“Yang Tidak Berani, Tidak Menang”
Oleh: Markus Kurniawan
Kartini adalah seorang manusia biasa, bukan super women. Dalam perspektif yang lain, ia adalah seorang pemberontak yang bernasib tragis. Ia memberontak terhadap kekangan tradisi sekaligus mati dalam dekapan tradisi. Kartini mati muda, usianya baru 25 tahun (21 April 1879-17 September 1904), tapi tidak sia-sia. Pergulatan batin dan intelektualnya masih dapat dinikmati dalam surat-surat kepada para sahabat penanya. Surat-surat yang lebih berisi pergulatan batin ketimbang intelektual. Ia bukan seorang filsuf, bukan seorang teolog, bukan seorang ilmuwan, ia seorang biasa (sekalipun status sosialnya adalah bangsawan) yang merindukan kebebasan dan kemajuan bagi rakyat dan dirinya.
Ia menginspirasi banyak perempuan lainnya. Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Panggil Aku Kartini Saja (Lentera Dipantara,239-241) memberikan bukti. Kartini berbeda dengan kebanyakan perempuan pada jamannya bukan hanya di Hindia Belanda, namun juga di Eropa dan belahan dunia lainnya. Perbedaannya ada pada tekadnya yang membara untuk melakukan perubahan yang dimulai dari dirinya. Dalam surat-suratnya dapat kita baca. Pada waktu usianya 20 tahun, ia menulis kepada sahabatnya E.H.Zeehandelaar, “Saya tidak dapat adalah kata-kata yang mematahkan semangat. Saya mau! Akan mendorong kita ke puncak gunung” (Surat kepada E.H.Zeehandelaar, 12 Januari 1900). Pada surat yang ditulis sebelumnya Kartini menorehkan, “…yang tidak berani tidak menang adalah semboyan pribadi saya! Maju terus! Menerjang tanpa gentar dan dengan berani menangani semuanya! Orang-orang yang berani menguasai tiga perempat dunia” (E.H.Zeehandelaar, 6 Nov 1899).
Semangat untuk meraih kemajuan tidak pernah pudar dalam dirinya. Beberapa tahun kemudian ia tetap menulis, “Bermimpilah, bermimpilah kalau hal itu membuat kamu Bahagia, mengapa tidak?” (20 Mei 1901, E.H.Zeehandelaar ketika berusia 22 tahun). Kepada sahabat pena lainnya, Kartini menggugah, “Bermimpilah terus, bermimpilah selama kamu dapat bermimpi! Apa artinya hidup bila tanpa mimpi? Keadaan yang sesungguhnya sangat kejam” (28 Februari 1902, Ny.R.M.Abendanon-Mandri). Mimpi memelihara harapan dalam diri kita. Apakah hanya bermimpi? Tidak.
Kartini bukan hanya pemimpi. “Bermimpi memang menyenangkan. Mimpi itu indah, tetapi apa gunanya bila mimpi itu hanya mimpi saja? Mimpi haruslah dibuat lebih indah, lebihnikmat dengan berusaha mewujudkannya” (20 Agustus 1902). Demikian tulisnya kepada Ny.Nellie van Kol, Ketika ia berusia 23 tahun, dua tahun sebelum kematiannya. Ia berusaha keras mewujudkannya. Semangat yang membara seperti itulah yang harus ada dalam diri setiap insan jika mau mengalami kemajuan. Publius Vergilius Maro, seorang penyair jaman Romawi (70-19 SM) dalam karyanya Georgics (37-30 SM) menulis, Labor omnia vincit improbus-kerja keras/tekun (dapat) menaklukkan segalanya. Kita harus tetap punya semangat seperti itu, baik sebagai dosen maupun mahasiswa, singkatnya para binusian.