Character Building by Story Telling
Oleh: Arcadius Benawa
Saya dulu awal-awal bergabung sebagai FM di Binus, mungkin sekitar tahun 2011-an, pernah diminta untuk mengisi kegiatan tentang manfaat story telling untuk pembentukan karakter. Kalau tidak salah saat itu saya mengambil contoh Israel dan Indonesia.
Kenapa Israel yang negara kecil dengan geografis yang jauh dari kondisi Indonesia yang subur makmur ini menjadi negara maju yang amat diperhitungkan di dunia. Sementara Indonesia negara raksasa dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa dengan luas wilayah yang demikian rupa belum semaju Israel? Masih dianggap sebagai negara yang sedang berkembang.
Karena pada waktu itu sesinya tentang manfaat Story telling terhadap pembentukan karakter, saya memberi dugaan sebagai berikut ini. Bahwa bangsa Israel itu sejak anak-anaknya masih kecil itu sudah dicekoki dengan cerita heroik para leluhur bangsa Israel itu dan bahwa bangsa Israel itu adalah bangsa yang dikasihi Tuhan, selalu di dalam lindungan Tuhan, dan bangsa yang berjaya membebaskan diri dari perbudakan Mesir pun karena penyertaan Tuhan, bahkan hingga Israel memeroleh Tanah Terjanji (Promise Land) pun karena Tuhan, termasuk hukum-hukumnya pun dari Tuhan.
Cerita yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga akan nenek moyang bangsa dan para leluhur bangsa itu begitu nancap di benak setiap warga Israel. Akibatnya Israel walaupun kecil negaranya, namun sangat diperhitungkan kekuatannya karena nasionalisme warganya yang luar biasa, termasuk warga Israel yang mukim di negara lain yang menduduki posisi-posisi penting di negara yang bersangkutan.
Sementara di Indonesia, sejak kecil, kita-kita ini dulu diberi dongeng sebelum tidur tentang Kancil binatang yang cerdik dan licik, yang pandai menipu dan mencuri. Salah satu kisahnya yang favorit adalah Kancil mencuri ketimun. Kancil Nyolong Timun.
Pak Tani punya ladang ditanami timun. Kancil sering mencuri timun Pak Tani. Untuk menakuti kancil, Pak Tani membuat orang-orangan sawah yang dioles-olesi getah nangka di sekujur tubuhnya. Kancil tidak takut sama orang-orangan sawah itu.
Dia menghantam sang boneka dengan kakinya. Karena ada getah nangka, kaki kancil menempel di tubuh orang-orangan sawah itu. Kancil makin marah. Dipukulnya lagi, nempel lagi. Lalu ditendangnya lagi, sampai keempat kakinya tidak bisa lepas dari orang-orangan itu. Pak Tani datang menangkap kancil, lalu dibawa pulang ke rumahnya. Rencananya kancil akan disembelih untuk jadi lauk keluarga Pak Tani.
Sementara kancil dikurung di luar rumah, datanglah anjing peliharaan Pak Tani. Ia bertanya kepada kancil, “Kenapa kamu di situ Cil?” Kancil menjawab, “Aku mau dijadikan menantu tuanmu, dia sedang memasak untuk pesta.”
“Aku yang sudah lama ikut tuanku saja tidak dijadikan menantu, kok kamu datang-datang langsung enak sekali jadi menantunya,” kata anjing.
“Apa kamu mau jadi menantunya? Kalau mau gantikan aku di dalam kurungan ini. Aku rela tidak jadi menantu tuanmu,” kata kancil membujuk rayu.
Anjing dengan sukacita mau jadi menantu tuannya. Ia masuk ke dalam kurungan menggantikan kancil yang lari ke tengah hutan. Itulah kelicikan sang kancil yang sering menipu untuk menyelamatkan dirinya.
Nah, karena yang berkembang dan tertaam dari story telling pada anak-anak Indonesia adalah kancil yang nyolong ketimun, mungkin itulah yang terbentuk di dalam benak anak-anak Indonesia di alam bawah sadarnya dan menjadi nyata ketika situasi dan kondisi memacunya untuk berulah menggunakan kecerdikannya untuk nyolong, namun bisa bebas dari sanksi hukuman mencuri apapun caranya seperti yang dilakukan sang kancil.
Namun tentu bukan tentang kancil cerita Yesus, tetapi di dalam Injil cerita yang dikemukakan Yesus adalah tentang bendahara yang tidak jujur, seperti ditulis di dalam Injil Lukas 16: 1-8. Bendahara itu sering menghambur-hamburkan uang majikannya. Lalu dia dipecat.
Agar hidupnya selamat, bendahara itu “berbuat baik” kepada orang-orang yang berhutang pada tuannya. Seperti kancil, bendahara itu cerdik untuk menyelamatkan dirinya di masa depan. Kejujuran itu sangat penting. Sekali kita jatuh dalam tindakan tidak jujur, sulit orang akan mempercayai kita.
Banyak contoh tindakan tidak jujur seperti korupsi makin merebak di mana-mana. Bahkan tokoh-tokoh penting seperti menteri masuk penjara gara-gara korupsi. Kendati kisah kancil mencuri timun sudah tidak ada, tetapi pesannya terlanjur merasuk dalam pikiran kita. Mencuri itu sudah menempel di otak kita.
Mari kita lawan godaan itu dengan sikap kejujuran. Lebih baik bersikap jujur daripada endingnya hancur lebur, seperti kata Muhammad Hatta: Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan pendidikan, namun kalau tidak jujur, sulit memperbaikinya!