Kasih Allah Dasar Semangat Memaafkan

Oleh: Arcadius Benawa

Dalam tradisi Jawa dikenal istilah “jothakan,” yakni kondisi komunikasi yang satu sama lain saling mendiamkan, tak mau bicara satu sama lain, entah karena benci, marah, tersinggung, dan lain-lain. Kadang kondisinya tidak sekadar tak mau bicara satu sama lain, bahkan bisa sampai berbentuk antipati. Hal itu terungkap dalam ungkapan-ungkapan. Misalnya, “Dadia godong ora arep nyuwek, dadia banyu ora arep nyawuk!” yang artinya: kalau toh kamu menjadi daun aku tidak akan menyentuh/menyobek, kalau toh kamu jadi air, tak sudi aku menyentuh/mengambil air tersebut. Kondisi “jothakan” itu bisa berlangsung sampai bertahun-tahun. Bahkan bisa sampai terbawa mati.

Bahkan ada seorang Bapak yang  “jothakan” dengan anaknya sendiri sedemikian rupa, sehingga ketika sang bapak itu berdoa “Bapa Kami”, ia bungkam ketika sampai pada frase “seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami,” karena ia sadar bahwa ia belum bisa mengampuni anaknya. Ada juga warga gereja yang “balik kanan” tidak jadi menghadiri pertemuan di rumah warga, ketika ia mengetahui  bahwa orang yang kepadanya ia “jothakan” itu hadir juga di dalam pertemuan tersebut.

Fenomena “jothakan” seperti itu merepresentasikan fenomena orang yang masih dikuasai oleh luka batin yang membuat orang yang bersangkutan menjadi sakit hati, tidak mau memaafkan dan memendam perasaan itu bertahun-tahun.

Dalam kisah pewayangan, diceriterakan bagaimana Drupadi menyimpan dendam kepada Dursasana, karena dilecehkan di depan banyak orang. Pasalnya, kain penutup tubuhnya dilepaskan dengan paksa. Tidak hanya itu, bahkan Dursasana berusaha menelanjangi Drupadi di arena permainan dadu. Rambutnya yang panjang “diacak-adhul” oleh Dursasana juga. Drupadi dipermalukan dan dihina oleh nafsu kemenangan para Kurawa. Karena sakit hatinya tak terbendung sampai terucap sumpah Drupadi, “Tidak akan mandi keramas kalau tidak dengan darah dari Dursasana!”

Itulah gambaran betapa memaafkan adalah tindakan yang sulit untuk dilakukan, walau mudah diucapkan sebagai nasihat untuk orang lain.

Sementara itu di dalam Injil Lukas 17: 1-6 dikisahkan Yesus yang bersabda, “Jagalah dirimu! Jika saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia! Dan jika ia menyesal, ampunilah dia! Bahkan jika ia berbuat dosa terhadapmu tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata, ‘Aku menyesal’, engkau harus mengampuni dia!”

Tuntutan Yesus ini tentu berat. Nyaris tidak masuk akal. Pasalnya, mengampuni saja sebetulnya sudah tidak mudah, karena sudah melampaui hukum lama, yakni mata ganti mata, gigi ganti gigi (Matius 5: 38-48. Ini kok Yesus meminta untuk kita memaafkan sekalipun orang itu bersalah 7 kali dan 7 kali minta maaf dan menyesal atas kesalahannya.

Rupanya itulah yang mendorong para murid untuk kemudian berseru meminta pertolongan pada Tuhan Yesus, “Tambahlah iman kami!” Artinya, pengalaman mengampuni atau memaafkan nyaris tidak mungkin kalau perhitungannya adalah perhitungan manusiawi, apalagi kalau perhitungan dagang. Apa untungnya saya mengampuni dia? Tidak bisa lain, agar kita bisa mengampuni, memaafkan orang, kita membutuhkan daya kekuatan dari Yang Ilahi. Di sinilah daya kekuatan kasih Allah berbicara. Allah dalam kasih-Nya tidak menghitung-hitung kesalahan kita. Berapapun besar dosa dan kesalahan kita, Ia sediakan ampunan-Nya. Hal ini ditegaskan di dalam kisah 2 hamba yang berhutang pada tuannya (Mat 18:23-35).

Pastilah iman akan kasih Allah yang maha pengampun itu juga bisa mengubah balas dendam, sakit hati kita menjadi pengampunan dan belas kasih kita pada orang yang bersalah kepada kita. Sebaliknya, kalau kita hanya menyandarkan diri pada perhitungan atau kalkulasi manusiawi yang ada hanya dendam dan sakit hati. Maka marilah kita memohon kepada Tuhan agar iman kita akan kasih Allah yang mahabesar dan maha pengampun itu ditumbuhkan di dalam hati kita.

Arcadius Benawa