Mengampuni Bukan Melupakan
Oleh: Arcadius Benawa
Dalam sebuah obrolan pernah muncul pertanyaan, “Mengapa ya cewek itu meskipun sudah memaafkan cowoknya, tetapi ketika cowok yang dimaafkannya itu melakukan kesalahan lagi, si cewek akan mengungkit-ungkit kembali kesalahan yang sudah ia maafkan? Berarti si cewek itu sesungguhnya belum memaafkan ya?” Pihak yang ditanya dengan sok tahunya menjawab, “Yah, begitulah sifat cewek. Mudah memaafkan tetapi sulit melupakan! Beda dengan cowok. Ia mudah melupakan tetapi sulit memaafkan!”
Kalau melupakan itu benar sebagai syarat memaafkan atau mengampuni betapa mustahilnya memaafkan itu. Karena memaafkan atau mengampuni itu bukankah berkaitan dengan fakta lalu. Sebagai fakta masa lalu wajarlah kalau menimbulkan ingatan. Kalau benar melupakan menjadi syarat memaafkan betapi hal itu merupakan usaha manusia yang amat menguras energi untuk bagaimana bisa tidak ingat lagi alias melupakan kesalahan orang lain.
Mengampuni ini lebih bersifat ilahi karena mengambil spiritnya dari Tuhan yang maha pengampun. Misalnya Yesus saat di kayu salib berseru, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Pengampunan Yesus bagi para penyalib-Nya itu justru merupakan pengingatan atas apa yang dilakukan oleh mereka yang menyalibkan Yesus. Dari upaya Yesus mengingat kelakuan para penyalib-Nya itulah Ia mengampuni, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
Jadi, benar bahwa mengampuni itu bukan melupakan, namun justru karena kita ingat betul akan kesalahan orang lalu kita mengampuni kesalahannya dengan tidak memperhitungkan ataupun mengharapkan bahwa yang telah bersalah kepada saya/kita itu mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Dalam Injil Lukas 15: 1-32 Ayah yang menerima kembali anak bungsunya yang telah menghambur-hamburkan harta warisan itu bukan karena ia lupa atau melupakan kesalahan anak bungsunya, melainkan karena sang ayah move on pada kekinian anak bungsunya. Bahwa anak bungsunya kini telah kembali lagi, menyatu lagi bersamanya dan karena itu ingatan akan perbuatan anak bungsunya yang kurang ajar itu membuat sang ayah tidak menghitung-hitung kesalahan anak bungsunya.
Pengampunan sang ayah justru karena ia sadar dan tahu betul kesalahan anaknya, tetapi sang ayah tak memperhitungkannya, karena kemungkinan sang anak tidak tahu mengapa ia berbuat seperti itu. Hal ini selaras dengan doa Yesus kepada para penyalib-Nya. Oleh karena itu tidak ada relevansinya kalau kita kerap mendiskusikan atau mempertanyakan apalah artinya mengampuni kalau kita masih belum bisa melupakan kesalahannya. Dari kisah Injil tentang Bapa yang baik hati dan doa Yesus jelas tidak mengindikasikan melupakan merupakan syarat mengampuni. Justru efektivitas pengampunan itu tatkala kita terbuka mata atas kesalahan orang lain namun demikian kita rela merangkulnya kembali seperti sang ayah yang memeluk anak bungsunya yang kembali kepadanya.
Semoga kita tidak terjebak dengan mitos ataupun ajaran yang justru menghambat kita untuk memaafkan atau mengampuni, karena sejatinya memaafkan atau mengampuni itu tidak berarti melupakan, melainkan kesediaan menerima kembali kehadiran sesama kita tanpa memperhitungkan kesalahan dan dosanya. Mari kita sama-sama berusaha memaafkan atau mengampuni daripada berusaha untuk melupakan kesalahan orang lain.