Pengelolaan Sampah Dengan Cofiring : Solusi Palsu untuk Energi Terbarukan?
Oleh: Enver Olivier Chandra / 2702364111 / PPTI 19
Kita pasti sudah akrab dengan apa yang disebut sampah. Menurut KBBI sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Sedangkan menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang dimaksud dengan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Sampah yang dihasilkan , biasanya akan dibawa ke Tempat Penampungan Sementara atau TPS. TPS ini merupakan tempat untuk menyimpan sampah sebelum diangkut ke tempat pengolahan, pendauran ulang, atau tempat pengolahan sampah terpadu. Dari TPS, sampah akan diangkut dan dibawa oleh Dinas Lingkungan menggunakan truk sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). TPA adalah tempat untuk memproses dan mengelola sampah yang dihasilkan sebelumnya. Pengelolan sampah ini terbagi menjadi 2 cara yakni pengolahan sampah rumah tangga sejenis dan pengelolaan sampah spesifik. Pengelolaan sampah tersebut memiliki banyak cara, salah satunya adalah co-firing.
Teknik pengolahan sampah dengan co-firing adalah teknik yang menggabungkan batu bara dengan biomassa di dalam PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Tujuan penggunaan teknik ini adalah sebagai solusi pengelolaan sampah yang semakin banyak sekaligus mengurangi pencemaran emisi udara. Biomassa yang dimaksud disini adalah sampah dan limbah / hasil hutan berupa kayu. Namun dengan penggunaan Teknik co-firing ini maka kebutuhan bahan substitusi batubara akan terus meningkat.
Salah satu contoh yang melakukan teknik co-firing adalah PLN. PLN menggunakan 4 jenis biomassa dalam co-firing , yaitu: hutan energi, limbah pertanian atau Perkebunan , limbah industry , dan limbah rumah tangga. Teknik yang digunakan adalah teknik pengeringan sampah atau RDF, sampah rumah tangga bisa jadi pelet seperti kayu.
Namun meskipun disebutkan Teknik co-firing bertujuan untuk menekan emisi gas dan menghasilkan sumber energi terbarukan , masih ada beberapa sumber yang mengatakan kalau co-firing biomassa adalah solusi palsu untuk energi terbarukan. Dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan atau nationally determined contributions (NDC), co-firing biomassa membutuhkan 9 juta ton biomassa untuk menghasilkan listrik. Perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan setidaknya perlu 10,2 juta ton biomassa untuk menyuplai bahan bakar 52 PLTU. Karena itu menurut Amalya Reza Oktaviani, manajer program Trend Asia, PLTU co-firing biomassa hanya solusi palsu energi baru terbarukan. Menurut Amalya , konsep co-firing PLTU ini awalnya adalah memanfaatkan limbah. Strategi ini justru berubah menjadi bergantung pada pemanfaatan hutan tanaman energi sebesar 80%. Artinya sumber energi berasal dari pohon yang ditanam.
Beliau juga memberi contoh PLTU Jeranjang di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Desain awal PLTU ini adalah dengan memanfaatkan pelet sampah namun dikarenakan suplai sampah yang tidak berkelanjutan , PLTU ini malah menggunakan serbuk gergaji kayu. Hal ini juga terjadi di PLTU Soralaya. Dari contoh tersebut bisa dilihat bahwa klaim terhadap co-firing biomassa netral karbon ini , perlu ditinjau lebih lanjut. Karena ternyata ada beberapa PLTU yang akhirnya tidak memanfaatkan limbah yang tadinya dijadikan sebagai tujuan awal untuk menjadi sumber energi yang baru , malah tetap memanfaatkan batubara.
Penggunaan co-firing dalam pengolahan limbah memang bisa berpotensi untuk mengurangi volume sampah dan mengubahnya menjadi sumber energi. Namun, hal yang menunjukan bahwa co-firing biomassa merupakan solusi energi terbarukan masih perlu ditinjau ulang dan berdasarkan contoh yang ditemukan , masih banyak PLTU yang malah bergantung pada hutan energi yang justru hal tersebut bisa menyebabkan kerusakan dan mengancam ekosistem hutan serta keanekaragaman hayati didalamnya.
Namun meskipun penggunaan co-firing ini dapat membantu mengurangi emisi disbanding dengan batu bara, penggunaan Teknik ini masih memiliki kelemahan dalam hal pasokan biomassa yang terbatas. Kelemahan ini bisa diatasi dengan adanya kebijakan seperti meningkatkan pengolahan sampah/limbah yang nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk co-firing biomassa, serta adanya pengawasan untuk hutan energi.
Akhirnya , co-firing memang bisa dijadikan sebagai solusi sementara yang perlu diterapkan dengan strategi energi bersih yang lebih baik. Hal ini penting agar pengolahan sampah/limbah tidak hanya efektif untuk mengurangi sampah tapi juga berkontribusi dalam pencapaian tujuan SDGS.
Referensi:
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/14891/Pengelolaan-Sampah-di- Indonesia.html#:~:text=Pengelolaan%20sampah%20di%20Indonesia%20dibagi,kedua%20ya itu%20pengelolaan%20sampah%20spesifik – Pengelolaan Sampah di Indonesia
https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderal-ebtke/solusi-pengolahan-sampah- melalui-implementasi-cofiring-biomassa-berbasis-pelet – Solusi Pengolahan Sampah Melalui Implementasi Cofiring Biomassa Berbasis Pelet
https://dlh.semarangkota.go.id/mengolah-sampah-dari-cara-tradisional-sampai-teknologi/ – Mengolah Sampah Dari Cara Tradisional Sampai Teknologi
https://www.medcom.id/ekonomi/sustainability/xkEXZRpb-atasi-masalah-sampah- penggunaan-teknologi-co-firing-perlu-dikaji – Atasi Masalah Sampah, Penggunaan Teknologi Co- Firing Perlu Dikaji
https://www.forestdigest.com/detail/2189/co-firing-pltu-biomassa\ – Co-Firing PLTU: Solusi Palsu Energi Terbarukan?