Carpe Diem

Oleh: Markus Kurniawan

Salah satu keinginan dalam diri manusia adalah keabadian (immortality). Dalam abad ke 21 manusia akan melakukan usaha yang serius dalam mencapainya.Perjuangan melawan usia tua dan kematian merupakan kelanjutan melawan kelaparan dan penyakit yang dilakukan oleh nenek moyang manusia, demikian menurut Yuval Noah Harari (Homo Deus, A Brief History of Tomorrow, 2016).

Gagasan mengenai keabadian bukanlah gagasan baru, namun tampaknya semakin didambakan. Para penulis buku dan sineas menuangkan dalam karya mereka. Salah satunya tayangan di Netflix berjudul The Old Guard yang dibintangi oleh Charlize Theron, aktris Hollywood asal Afrika Selatan yang sudah meraih berbagai penghargaan bergengsi seperti Academy Award dan Golden Globe Award.

Film yang diangkat dari novel grafis ini berkisah mengenai sekelompok manusia yang tidak bisa mati yang memandang dirinya memiliki misi untuk menyelamatkan dunia. Mereka sudah berusia ribuan tahun. Ini bukanlah satu-satunya film yang didasarkan pada kehendak akan keabadian, sebut saja film berjudul, Highlander (1986); Tuck Everlasnting (2002); Interview with the Vampire (1994), Ad Vitam (2018) dst. Mengapa manusia menghendaki keabadian? Apakah keabadian itu mendatangkan kebahagiaan? Tokoh-tokoh dalam karya para sineas diatas ternyata tidak selalu bahagia dalam keabadiannya. Kehidupan (kebahagiaan, makna) justru menjadi berharga karena ia tidak abadi.

Bayangkan kondisi ketika manusia tidak dapat sakit (kalaupun sakit sudah tersedia obatnya), teknologi sudah menjadi penolong yang menghindarkan manusia dari berbagai bahaya. Singkatnya segala hambatan dan tantangan yang mengancam kehidupan sudah dapat diatasi. Akankah manusia menjadi bahagia dan merasa barharga? Belum tentu!

Keabadian lebih berfokus pada waktu dalam pengertian kronologis atau kuantitatif. Dalam mitologi Yunani konsep waktu dibagi menjadi dua, yang diwakili oleh dewa, Kronos dan Kairos. Kronos mengacu pada waktu secara kuantitatif, sedangkan Kairos pada kualitatif, hal yang terjadi dalam kronos. Kairos (καιρός) adalah personifikasi waktu yang berkualitas, yaitu momen istimewa yang penuh kemungkinan dan harus dimanfaatkan saat itu juga.

Kalau Kronos adalah waktu yang terus berjalan (detik,menit,hari), maka Kairos mengacu pada kesempatan atau adalah momen. Manusia akan bahagia jika mengisi kronos-nya dengan hal yang berguna baik bagi dirinya maupun mahluk lainnya. Horatio, seorang penyair Romawi dalam karyanya Odes (23 SM) menulis sebuah ungkapan yang menjadi terkenal Carpe diem, “Tangkaplah/petiklah hari ini”. Selagi ada yang dinamakan ‘hari ini’ (kronos) maka manfaatkan/petiklah itu (kairos).

Dalam keseharian kita berkata, “Jangan sia-siakan waktu, gunakan kesempatan yang ada”. Mengisi waktu dengan pengampunan, dengan cinta kasih, dengan perhatian kepada sesama ciptaan, dengan kerja keras, dengan kualitas-kualitas moral yang baik maka itulah yang membawa kebahagiaan dan makna dalam kronos. Lengkapnya Horatio menulis, “Carpe diem, quam minimum credula postero, “ artinya: “Petiklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin pada hari esok.”. Biarlah hari esok dengan kisahnya tapi hari ini punya kisah sendiri yang mungkin harus kita selesaikan segera.

Markus Kurniawan