Refleksi Atas Bencana

Oleh: Sitti Aaisyah

Setiap bencana menyisakan penderitaan, kesedihan, dan kehilangan. Apa saja bentuk bencana itu, mulai dari bencana alam ataupun bencana yang terjadi karena kejahatan manusia, meski bencana alam hari ini juga sedikit banyak adalah karena ulah manusia itu sendiri. Mereka yang mengalami bencana akan mengalami keadaan mental yang terpuruk, mempertanyakan keadaan ini, kenapa harus menimpa dirinya. Dari sekian banyak manusia, kenapa harus dirinya yang ditimpa kemalangan? Mereka yang memiliki kelapangan dada mungkin akan merespon, kenapa tidak?

Sebuah buku berjudul When Bad Things Happen to Good People, ditulis oleh seorang Rabi, Harold Kushner, membedah kemalangan dari perspektif teodisi. Menurutnya, penderitaan dan kemalangan adalah bukti nyata adanya diskursus kejahatan dalam dunia teologi dan filsafat. Meski Tuhan Maha Kuasa namun Tuhan tidak sepenuhnya berkuasa untuk mencegah terjadinya bencana. Bahkan, Tuhan membiarkan kejahatan terjadi. Konsep teodisi yang ditawarkan adalah theistic finitism, dan banyak ditentang oleh teolog lainnya karena dianggap mengecilkan atau mengerdilkan Tuhan yang omnipotence, omniscience, dan omnipresence. Namun, Kushner meyakini, hadirnya kejahatan yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain melahirkan suatu pandangan moral. Kejahatan membantu manusia memenuhi kualitas eksistensialnya karena mengada untuk membantu sesamanya melewati dan mengatasi penderitaan.

Pendapat lainnya adalah dari Carl Gustav Jung. Jung berpendapat, krisis, gempa bumi, dan penyakit tidaklah terjadi begitu saja. Keberadaan kondisi-kondisi demikian merupakan indikator bagi manusia untuk mengoreksi pemahamnnya, mengeksplorasi opsi baru dalam mengarungi kehidupan, dan mengalami sisi kehidupan lainnya yang berbeda. Pengalaman yang kaya akan memberikan kemampuan untuk mengelola makna hidup yang lebih luas.

Kejahatan, bencana, penderitaan, kehilangan adalah tragedi bagi anak manusia. Dalam beberapa ungkapan sastra klasik dikatakan tragedi adalah juga komedi. Ketika mengalami keadaan yang buruk, manusia menganggapnya sedang mengalami tragedi. Namun ketika mengambil jarak dan melihat dari perspektif yang lebih luas, tragedi adalah suatu komedi. Umumnya dikatakan bahwa “life is tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot”.  Ekspresi yang mempertanyakan, “kenapa kemalangan terjadi pada dirinya?” adalah karena melihat hal buruk itu secara sempit sehingga melahirkan istilah tragedi. Ketika menyadari bahwa dari sekian kemungkinan yang ada justru kemalangan menimpa hanya dirinya, manusia dapat merasakan unsur komedinya.

Kesadaran ini lahir ketika melihat korban longsor dan banjir di salah satu desa di daerah Luwu yang lalu, air bah tiba-tiba datang dengan suara gemuruh di tengah malam, menghantam seluruh permukaan yang bisa dihantam. Tapi, tidak semua warga desa kehilangan rumahnya, hanya beberapa orang saja. Ketika peristiwa itu terjadi, orang-orang yang berada di daerah yang sedikit tinggi lokasinya, berdiri di pinggir jalan melihat atap-atap rumah dibawa arus air yang kencang. Para korban, ada yang rumahnya sudah reot, ada juga yang rumahnya baru saja dibangun, air bah tidak peduli dengan pertimbangan-pertimbangan itu. Air bah mengalir mengikuti hukumnya sendiri. Tidak peduli dengan perasaan manusia yang kehilangan sanak saudara dan barang-barang berharganya serta hanya menyisakan kenangan. Mereka yang tenggelam dalam kesedihan melihat bencana sebagai tragedi, dan sebagian korban lainnya yang tetap tabah dan tersenyum menghadapi musibah memandang bencana itu sebagai komedi. “Bencana ini kok milih aku yah? Sial!”

Sitti Aaisyah