Saat Maskulinitas Menjadi Tuntutan: Laki–Laki Juga Perlu Kebebasan
Oleh: Kadek Artika Chintya Meliana | 2702363462 | PPTI 17
Kata apa yang pertama kali terlintas di benak kalian ketika mendengar kesetaraan gender? Pasti banyak dari kita yang langsung berpikir mengenai perempuan, kesetaraan hak, kesetaraan kerja, dan masih banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Kerap kali setiap membahas mengenai kesetaraan gender, orang-orang hanya berfokus pada perempuan, serta upaya apa yang dilakukan guna menciptakan kesetaraan hak dalam berbagai bidang kehidupan dan bidang professional. Padahal kenyataannya kesetaraaan gender juga berkaitan dengan laki-laki. Tanpa kita sadari, terdapat suatu ekspektasi sosial yang membatasi laki-laki dalam berekspresi. Hal ini ialah toxic masculinity.
Toxic masculinity merupakan istilah yang menggambarkan ekspektasi sosial terhadap maskulinitas yang berlebihan. Konsep ini menuntut laki-laki untuk selalu tampil kuat, dominan, dan tidak menunjukkan emosi yang dianggap ”lemah”. Konsep ini juga menuntut laki-laki untuk selalu ”lebih” dari pada perempuan. Toxic masculinity sering kali dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Belum lagi tingginya penganut patriarki di Indonesia menyebabkan masyarakat tidak menyadari munculnya toxic masculinity dalam kehidupan bermasyarakat.
Pernyataan seperti ”laki-laki harus kuat” atau ”cowok gak boleh nangis” menjadi contoh bahwa laki-laki diberikan beban untuk menahan diri dan tidak mengekspresikan emosi yang mereka rasakan. Padahal, sudah seharusnya setiap manusia berhak untuk mengekspresikan emosi yang mereka rasakan, baik emosi negatif maupun positif. Semua manusia juga seharusnya berhak mencari bantuan ketika dibutuhkan. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018, stigma yang membatasi laki-laki mengekspresikan masalah emosional yang dirasakan, mengakibatkan banyak dari mereka terutama golongan remaja dan dewasa muda, enggan mencari bantuan ketika mengalami gangguan kesehatan mental. Akibatnya sebagian besar dari mereka memilih pelampiasan yang cenderung beresiko, seperti penyalahgunaan narkoba, alkohol, upaya bunuh diri, dan perilaku destruktif lainnya.
Toxic masculinity tidak hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga penghambat dalam mencapai kesetaraan gender. Toxic masculinity memperkuat pandangan bahwa laki-laki harus lebih unggul dari perempuan, sehingga menciptakan ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan, pekerjaan, hingga pengambilan keputusan. Akibatnya, perempuan sering kali menghadapi keterbatasan dalam mengembangkan potensinya karena ekspektasi sosial yang menempatkan mereka. Lebih lanjut, toxic masculinity juga berkontribusi dalam meningkatkan kekerasan berbasis gender, karena laki-laki sering kali merasa memiliki kuasa lebih atas perempuan. Hal ini dapat menyebabkan pelecehan, diskriminasi, dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan dalam berbagai lingkungan sosial dan profesional.
Oleh karena itu, untuk mencapai kesetaraan gender sebagaimana yang diusung dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-5, sangat penting untuk kita mengubah cara pandang terhadap maskulinitas yang berlaku di masyarakat. Hal ini bisa dimulai dari langkah kecil, seperti mulai menormalisasikan laki-laki yang ingin mengutarakan sedikit emosi yang sedang dirasakan, mendukung mereka untuk mencari bantuan kesehatan mental, mendorong keterlibatan laki-laki dalam menciptakan kesetaraan gender, hingga hal-hal besar seperti mengedukasi masyarakat tentang konsep maskulinitas yang sehat, mengubah po la asuh, dan masih banyak lagi hal yang bisa kita lakukan guna mematahkan stigma yang melekat di masyarakat.
Dengan menerapkan hal-hal kecil tersebut secara konsisten, kita dapat membangun lingkungan yang lebih terbuka bagi semua gender. Kesetaraan gender bukan hanya mengenai perempuan atau memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga membebaskan laki-laki dari ekspektasi sosial yang membatasi mereka.
Pada akhirnya, kesetaraan gender bukanlah tentang perempuan menjadi seperti laki-laki, bukan juga tentang memperdebatkan laki-laki yang harus angkat galon, ataupun tentang perempuan yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Melainkan tentang menciptakan masyarakat yang adil dan setara, dimana setiap individu, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi dan mencapai impian tanpa memandang apa gendernya. Mari kita bersama-sama melawan toxic masculinity dan menciptakan Indonesia yang lebih adil dan setara bagi semua.
Referensi:
https://e-journal.sttiman.ac.id/index.php/efata/article/download/56/37
https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sniis/article/download/60/46
https://genre.id/artikel/toxic-masculinity-cowok-kok-nangis/
https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/ijobs/article/view/24673