Gigi Bungsu: Keputusan!
Oleh: Oki Hermawati
Lirik dari sebuah lagu berkata, “lebih baik sakit gigi daripada sakit hati,” bagi saya keduanya sama-sama menderitanya. Sakit gigi mendera fisik dan sakit hati mendera jiwa dan relasi antara fisik dan jiwa saling menyatu. Jika fisik kita sakit maka perasaan bisa jadi gelisah, sedih, pedih karena nyeri atau perih yang dialami tubuh kita. Jika jiwa atau hati kita disakiti maka tubuh juga bisa menjadi lemah, lesu, lemas dsb. Keduanya memiliki keterkaitan dan keterhubungan yang unik.
Gigi bungsu bagian atas sebelah kiri saya tumbuh dan saya tidak tahu bahwa ada gigi bungsu yang tumbuh! Sewaktu proses tumbuh, gigi tersebut tidak menimbulkan rasa sakit. Beberapa saat kemudian sewaktu saya kontrol rutin ke dokter gigi untuk membersihkan karang gigi, saya meminta dokter memeriksa gigi geraham bagian atas karena saya merasa kurang nyaman. Dokter gigi memberikan info bahwa saya memiliki gigi bungsu dan jika memang gigi bungsu yang tumbuh itu dirasa tidak nyaman silahkan di cabut saja karena tidak ada gunanya juga. Menarik sekali ucapan dokter gigi itu bagi saya karena saya baru tahu fakta tentang gigi bungsu yang tumbuh.
Pikiran saya tentang gigi bungsu berkembang kemana-mana selain saya terus memikirkan apa yang harus saya lakukan terhadap gigi bungsu. Bagi saya keberadaan gigi bungsu itu menarik karena ia hadir di usia saya yang sudah bukan anak-anak lagi. Memikirkan kehadiran gigi bungsu dan mulai muncul ketidaknyamanan yang saya rasakan, membuat saya memikirkan untuk mencabut saja gigi tersebut toh tidak ada gunanya. Rasa tidak nyaman mulai mengganggu fisik saya karena timbul sedikit rasa nyeri pada mulut. Saya konsultasi dengan dokter gigi lagi dan mendiskusikan perihal gigi bungsu. Cek ricek dilakukan dokter gigi dan meminta keputusan saya apakah tetap mau dicabut. Akhirnya dengan berat hati saya mengiyakan untuk mencabut gigi bungsu. Singkat cerita, gigi bungsu tercabut sudah dan proses kehilangan gigi bungsu menjadi proses sulit kedua yang saya alami karena setelah dicabut saya mengalami kesulitan untuk berbicara karena rasa sakit, menahan nyeri dengan minum obat nyeri, sulit mengunyah makanan sehingga makan yang halus. Situasi ini saya alami sampai 1 bulan lamanya hingga mulai terasa nyaman lagi.
Saya coba refleksikan dari pengalaman dengan kehadiran gigi bungsu dan keputusan untuk saya cabut keberadaannya. Gigi bungsu mengajarkan saya memilih menerima atau melepas. Awalnya kehadiran gig bungsu saya terima dalam keadaan tidak tahu akan kehadirannya di susunan gigi saya apalagi posisinya dibagian atas. Ia hadir dan bertumbuh dengan baik sampai suatu saat kehadirannya menimbulkan sedikit ketidaknyamanan. Keputusan melepas gigi bungsu mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang mudah karena toh ia menganggu dan kehadirannya tidak banyak memberikan manfaat, tetapi bagi saya melepas gigi bungsu menjadi suatu keputusan yang cukup sulit karena membayangkan proses pelepasan yang tidak mudah dan dampaknya. Keputusan melepas gigi bungsu dan konsekuensinya saya ambil dan sebagai kenang-kenangan saya menyimpan gigi bungsu tersebut untuk mengingatkan saya bahwa saya pernah berada di suatu titik untuk menerima keberadaannya atau melepas keberadaannya. Jadi, lebih baik mana menerima atau melepas? Sakit gigi atau sakit hati? Keduanya sama-sama tidak mudah dan sama-sama memiliki keterkaitan dan konsekuensinya. Selamat mengambil keputusan dalam hidup!