Idul Adha: Korban Dan Akhlak

Oleh: Sitti Aaisyah

Ibrahim adalah episentrum dari perkembangan tiga agama samawi (agama langit), yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Umat Israiliyat (Bani Israil) yang kemudian terpecah menjadi dua, yaitu Yahudi dan Nasrani, mengikuti ajaran keturunan Ishaq dan Yaqub yang merupakan anak Ibrahim dari Siti Sarah yang mengemban tugas menyiarkan Taurat (Musa), Zabur (Daud), dan Injil (Isa). Adapun Muhammad Saw yang merupakan keturunan dari beberapa generasi Ismail yang merupakan anak Ibrahim dari istrinya yang lain, Siti Hajar, membawa pesan nubuwat dalam kitab Al-Qur’an yang menjadi pedoman ajaran Islam.

Pelaksanaan ibadah haji dan Idul Adha memiliki kaitan yang erat. Haji sebagai rukun Islam kelima adalah ajaran yang telah dipraktikkan sejak Nabi Adam, dilaksanakan wajib sekali seumur hidup dengan syarat mampu secara mental, kesehatan, dan materi. Umat Islam yang tidak berangkat haji ke Mekkah merayakan Idul Adha, yaitu berkorban dengan menyembelih binatang yang telah ditentukan oleh ulama (domba, kambing, sapi, kerbau, unta) juga dengan syarat, yaitu bagi mereka yang mampu. Kapan perintah berkorban ini bermula?

Ketika Ibrahim bermimpi diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyembelih Ismail, buah hatinya yang sedang beranjak dewasa yang sangat dicintainya, Ibrahim dipenuhi rasa bimbang dan kalut. Meski penuh dengan kebimbangan dan kesedihan, Ibrahim sebagai salah seorang hamba yang taqwa dan ikhlas meneguhkan hatinya untuk mengikuti perintah Tuhan yang disembahnya, meski harus mengorbankan darah dagingnya yang bertahun-tahun diimpikannya. Dalam proses melaksanakan perintah Tuhan, karena keikhlasan Ibrahim yang tinggi, Tuhan lalu mengganti Ismail dengan kambing yang kemudian menjadi cikal bakal syariat kurban dalam Islam.

Ini adalah salah satu versi tafsir yang umum diterima dalam khasanah pemikiran Islam dan dipraktikkan secara luas di dunia Islam. Tafsir berbeda dan kurang umum didengar adalah yang disampaikan oleh aliran Mu’tazilah. Aliran ini menafsirkannya sebagai kekeliruan Ibrahim dalam menafsirkan mimpi/pesan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa Nabi bisa keliru namun memiliki hak istimewa untuk dapat dikoreksi secara langsung oleh Tuhan. Menurut aliran ini, tidak mungkin Tuhan memerintahkan sesuatu yang bertolak belakang dengan prinsip kasih sayang Tuhan.

Idul Adha adalah bermakna pengorbanan, keikhlasan, kerelaan, dst. Namun, fenomena perayaan idul korban hari ini menunjukkan bagaimana muslim berlomba-lomba untuk melakukan penyembelihan yang massif dan pamer, namun lupa pada pesan maknawi, yaitu untuk belajar ikhlas. Berkurban atau berkorban adalah belajar membunuh ego yang menjadikan manusia hanya bergerak untuk mengikuti insting kebinatangannya. Berkorban adalah mengembangkan sifat altruism, rela berkorban demi kemaslahatan/kebaikan orang banyak/lingkungan alih-alih berpikir hanya untuk kebaikan diri sendiri. Berkorban adalah menahan diri agar tidak menjadi benalu bagi orang lain. Berkorban adalah menghilangkan kualitas jahat di dalam diri agar tidak memberi dampak buruk bagi orang lain. Pemaknaan berkorban yang demikian ini adalah hasil dari pengetahuan yang bijaksana sehingga membentuk akhlak yang mulia bagi the rational animal.

 Salah satu praktik kurban masyarakat muslim Kudus perlu menjadi perhatian khusus, bagaimana mereka menafsirkan kurban yang sejatinya. Demi menghargai umat Hindu, mereka tidak berkurban sapi namun kerbau dan kambing. Pelaksanaan syariat dilaksanakan dan juga penghormatan kepada umat lainnya. Ini ibarat pepetah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Mereka telah sampai pada level kesadaran beragama yang tinggi, yaitu menyadari bahwa eksistensinya juga didukung oleh eksistensi makhluk lainnya sehingga kerukunan adalah suatu keharusan untuk diwujudkan dalam aksi nyata.

Sitti Aaisyah