda, yaitu: disatu pihak relasi dengan benda-benda dan di lain pihak relasi dengan sesama manusia dan Allah. Relasi manusia dengan benda disebutnya sebagai I-It (Aku-Itu) dan relasi yang kedua, yaitu relasi antara manusia dengan sesama maupun dengan Tuhan sebagai I-Thou (Aku-Engkau).

Relasi Aku-Itu (I-It) terjadi dalam dunia dimana saya menggunakan benda-benda, menyusun benda-benda, memperalat benda-benda. Dalam relasi ini semuanya diatur dalam kategori-kategori, seperti misalnya: milik dan penguasaan. Aku menguasai si benda, Aku memiliki si benda. Sedangkan, relasi I-Thou (Aku-Engkau) merupakan dunia dimana relasi yang terjalin adalah Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku, disini terjadi dialog yang sejati yang tidak menipulatif. Dalam relasi ini Aku tidak menggunakan atau memperalat Engkau namun  menjumpai Engkau. Jika dalam relasi I-It kategori milik dan penguasaan merupakan kategori yang dominan maka dalam relasi Aku-Engkau (I-Thou), yang khas adalah kategori perjumpaan, cinta dan kebebasan.

Sangat mungkin terjadi, dalam suatu relasi bahwa Engkau (Thou) diperlakukan sebagai Itu (It). Jika itu yang terjadi maka Engkau bagi Aku tidak lagi sesama manusia, melainkan suatu benda, objek yang dapat saya gunakan atau yang tidak boleh mengganggu kesenangan Ku. Dalam situasi seperti ini tidak akan tumbuh cinta, melainkan keterasingan. Ketika Aku memperlakukan Allah sebagai It, maka Aku sedang memperlakukan Allah sebagai benda, sebagai milik yang ku kuasai. Demikian juga ketika Aku memperlakukan sesama manusia sebagai It. Dihadapan Aku, Engkau hanyalah sebuah objek yang dapat dimanfaatkan, dimanipulasi, ditekan. Aku sesungguhnya tidak mencintai dan Engkau tidak bebas dihadapanku. Karena Engkau harus tunduk total kepada Aku. Aku dan Engkau saling terasing satu dengan yang lainnya

Relasi I-Thou (sesama manusia) mencapai puncaknya dalam relasi Aku dengan Allah sebagai Engkau Yang Abadi dan absolut. Allah merupakan Thou yang tidak mungkin dijadikan sebagai It (benda), Allah bukanlah sebuah objek diantara lautan objek lainnya. Dengan demikian reifikasi hanya terjadi dalam hubungan manusia dengan benda dan manusia dengan sesamanya. Manusia hanya dapat mengenal Allah dalam ketaatan dan iman.

Dalam teologi, tidak jarang Allah seakan-akan diperlakukan sebagai objek, contohnya, ketika kita mempergunakan atau memperlakukan nama Allah dengan sembarangan (Kel 20:7; Ul 5:11). Dalam ranah praktis, sebagai orang-orang yang beragama, kita merasa sudah menyembah Tuhan ketika melakukan ritual-ritual keagamaan, mis: doa, puasa, membaca ayat-ayat suci, dst. Pertanyaan mendasar adalah bagaimana relasi kita dengannya, relasi I-Thou atau I-It? Jangan-jangan Yang Maha Kuasa kita jadikan objek perintah semata. Demikian juga dalam relasi kita dengan orang-orang yang berada diseputar kehidupan kita, mis: pasangan, orang tua, anak-anak, para sahabat, dsb apakah mereka yang secara badani berada dekat,ternyata dijadikan objek atau benda yang dapat dipergunakan dan bersifat fungsional saja? Dekat tapi tidak melekat. Situasi pembendaan (reifikasi), bagi Buber tidak dapat dibenarkan. Mengapa? Sebab, Aku menjadi Aku karena adanya Engkau, Engkau hadir dihadapanku, dalam kehidupanku sebagai anugerah, rahmat. Dekat seharusnya juga melekat.

Markus Kurniawan