Cancel Culture dan Tanggung Jawab Primordial Levinas
Oleh: Stefanus Poto Elu, S.S., M.I.Kom
Cancel culture (budaya pembatalan) merupakan tindakan menolak, memboikot, bahkan mengucilkan seseorang karena dinilai bersalah atau melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku umum. Cancel culture bisa dilakukan secara pribadi maupun kolektif. Umumnya, cancel culture ini dialamatkan kepada figur publik atau idola karena yang bersangkutan telah melakukan tindakan amoral atau mengatakan sesuatu yang tidak pantas.
Dictionary.com mendefisikan cancel culture sebagai praktik populer dalam rangka melakukan pembatalan terhadap tokoh publik dan perusahaan-perusahaan setelah yang bersangkutan melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan atau menyinggung.
Dipta Ninggar Anjarini dalam risetnya berjudul “Cancel Culture in the Frame of Comparison of Indonesia and South Korea” menjelaskan bahwa budaya pembatalan di Indonesia umumnya terjadi melalui media sosial dalam bentuk komentar negatif, penyerangan terhadap pribadi, dan penyebaran petisi online. Dan budaya pembatalan tersebut dilakukan di media sosial yakni lewat tulisan di kolom komentar.
Di Indonesia, fenomena budaya pembatalan ini menjadi marak dilakukan seiring meningkatnya pengguna media sosial. Kehadiran berbagai platform media sosial saat ini membuka peluang bersa bagi banyak orang untuk menyatakan pendapat dan mengekspresikan diri melalui media sosial. Ruang virtual yang terbuka dan “uncontrol” tersebut tampak menjadi sarana yang tepat dan efektif untuk menumpahkan uneg-uneg, juga kekesalan kepada seseorang atau perusahaan yang melakukan kesalahan dan menyinggung “perasaan khalayak”.
Pertanyaannya adalah apakah perilaku cancel culture tersebut dilakukan atas dasar kesadaran pribadi untuk menyatakan pendapat atau sekedar ikut ambil bagian dalam “perasaan kolektif”? Selanjutnya, di mana batasan antara ungkapan tidak setuju dengan upaya mobilisasi untuk menjatuhkan atau mencela seseorang melalui media sosial?
Saya coba mendekati dua pertanyaan tersebut dangan merujuk pada filsafat etika Emmanuel Levinas. Filsuf Prancis ini menjelaskan bahwa dalam diri setiap orang sudah melekat tanggung jawab yang ia bawa secara alami. Franz-Magnis Suseno menjelaskan, tanggung jawab tersebut berbeda dengan tanggung jawab, katakanlah, orangtua terhadap anaknya. Atau, tanggung jawab mahasiswa untuk mengerjakan tugas kuliah. Atau tanggung jawab dosen untuk hadir di kelas tepat waktu.
Tanggung jawab yang dimaksud Levinas adalah tanggung jawab yang mendahului tindakan. Ia secara alami terdapat dalam diri setiap orang, yang padanya pertimbangan untuk mengambil keputusan berasal. Tanggung jawab ini adalah tanggung jawab primordial. Di sinilah basis etika Levinas. Bahwa keputusan seseorang untuk bertindak etis bukan karena sesuatu yang datang dari luar, namun berasal dari dalam diri. Dalam relasinya dengan Yang Lain (the Others), setiap tindakan merujuk pada tanggung jawab dan etika yang sudah ada dalam diri dan menjadi rujukan pengambilan keputusan.
Maka, berhadapan dengan budaya pembatalan (cancel culture) kesadaran masing-masing individu akan tanggung jawab etis yang sudah ada dalam diri itu harus jadi rujukan utama. Kesadaran ini mesti mendahului keputusan seseorang untuk menuliskan pendapatnya di kolom komentar media sosial. Kesadaran akan tanggung jawab etis tersebut hendaknya selalu jadi landasan sebelum mengambil tindakan, apa pun itu.
Dalam perspetif tanggung jawab primordial Levinas ini, dasar dari perasaan personal atau perasaan kolektif adalah tanggung jawab etis tiap individu. Dan tanggung jawab itu perlu disadari terus-menerus sepanjang waktu. Ia harus selalu menjadi rujukan sebelum keputusan untuk menuliskan pendapat di media sosial.
Dengan demikian, batasan antara tidak setuju dan upaya mobilisasi massa untuk menjatuhkan atau mencela seseorang terletak pada kesadaran akan tanggung jawab primordiak tiap orang untuk memperlakukan setiap orang secara etis. Artinya, setiap orang boleh mengungkapkan pendapat, megoreksi, dan mengkritik orang lain atau persuhaan tertentu yang melakukan kesalahan.
Namun, ia harus membatasi diri untuk tidak berkata sesuka hati atau bahkan mencela dengan kata-kata kasar kepada Yang Lain (the Others) di media sosial. Sebab, setiap orang secara tidak langsung dibatasi oleh kesadaran akan tanggung etis primordial yang dikemukakan oleh Levinas ini. Apa pun kesalahan Yang Lain (the Others), kehadirannya di media sosial adalah undangan bagi setiap orang untuk menghargai dan memperlakukannya secara baik, sebagaimana setiap orang pun ingin diperlakukan secara baik di ruang virtual yang tak terbatas.